Ia hanya anjing kampung buduk biasa. Suatu malam, anak-anak muda yang biasa nongkrong di ujung gang mabuk-mabukan main gitar, melihat anjing itu berjalan terpincang-pincang. Satu kaki belakangnya tertekuk kesakitan—pastilah seseorang telah menyambitnya dengan pentungan—hingga ia seperti berjalan menyeret-nyeret penderitaan, lalu sempoyongan dan terjerembab ke dalam got.
Beberapa anak muda yang sedang nongkrong itu segera bangkit. Tentu saja bukan karena ingin menolongnya, tetapi karena berpikir mereka bisa menyembelih anjing itu. Dagingnya pastilah lumayan lezat buat teman menenggak tuak oplosan. Anjing itu diangkat dan diikat, dimasukkan dalam karung. Karena begitulah cara terbaik membunuh anjing agar dagingnya lezat dan empuk ketika dimasak: masukkan anjing dalam karung, dan gebuki hingga mati. Jangan sampai kepalanya pecah, cukup dibuat retak. Karung akan meredam suara anjing yang melolong kesakitan. Dengan cara digebuki seperti itu, darah akan tetap melekat dalam daging. Dan itulah yang membuat dagingnya akan empuk ketika dibakar.
Pastilah bukan karena termasuk golongan penyayang binatang, ketika seorang dari anak muda itu menghentikan sebelum pembantaian itu terjadi. “Berhenti!” Semua menatapnya. “Bagaimana kalau anjing ini ternyata malaikat?”
Ini, sudah pasti juga bukan karena dia termasuk golongan orang yang baik pengetahuan agamanya, tapi karena sudah begitu mabuk. Pelupuk matanya terlihat melorot menutupi matanya yang nyaris terbalik dan tubuhnya bersandar hampir ambruk ketika mengingatkan kawan-kawannya. Dan begitulah, anjing itu selamat. Tapi, barangkali juga saat itu memang ada malaikat lewat dan mengetuk kepala anak-anak muda yang mabuk itu, hingga melihat anjing itu seperti juru selamat yang akan membebaskan mereka dari penderitaan hidup.
Gagasan bahwa anjing itu juru selamat yang akan menyelamatkan hidup mereka rupanya menyenangkan para pemabuk itu. Mereka pun merawat anjing itu. Anjing yang terlihat teramat sengsara itu seperti mengingatkan pada nasib mereka. Ada perasaan kasih sayang yang membuat mereka merasa tenteram ketika menatap mata anjing itu. Matanya seperti menyimpan cahaya dari surga. Mungkin ia memang juru selamat yang sedang menyamar. Tuhan seperti berdiam dalam mata anjing itu.
*****
Bayangkan, ketika azan berkumandang, anak-anak muda itu tetap saja menyanyi keras atau tertawa cekakakan. Telinga mereka telah disumpal setan. Tiap saat memalak siapa pun yang lewat agar mereka bisa membeli tuak. Tak jarang mereka menggoda gadis-gadis dengan perkataan cabul. Pak Rais telah menasihati mereka baik-baik, mengajak belajar mengaji, atau mendengarkan ceramah ustad-ustad yang setiap hari Minggu diundang Pak Rais untuk ceramah di rumahnya. Beberapa anak muda itu memang kadang datang ke pengajian, tetapi selalu tertidur selama ceramah, dan baru bangun ketika makanan dibagikan.
Sekarang tak seorang pun dari pemuda pemabuk itu yang mau datang ke pengajian. Mungkin anak-anak muda itu memang sudah keterlaluan karena menganggap duduk bergerombol memandangi anjing itu jauh lebih menyenangkan ketimbang mendengarkan ceramah penuh nasihat yang membosankan.
“Lihat mata anjing itu yang tulus, ia tidak pernah menyalahkan kita. Anjing itu tidak pernah menakut-nakuti kita dengan neraka,” ujar seorang pemuda.
Dan, entah kesambet pikiran gila dari mana, para pemabuk itu mulai mempercayai bahwa setiap gerak-gerik anjing itu sebenarnya isyarat yang harus mereka tafsirkan maknanya.
“Lihatlah, ia tak sering menggonggong, artinya ia tak mengajari kita kemarahan dan kebencian. Perhatikan bagaimana ia selalu diam setiap melihat sesuatu, artinya ia mengajari kita kesabaran. Anjing itu tak pernah meminta apa pun, tak mencuri makanan meski kelaparan, bahkan ia tak menghabiskan makanan yang kita berikan. Sepertinya ia ingin mengatakan pada kita kalau hidup itu mestilah berbagi dalam kesusahan dan penderitaan.”
Suatu malam anjing itu menggondol daging, entah dari mana, dan meletakkan di dekat kaki para pemuda itu. Mereka menganggap daging itu rezeki dari langit lalu memasaknya, dan ajaib, daging itu tak habis meski terus-menerus mereka memakannya.
Dan Pak Rais begitu marah ketika melihat anjing itu berjubah.
*****
SEBENARNYA itu hanyalah ide konyol dan main-main seorang dari anak-anak muda berandalan itu yang ingin membuat lelucon dengan memberi anjing itu pakaian. Ia memang pernah melihat para penggemar anjing memberi anjing-anjing peliharaan mereka dengan pakaian yang lucu-lucu. Ada yang mendandani anjingnya dengan gaun seperti putri raja, memakaikan topi koboi hingga terlihat lebih gagah, berjas rapi ketika diajak ke pesta, bahkan ada anjing yang memakai kostum superhero. Lalu anak-anak muda itu sepakat, agar terlihat keren, mereka membalut anjing itu dengan kain merah, yang ujungnya terlihat berkibaran hingga mirip jubah Superman. “Kupikir ia tak hanya terlihat seperti Superman…” “Maksud lo?” “Ia lebih mirip seperti Darwis.” Dan mereka tertawa. Pak Rais menganggap itu sudah benar-benar kebablasan. Menyamakan anjing itu layaknya seorang sufi sungguh-sungguh melukai hati. Anjing itu telah membawa pengaruh buruk pada anak-anak muda di kampung ini. Kampung ini tak akan mendapat berkah. Lalu Pak Rais mengingatkan, betapa dalam sebulan ini banyak warga yang tiba-tiba terserang penyakit aneh dan mati. Itu pasti akibat hawa buruk yang dibawa anjing itu. Malaikat tak pernah akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada seekor anjing, hingga penghuni rumah itu akan jauh dari kebaikan dan keselamatan.
Begitu pun dengan nasib kampung yang ada anjingnya, kata Pak Rais. Kampung ini akan menjadi kampung najis, bila kita membiarkan anjing itu terus berkeliaran. Para warga sepakat. Setidaknya, mereka memang risi setiap melihat anjing itu berjalan melintasi rumah mereka, kadang kencing di pagar, berjalan gontai dengan jubah merah berkibaran tertiup angin. Belum lagi anjing itu suka berak sembarangan. Tapi, tentu saja, mereka tak ingin berurusan dengan para pemabuk itu. Makanya mereka menyerahkan urusan anjing itu pada Pak Rais, agar menegur.
Tapi kau tahu sendiri, menasihati orang gila jauh lebih mudah ketimbang menasihati pemabuk. Bila kau menasihati orang gila, paling orang gila itu senyam-senyum sendiri. Sedangkan dengan pemabuk, baru mau ngasih nasihat, kau bisa keburu dibacok.
Berkali-kali menegur dan menasihati, Pak Rais tak hanya capek, tapi juga semakin dongkol. Tentu saja ia tak mengungkapkan kedongkolannya secara langsung kepada para pemuda itu. Di usianya yang 72 tahun ia harus bisa lebih sabar menghadapi yang mungkar. Lagi pula, bagaimanapun ia sering membutuhkan bantuan pemuda-pemuda itu, terutama pada masa kampanye. Ia bisa berkali-kali terpilih menjadi anggota dewan juga tak lepas dari bantuan anak-anak muda itu. Hanya dengan memberi mereka lima ratus ribu, mereka akan penuh semangat memasang baliho dan poster kampanye, menekan warga agar memilihnya atau menggertak saingan-saingannya. Bila anak-anak muda itu menggunakan uang pemberiannya untuk beli tuak, ia tak keberatan, selama itu demi kebaikan. Kebaikannya tentu saja. Maka, satu-satunya yang mungkin dijadikan pelampiasan kejengkelannya adalah anjing itu.
Diam-diam ia menyuruh orang untuk meringkus anjing itu dan membuang jauh-jauh, kalau perlu membunuhnya. Tapi anjing itu selalu muncul kembali. Dengan tenang berjalan melenggang dengan jubah merahnya yang berkibaran. Pernah, seolah-olah meledek, anjing itu melintas di depan rumah Pak Rais ketika ada pengajian, diikuti anak-anak muda yang berbaris dengan takzim di belakang anjing itu. Seperti orang suci dengan para pengikutnya.
Tak hanya itu alasan si anjing kemudian dilaporkan polisi. Anjing itu dianggap menyebarkan pikiran buruk, meracuni pikiran para pemabuk itu dengan ide-ide radikal berbahaya dan terlarang. “Pasti anjing itu jelmaan hantu komunis,” tegas Pak Rais.
Hantu-hantu komunis memang selalu ingin bangkit kembali dengan berbagai cara. Makanya jangan heran kalau hantu komunis itu pun menyamar sebagai anjing. Agar keadaan tidak semakin membahayakan bagi bangsa dan negara, maka Pak Rais meminta agar polisi segera menangkap dan memenjarakan anjing itu.
Soal ini banyak yang tahu, sejak muda Pak Rais memang dikenal sangat membenci hantu komunis. Dulu ia termasuk yang ikut menghabisi orang-orang yang menjadi anggota dan simpatisan partai komunis. Itulah yang membuatnya merasa berjasa menyelamatkan bangsa dari bahaya hantu-hantu komunis. Dan itu selalu diceritakan dengan bangga.
Yang tidak diketahui orang-orang adalah kejadian saat tengah malam ketika puluhan polisi mendatangi rumahnya. Sebelumnya orang-orang hanya mendengar suara ribut dan teriakan ketakutan, lalu terdengar lolong panjang anjing yang terus mengaing-aing, begitu gaduh, seperti tengah berkelahi melawan sesuatu yang mengerikan. Suasana malam itu begitu mencekam dan menakutkan hingga tak seorang pun berani mendekat. Lalu muncul mobil patroli polisi. Dan anjing berjubah merah itu tak pernah kelihatan lagi.
Kepada orang-orang Pak Rais hanya mengatakan kalau anjing itu sudah diamankan. Ia tak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu: ketika dua orang pencuri menyatroni rumahnya. Ia pasti sudah mati dig*rok kalau anjing itu tak muncul. Tiba-tiba saja anjing itu meloncat dari balik kegelapan dan menyerang dan terus menggigit dua pencuri bergolok itu, sampai keduanya kabur. Bacokan golok yang menghujam berkali-kali membuat anjing itu terkapar. Lehernya koyak. Kepalanya nyaris putus. Pak Rais gemetar menyaksikan itu. Jubah merah anjing itu kian merah bersimbah darah. Dalam sekarat, mata anjing itu menatapnya hampa.
Malam itu juga ia menyuruh membuang bangkai anjing itu ke kali.
*****
AGUS NOOR, gaya penulisan dan kisah-kisahnya kerap mengejutkan, liar dengan ledakan humor yang surealistik. Dia termasuk penulis Indonesia yang produktif. Cerpen ini termasuk yang akan disertakan di buku terbarunya: Lelucon Para Koruptor.
Posting Komentar untuk "Anjing Berjubah Merah | Cerpen Agus Noor"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar