Iklan Atas

Blogger Jateng

Desa Nasi Basi | Cerpen Afika Awwaliyah Rozzaq


Beberapa hari ini aku merasakan beberapa kali napas berat menghantuiku. Rasanya, sungguh tidak mengenakkan. Pahit. Aku melongok keluar jendela dan melihat langit. Aku tersenyum. Seandainya langit seirama dengan suasana hati penduduk desa ini, tentu saja tidak akan ada matahari, awan, dan langit biru. Terkadang, ada yang ingin aku tanyakan kepada Dia, kenapa Dia sampai hati mendamparkanku ke desa aneh ini?

Suara pintu terbuka.

“Sudah pulang, Bang?” tanyaku sambil menemani duduk di sampingnya.

Bang Isa tidak menjawab. Air wajahnya benar-benar tidak menandakan bahwa ia bahagia. Ya, paling tidak ini adalah pemandangan yang selalu aku lihat dalam dua bulan terakhir.

“Bagaimana nasi yang kau masak?” tanya Bang Isa bernada putus asa.

Aku terdiam sejenak. Jujur, aku malas membalas pertanyaannya. Tapi, akhirnya aku tersenyum juga. Akhirnya aku menjawab juga. “Bagus. Tidak basi.”

Bang Isa menarik napas panjangnya. Senyumnya mengembang sedikit.

“Sepertinya, tidak akan ada kejadian hari ini.”

Aku hanya mengamini.

*****

Apa yang dapat kukatakan. Pada awalnya ini bukanlah desaku. Aku berada di desa ini baru setengah tahun ketika aku menikah dengan Bang Isa. Siapa sangka, desa ini berbeda dengan apa yang aku terka saat pertama kali menginjak tanahnya. Desa ini asri dengan perkebunan-perkebunan milik penduduk desa yang rajin tersenyum. Benar. Mereka juga sering mengirimiku dan Bang Isa buah dan sayuran dari hasil perkebunan mereka. Kala itu, Bang Isa juga masih dapat tertawa ramah. Rajin tersenyum pula seperti mereka.

Desa benar-benar berubah sejak ada nasi basi dan kematian seorang guru yang dikenal baik hati. Aku memang pernah mendengar bahwa ketika ada seseorang yang menanak nasi, kemudian nasi yang dimasaknya tiba-tiba menjadi basi. Maka, akan ada orang dekat yang meninggal. Namun, untuk kasus di desa ini, setiap ada nasi basi maka akan ada orang baik yang meninggal.

“Apa itu?”

Aku menengok spontan ke arah salah satu pedagang buah.

“Kau mengurangi takarannya, Mang!” seru seorang ibu sambil membentak seorang pedagang buah yang terlihat seperti mengurangi takaran timbangan buahnya.

Aku memandang pedagang buahnya. Luar biasa. Tidak ada urat menyesal atau takut sedikitpun di wajahnya. “Mau beli atau tidak? Saya hanya sedikit tidak baik kepadamu,”

Aku melangkah pergi dari mereka berdua. Aku tidak ingin mengetahui bagaimana kelanjutannya. Beginilah. Bukannya berlomba-lomba menjadi orang baik, tapi justru sebaliknya. Mereka tidak ingin menjadi tanda dari nasi basi berikutnya.

Kemudian, aku berhenti pada pedagang buah yang lain. Ia adalah seorang nenek yang tua renta.

“Nek, beli jeruk sekilo.”

Nenek tua itu langsung menimbangnya. Aku diam-diam memperhatikan. Tidak ada tanda-tanda kecurangan pada takaran timbangannya.

“Ada lagi, Cu?”

Aku menggeleng singkat.

“Ini untukmu,” kata nenek itu sambil menyerahkan setandan pisang.

“Untuk saya, Nek?” tanyaku ragu.

Setelah ia mengangguk, tidak ada pilihan selain menerimanya dan berterima kasih. “Nenek sangat baik. Sekali lagi terima kasih.”

Ucapanku kali ini membuatnya hening.

“Apa menurutmu Nenek baik, Cu?” Nenek itu menata susunan jeruk-jeruknya. “Tidak seperti yang lain, Nenek tidak takut mati. Umur Nenek sudah hampir delapan puluh tahun. Sudah pantas mati. Setiap kali ada penduduk yang nasinya basi, berharap itu tanda untuk Nenek, tapi ternyata bukan.”

Aku terdiam. Ada juga orang yang seperti dirinya.

“Setiap orang pasti mati dengan atau tanpa pertanda nasi basi. Jika Nenek bertahan seperti ini, Dia akan menganggap Nenek sebagai orang baik,”

Nenek itu tersenyum. “Kau sepertinya tidak takut menjadi orang baik. Apa kau juga ingin menjadi tanda nasi basi?”

Aku terkejut dengan perkataan nenek itu. Sekali lagi, aku tidak menamatkan bagian ini. Aku hanya tersenyum lalu pulang dengan membawa tomat dan setandan pisang.

Aku tidak terpengaruh dengan nasi basi itu. Sungguh?

*****

Bang Isa pulang setelah melayat ke rumah penduduk desa yang meninggal yang sebelumnya didahului adanya nasi basi oleh penduduk desa yang lain. Ia menatapku gundah. Bang Isa seperti memikul beban berton-ton di atas pundaknya. Itu karena ia merasa bertanggung jawab sebagai kepala desa. Tapi, sekali lagi, itu bukanlah kewenangannya mengatur permainan-Nya. Kekuasaan-Nya lebih hebat. Hanya saja, kenapa Dia mempermainkan pikiran dan perasaan setiap orang seperti ini terhadap kematian dan kehidupan?

“Apa desa ini harus dijual? Desa ini sudah dikutuk.”

Aku tidak berkomentar.

Ya. Aku tidak tahu. Tidak ada yang lebih tepat dari diam. Ini permainan-Nya dan doaku adalah agar Dia menghentikan permainan-Nya. Ketika semuanya berhenti, Bang Isa akan menjadi orang yang dahulu aku kagumi yang rajin melantunkan ayat suci, yang wajah purnamanya bersinar karena rajin berwudhu.

*****

Seminggu berlalu, tidak ada nasi penduduk yang dimasak kemudian menjadi basi. Namun, mereka percaya bahwa hal itu terjadi karena sudah tidak ada orang baik di desa ini. Iya. Penduduk desa menjadi orang-orang berwatak keras dan kasar. Pencurian hasil kebun penduduk menjadi marak dilakukan oleh orang-orang desa ini sendiri. Sebab itu, banyak penduduk desa tenggelam dalam kelaparan dan kemiskinan. Sedangkan Bang Isa, ia justru bertambah bingung karena desanya menjadi desa kriminal dan miskin.

“Kau mau ke mana, Ni? Di luar berbahaya.”

“Kemarin. kebun tetangga kita kecurian, Bang. Mereka mungkin sedang kesusahan.”

Bang Isa menggeleng.

“Mereka pernah memberi kita jagung rebus yang manis, Bang. Aku ingat, kau sangat menyukainya.”

Bang Isa terdiam dan terpaku di tempatnya.

“Bang, nasi basi itu, kenapa tidak menjadi tanda bagiku? Apa aku tidak cukup baik?”

“Apa maksudmu? Jangan bicara yang aneh-aneh.”

Aku tersenyum simpul. “Bang, sejak ada kasus nasi basi itu, semuanya sedikit demi sedikit melepaskan jubah kebaikan. Mereka lupa jika suatu saat semuanya pasti mati. Dan, yang bersama-Nya justru hanyalah orang-orang yang baik. Nasi basi yang bergulir sambung-menyambung seakan-akan mempermainkan kematian kita. Tapi, itu tidak lain hanyalah terapi untuk menguji kita, Bang.”

Bang Isa menggenggam tanganku. Erat. Seperti anak yang ketakutan.

“Lalu. Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ni?”

*****

Kemudian, di saat banyak penduduk desa mengikuti permainan-Nya, aku dan Bang Isa mulai melawan alur permainan. Kami mulai membangun kembali keramahan desa ini dengan membantu tetangga dan orang-orang yang hasil kebunnya dicuri. Kami tidak membuat mereka agar kembali ramah dan tersenyum seperti dulu. Tapi, mereka melakukan itu atas kemauan sendiri karena melihat kami ramah dan tersenyum. Jelas, setiap orang di desa ini merindukan untuk tersenyum dan berbuat baik seperti dulu. Sebelum kasus nasi basi memuncaki iman mereka.

Jubah kebaikan orang-orang desa ini mulai dipakai lagi setahap demi setahap. Uluran tangan yang satu ke tangan yang membutuhkan yang lain, begitu seterusnya, membuat kebaikan merebak dengan mudah, seperti teralirkan angin. Pencurian pun memudar dengan sendirinya karena terkalahkan oleh kebaikan penduduk desa yang lain. Atau, karena mereka yang melakukan pencurian lelah untuk menyakiti penduduk desa yang tinggal bersama mereka. Mungkin juga karena mereka adalah orang baik. Hanya, karena tidak ingin menjadi tanda bagi nasi basi, mereka menghindar dengan tidak menjadi orang baik. Lama-lama, mereka lelah dengan tidak menjadi diri mereka.

Begitu juga dengan Bang Isa. Ia kembali.

“Alhamdulillah. Desa ini, kembali seperti dulu Ni,” ucap Bang Isa semringah.

Aku mengangguk singkat sambil menyiapkan lauk pauk untuk sarapan.

“Tapi Ni, ketika semua orang kembali menjadi orang baik, kalau ada pertanda lagi. Bagaimana?”

Aku membuka tutup penanak nasi. Aku terdiam sesaat. Lalu aku tersenyum simpul.

“Berarti, kita harus terus dan lebih menjadi orang yang baik. Waktu sebagai manusia memang terbatas dan Dia memberi pertanda. Tidak ada yang salah, Bang.”

Aku menengok ke arah Bang Isa yang membalas pernyataanku dengan senyumnya. Aku kembali menarik napas panjang. Bagaimana tidak, aku melihat nasi basi di hadapanku.

Lagi-lagi, aku tidak menamatkan bagian ini. (*)