Contoh Cerpen Anak - Masa anak-anak adalah masa yang indah. Masa dimana si anak mulai mengeksplorasi dunia barunya. Pada periode ini, anak-anak juga memulai untuk belajar formal di Play Group, Taman Kanak-kanak dan juga selanjutnya belajar di bangku Sekolah Dasar atau biasa disingkat dengan SD. Pada masa permulaan sekolah inilah merupakan salah satu masa-masa awal pembentukan karakter si anak.
Ada beberapa cara dalam proses pembentukan karakter pada anak, diantaranya dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah, mengenalkan dan membiasakan hal-hal positif pada anak dalam lingkup keluarga dan memberikan pengarahan atau pengertian tentang hal-hal positif yang bisa diterapkan dan dilakukan dalam lingkungan masyarakat.
Ada beberapa cara dalam proses pembentukan karakter pada anak, diantaranya dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah, mengenalkan dan membiasakan hal-hal positif pada anak dalam lingkup keluarga dan memberikan pengarahan atau pengertian tentang hal-hal positif yang bisa diterapkan dan dilakukan dalam lingkungan masyarakat.
Cerpen dibawah ini merupakan salah satu contoh cerpen yang menceeritakan perilaku anak yang pada awalnya memiliki sifat jail, hingga akhirnya dia tersadarkan atas perilakunya yang salah tersebut. Silahkan disimak cerpennya ya Sob..
Satria
Satria gelisah di tempat duduknya. Jam dinding diatas papan tulis menunjukkan pukul 06.50. Sudah lima menit berlalu sejak bel masuk berbunyi. Teman-temannya di kelas 3-A yang lain sedang mengerjakan ulangan matematika dengan tenang. Sesekali terdengar bunyi pensil diletakkan di meja, berganti suara penghapus digosok diatas kertas. Semua sibuk. Bahkan Bu Guru pun sibuk berkeliling, mengawasi teman-temannya yang sedang ujian. Hanya Satria yang duduk dengan gelisah.
Tangan Satria mulai basah oleh keringat. Lima menit sudah berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul 06.55. Belum ada satu soal pun yang dikerjakannya. Satria bukannya tak tahu jadwal ujian hari ini. Dia tahu. Dan dia sudah belajar. Seharusnya dia bisa menjawab soal-soal itu. Tapi dia belum melakukannya.
Dia melirik ke arah Bimbi yang duduk di sebelah kanannya. Bimbi sedang menunduk menghadapi kertas ulangan dengan serius. Kacamatanya beberapa kali melorot. Tangan kiri Bimbi dengan sigap membenarkannya. Rambut ikal Bimbi bergoyang-goyang ketika kepalanya bergerak. Satria sudah ingin membuka mulutnya, tapi ia teringat sesuatu.
“Iiiiihhh.... buang itu. Buang.” Jerit Bimbi minggu lalu ketika Satria membawa sebatang ranting dengan ulat hijau di ujungnya. Ulat yang sering hinggap di pohon jeruk di halaman sekolah.
“Masa sama ulat kecil begini takut, sih?” ledek Satria.
Bimbi semakin ketakutan ketika Satria menyorongkan ulat hijau itu kearahnya. Bimbi berlarian di dalam kelas, menghindari Satria yang membawa ulat hijau. Dan terjadilah peristiwa itu. Bimbi tersandung salah satu kaki meja, jatuh, kemudian kacamatanya pecah. Tanpa kacamata, Bimbi tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas. Bimbi menangis. Satria merasa lucu melihat Bimbi tanpa kacamata bulatnya.
Dan ia tertawa.
Satria urung memanggil nama Bimbi. Pandangannya beralih pada Kinan yang duduk di depan Bimbi. Kinan adalah salah satu temannya yang rajin dan juga cerewet. Satria mengumpulkan keberanian untuk memanggil Kinan.
“Enggak boleh.” suara Kinan siang itu terngiang di telinga Satria. Tangan Kinan mendekap erat buku bahasa indonesia miliknya. “Kemarin dulu kamu pinjam bukuku tapi lupa mengembalikan. Akibatnya aku dihukum Bu Guru karena tidak mengerjakan tugas.” ujar Kinan.
“Kali ini cuma sebentar kok. Kalau enggak boleh aku bawa pulang, aku pinjam disini saja. Aku kerjakan di sini.” bujuk Satria. Kinan tetap menggeleng.
“Pelit banget, sih.” Satria merajuk. Kemudian dengan sekuat tenaga dia berusaha merebut buku bahasa indonesia yang sedari tadi didekap Kinan dengan erat. Terjadilah tarik menarik antara Kinan dan Satria.
Kreeekkk. Suara itu mengejutkan keduanya. Mereka sama-sama terdiam. Buku itu robek. Terbelah menjadi dua bagian. Kinan dan Satria masing-masing memegang sebagian. Lalu tangis Kinan pecah. Satria lebih memilih melarikan diri daripada meminta maaf. Dia takut kena marah Bu Guru.
Satria semakin gelisah. Sudah pukul 07.05. Waktunya semakin sedikit untuk mengerjakan seluruh soal. Dia berencana akan mengerjakan soal yang dikuasainya lebih dulu. Dan mengerjakan sisanya andai waktunya cukup. Satria meremas tangan dengan gelisah. Tangan Satria berkeringat semakin banyak. Waktu terus berjalan. Dia harus segera menyelesaikan soal-soal matematika itu sebelum bel berbunyi.
“Masih ada waktu lima puluh menit lagi, anak-anak. Jangan terburu-buru. Periksa lagi jawaban kalian dengan teliti.” suara Bu Guru terdengar jelas di kelas yang sunyi. Satria semakin gelisah. Apakah ia harus mencoba meminta bantuan pada Bu Guru?
Waktu terus berjalan. Empat puluh lima menit lagi. Masih cukup waktu untuk mengerjakannya andai saja...
“Sssttt... Satria!”
Satria mendengar dengan jelas ada yang memanggil namanya.
“Satria!”
Satria memberanikan diri menengok kebelakang. Ayra, si Kuncir Kuda, sedang tersenyum padanya. Tangan kanan Aya teracung padanya, menggenggam benda yang dibutuhkannya untuk mengerjakan soal-soal matematika.
Satria ragu menerimanya. Tapi Ayra terus mengacungkan benda itu.
“Ini, pakai punyaku.” ujarnya dengan nada tulus. Tidak ada nada marah sama sekali. Padahal Satria selalu usil padanya. Setiap hari Satria selalu usil pada siapa saja. Termasuk pada Ayra, teman paling mungil di kelasnya. Ayra selalu menjadi korban keisengannya. Rambut Ayra yang selalu dikuncir satu bergoyang-goyang lucu, membuat Satria gemas dan akhirnya menarik kuncir rambut Ayra.
“Sakit!” teriak Ayra ketika kuncir rambutnya, lagi-lagi, ditarik Satria.
Bukannya minta maaf, Satria malah tertawa. Biasanya, ketika Satria usil, teman-temannya akan melapor pada Bu Guru. Dan Satria akan dimarahi setelah itu. Tapi Ayra berbeda. Dia tidak pernah sekalipun melapor pada Bu Guru.
“Aku bukan pengadu!” jawab Ayra ketika Satria bertanya kenapa tidak pernah melapor pada Bu Guru.
“Lagipula Bu Guru sudah banyak pekerjaan. Kasihan kalau harus ditambah dengan aduan kecil anak nakal seperti kamu.” jawab Ayra.
Satria mencibir jawaban Ayra saat itu. Dia menganggap Ayra sok baik supaya disenangi oleh teman dan guru. Tapi hari ini Satria sadar kalau itu salah. Ayra benar-benar tulus dan baik. Benda di tangannya adalah bukti bahwa Ayra tidak marah meski dia selalu menarik rambutnya setiap hari.
“Terima kasih, Ay.” bisik Satria.
“Ayo, cepat kerjakan. Masih banyak waktu.” balas Ayra sambil tersenyum.
Satria menganggukkan kepala. Kini, dia bisa mengerjakan soal-soal di hadapannya. Dia sudah punya benda yang dibutuhkannya. Sebatang pensil. Satria pasti lupa memasukkan kembali tempat pensilnya setelah belajar semalam. Satria berjanji dalam hati, dia akan menjadi anak baik, seperti Ayra.
Bimbi semakin ketakutan ketika Satria menyorongkan ulat hijau itu kearahnya. Bimbi berlarian di dalam kelas, menghindari Satria yang membawa ulat hijau. Dan terjadilah peristiwa itu. Bimbi tersandung salah satu kaki meja, jatuh, kemudian kacamatanya pecah. Tanpa kacamata, Bimbi tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas. Bimbi menangis. Satria merasa lucu melihat Bimbi tanpa kacamata bulatnya.
Dan ia tertawa.
Satria urung memanggil nama Bimbi. Pandangannya beralih pada Kinan yang duduk di depan Bimbi. Kinan adalah salah satu temannya yang rajin dan juga cerewet. Satria mengumpulkan keberanian untuk memanggil Kinan.
“Enggak boleh.” suara Kinan siang itu terngiang di telinga Satria. Tangan Kinan mendekap erat buku bahasa indonesia miliknya. “Kemarin dulu kamu pinjam bukuku tapi lupa mengembalikan. Akibatnya aku dihukum Bu Guru karena tidak mengerjakan tugas.” ujar Kinan.
“Kali ini cuma sebentar kok. Kalau enggak boleh aku bawa pulang, aku pinjam disini saja. Aku kerjakan di sini.” bujuk Satria. Kinan tetap menggeleng.
“Pelit banget, sih.” Satria merajuk. Kemudian dengan sekuat tenaga dia berusaha merebut buku bahasa indonesia yang sedari tadi didekap Kinan dengan erat. Terjadilah tarik menarik antara Kinan dan Satria.
Kreeekkk. Suara itu mengejutkan keduanya. Mereka sama-sama terdiam. Buku itu robek. Terbelah menjadi dua bagian. Kinan dan Satria masing-masing memegang sebagian. Lalu tangis Kinan pecah. Satria lebih memilih melarikan diri daripada meminta maaf. Dia takut kena marah Bu Guru.
Satria semakin gelisah. Sudah pukul 07.05. Waktunya semakin sedikit untuk mengerjakan seluruh soal. Dia berencana akan mengerjakan soal yang dikuasainya lebih dulu. Dan mengerjakan sisanya andai waktunya cukup. Satria meremas tangan dengan gelisah. Tangan Satria berkeringat semakin banyak. Waktu terus berjalan. Dia harus segera menyelesaikan soal-soal matematika itu sebelum bel berbunyi.
“Masih ada waktu lima puluh menit lagi, anak-anak. Jangan terburu-buru. Periksa lagi jawaban kalian dengan teliti.” suara Bu Guru terdengar jelas di kelas yang sunyi. Satria semakin gelisah. Apakah ia harus mencoba meminta bantuan pada Bu Guru?
Waktu terus berjalan. Empat puluh lima menit lagi. Masih cukup waktu untuk mengerjakannya andai saja...
“Sssttt... Satria!”
Satria mendengar dengan jelas ada yang memanggil namanya.
“Satria!”
Satria memberanikan diri menengok kebelakang. Ayra, si Kuncir Kuda, sedang tersenyum padanya. Tangan kanan Aya teracung padanya, menggenggam benda yang dibutuhkannya untuk mengerjakan soal-soal matematika.
Satria ragu menerimanya. Tapi Ayra terus mengacungkan benda itu.
“Ini, pakai punyaku.” ujarnya dengan nada tulus. Tidak ada nada marah sama sekali. Padahal Satria selalu usil padanya. Setiap hari Satria selalu usil pada siapa saja. Termasuk pada Ayra, teman paling mungil di kelasnya. Ayra selalu menjadi korban keisengannya. Rambut Ayra yang selalu dikuncir satu bergoyang-goyang lucu, membuat Satria gemas dan akhirnya menarik kuncir rambut Ayra.
“Sakit!” teriak Ayra ketika kuncir rambutnya, lagi-lagi, ditarik Satria.
Bukannya minta maaf, Satria malah tertawa. Biasanya, ketika Satria usil, teman-temannya akan melapor pada Bu Guru. Dan Satria akan dimarahi setelah itu. Tapi Ayra berbeda. Dia tidak pernah sekalipun melapor pada Bu Guru.
“Aku bukan pengadu!” jawab Ayra ketika Satria bertanya kenapa tidak pernah melapor pada Bu Guru.
“Lagipula Bu Guru sudah banyak pekerjaan. Kasihan kalau harus ditambah dengan aduan kecil anak nakal seperti kamu.” jawab Ayra.
Satria mencibir jawaban Ayra saat itu. Dia menganggap Ayra sok baik supaya disenangi oleh teman dan guru. Tapi hari ini Satria sadar kalau itu salah. Ayra benar-benar tulus dan baik. Benda di tangannya adalah bukti bahwa Ayra tidak marah meski dia selalu menarik rambutnya setiap hari.
“Terima kasih, Ay.” bisik Satria.
“Ayo, cepat kerjakan. Masih banyak waktu.” balas Ayra sambil tersenyum.
Satria menganggukkan kepala. Kini, dia bisa mengerjakan soal-soal di hadapannya. Dia sudah punya benda yang dibutuhkannya. Sebatang pensil. Satria pasti lupa memasukkan kembali tempat pensilnya setelah belajar semalam. Satria berjanji dalam hati, dia akan menjadi anak baik, seperti Ayra.
Posting Komentar untuk "Contoh Cerpen Budi Pekerti Anak "
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar