Tak hanya pada jam sibuk, jam tak sibuk pun hampir semua jalanan di ibu kota bagai tak bisa menghirup kebebasan dengan lega. Jika ia makhluk hidup, mungkin ribuan kendaraan yang melintas telah membuatnya berteriak kesakitan. Jalanan yang macet selalu tak memiliki daya untuk menutup cerita. Hari lepas hari, kendaraan bukan berkurang, malah semakin bertambah. Mau berteriak dan mengadu kepada siapa? Angin pun rasanya enggan menerpa bila panas yang ganas berpadu dengan kompilasi busuknya udara langit Jakarta.
Keringat para sopir bus Metro Mini yang bercucuran di seluruh wajah dan tubuh hanya merupakan bagian dari permainan waktu yang menjadi drama penuh cerita yang getir di kehidupan mereka. Yang tak lagi aneh, meski penuh dengan cerita yang berakhir semu, Jakarta tetap menjadi pilihan. Kota ini memberikan harga diri tersendiri melalui cerita yang bergulir ketika mereka pulang kampung di hari raya.
Para sopir, yang menjadi petarung di jalan raya, merambah tiap sudut kota, menghirup asap dan debu jalanan, bergeming dari peringatan penuh elegan para dokter dan pakar kesehatan tentang pentingnya menjaga kesehatan.
“Kesehatan hanya simbol buat kami dan akhir dari simbol itu adalah kematian. Jakarta telah memberikan pilihan yang mengikat seluruh sendi kehidupan kami. Mau pulang kampung? Di mana? Kami sudah tinggal di sini puluhan tahun lamanya. Andai kami pulang ke desa, maka kami akan menjadi orang asing di desa kami sendiri. Jadi, apa pun yang akan terjadi dengan kehidupan kami di Jakarta, kami hadapi dengan dada terbuka,” ujar Bang Somad, sopir Metro Mini jurusan Pulogadung Kampung Melayu.
Bus yang saya tumpangi disopiri Bang Somad, tampaknya tak kuat lagi digas untuk mengejar waktu. Jalannya terseok-seok, seperti majikannya, sang sopir yang kurus berdada pipih, dengan kempot di wajah dan sesekali memperdengarkan batuk keringnya. Bang Somad berbicara sendirian ketika lampu merah menyala terang di perempatan Jalan Rawamangun dan Utan Kayu.
Metro Mininya yang sudah tua itu hanya diisi oleh saya, dua perempuan muda, dan seorang pengamen remaja puteri dengan seorang bayi yang berusia sekitar lima bulan di gendongannya. Ketika lampu perempatan mulai berwarna hijau, sang pengamen bangkit dari tempat duduknya, ia mulai memperdengarkan suaranya. Nyanyian dengan suara sumbang terdengar.
“Udah stop, jangan nyanyi lagi. Kasihan itu bayi!” Si sopir langsung emosi.
Sang pengamen yang mungkin saja dengan bayi sewaannya itu tertegun sejenak. Ia tidak langsung turun, diteruskannya lagu yang belum tuntas. Meski bersuara fals, ia masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaannya hari itu.
Ketika ia turun dari Metro Mini itu, sang sopir meliriknya sejenak. “Bayi itu anak tetangga saya. Inilah Jakarta, Bu, semua bisa disulap menjadi uang,” katanya sambil menginjak gas dengan tekanan sedang.
Kemudian bus berwana jingga itu berjalan terseok-seok membelah Jalan Utan Kayu, lalu menyusup hingga masuk ke Jalan Pramuka. Berhenti sebentar menunggu penumpang yang naik. Moda transportasi yang dulu sempat berjaya ini, kini tidak lagi menjadi alat transportasi yang menorehkan kenangan yang selalu ditunggu dan dicari oleh para penumpang yang membutuhkannya.
Dia lebih seperti kendaraan tua yang terengah-engah dilibas oleh perkembangan teknologi dan kapitalisme. Kendara an berbasis online kini lebih memikat, sebab bisa langsung datang tepat di depan rumah dengan kondisi yang nyaman, ber-AC dingin juga murah. Eklusif dan praktis.
Hampir semua penduduk Jakarta atau di kota-kota besar lainnya menjadikan kendaraan daring sebagai kenikmatan yang datang tiba-tiba dengan sensasi rasa yang melambung tinggi. Di tengah sejuknya AC, bisa jadi si penumpang berpikir, inilah mungkin yang dinikmati oleh kaum sosialita dalam kehidupan mewah mereka. Ada sopir, sofa yang empuk, musik jazz nan merdu, dan penyejuk ruangan dengan wewangian lembut yang menyegarkan, meski itu hanya beberapa menit atau jam.
Saya terhenyak dari lamunan ketika sopir Metro Mini itu lagi-lagi berceloteh sendirian, “Mau jadi apa kita kalau keadaan begini terus? Bayangkan, seharian ini baru sepuluh penumpang yang naik. Mana saya belum beli bensin lagi.”
Tak ada sahutan. Dua penumpang perempuan muda yang duduk di sebelah kanan saya asyik dengan gawainya. Saya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Lalu suara batuk-batuk terdengar. Bis yang saya tumpangi berhenti sejenak. Sang sopir menepikan kendaraannya, menuntaskan batuknya.
Tak lama ia kembali berteriak memanggil penumpang. Namun satu orang pun tak ada yang naik. Sementara di sisi kiri dan kanannya, kendaraan berbasis online mulai dari motor hingga mobil mini bis yang bersih mengkilat berseliweran seolah mengejeknya. “Yah, kalah deh kita, penumpang abis diangkut kendaraan onlen!” celetuknya yang diakhiri dengan batuk beberapa detik.
Sebenarnya saya ingin menimpali dengan mengatakan bahwa semakin waktu berjalan ke depan, manusia semakin dituntut untuk kreatif dan mengejar waktu yang berjalan dengan cepat itu. Saya ingin berkata juga, mengapa ia tidak menjadi tukang ojek di sekitar rumahnya saja. Bukankah itu lebih efektif dan tidak menguras tenaga. Motor kan bisa sewa atau kredit. Tapi saya tidak berani, sebab bisa saja dia menjawab, “Ngomong si enak, emang semua kagak pake duit?”
Kemudian kisah si sopir bis terpotong oleh ujaran seorang polisi yang mendekati bisnya, katanya, “Mana SIM Bapak!”
“Ada, Pak. Cuman SIM saya kemaren ditilang. Saya belum punya uang buat nebus.”
“Lalu surat-surat yang lain mana?” tanya polisi itu.
“Ada, Pak. Tapi lagi digadai,” sahutnya dengan senyum tertahan.
Percakapan itu terhenti ketika sang polisi mendengar si sopir batuk-batuk.
“Kenapa lagi sakit masih narik?”
“Ya, Pak, kalau saya tidak narik, anak saya mau makan apa? Sama seperti Bapak, jika Bapak tidak tugas, diomelin sama atasan kan, Pak?”
Tidak ada pembicaraan lanjutan. Bis Metro Mini yang tua itu kemudian melaju, melintasi Jalan Matraman Raya. Kemacetan masih tetap sama. “Untung itu polisi baik, saya tidak dimintain uang denda. Kalau mobil ini dikandangin repot, Bu. Hari ini buat beli bensin aja belum tentu cukup.” Kali ini ucapannya ditujukan pada saya. Dua perempuan dengan jurusan yang sama masih asyik dengan gawai mereka.
Bis terus melaju, berjalan sesuai trayek yang telah ditentukan, terseok ke kiri dan ke kanan. Klakson berbunyi di belakangnya, namun sang sopir menjalankan bis Metro Mininya dengan santai tanpa beban.
“Apa lagi yang dicari dalam hidup ini? Derita sudah berada di puncak yang tak tersentuh. Mati pun enggan menghampiri. Sebab makam untuk merebahkan jasad sangat mahal di sini…,” sang sopir berkata lagi, ucapannya mirip syair lagu namun tanpa nada.
“Hidup adalah pilihan, Pak,” ucap saya.
“Nanti, di kehidupan yang akan datang, saya tak mau memilih hidup seperti ini lagi, Bu.” Katanya sambil sesekali terbatuk-batuk. Penumpang tidak bertambah, masih kami bertiga.
Angin siang kota Jakarta telah bercampur debu yang terbang dengan bebas ke segenap penjuru. Wajah-wajah keras ketika bis memasuki Terminal Kampung Melayu terlihat sangat irit senyum. Lelaki paruh baya yang tua sebelum waktunya itu duduk di belakang kemudi dengan diam.
Saya tengah merogoh tas, mencari uang untuk membayar ongkos bis. Keriuhan yang datang tiba-tiba menghampiri telinga saya. Dua perempuan penumpang bis Metro Mini yang sejak duduk di bis terus asyik dengan gawainya, berteriak minta tolong. “Dia pingsan! Sopir bis ini pingsan!” kata mereka berbarengan.
Para sopir yang berkumpul di terminal segera berlarian menghampirinya. Lelaki sopir bis yang baru saja bercakap-cakap dengan saya digotong beramai-ramai ke rumah sakit terdekat. “Sebenarnya dia sakit, tapi dia memaksa untuk menggantikan saya. Ia butuh uang untuk bayar uang sekolah anaknya. Kalau tidak, anaknya tidak bisa ikut ujian. Isterinya baru saja meninggal dunia kena tiphus.”
Saya berjalan cepat mengikuti bebera pa sopir yang menggotongnya ke rumah sakit. Ada sesak yang mengganjal diam-diam di dada. Mengapa saya tidak menemukan sedikit sinyal kalau sopir yang mengemudikan Metro Mini ini sedang sakit parah. Saya akhirnya marah pada diri sendiri, saya merasa sama dengan penduduk kota besar lainnya, telah kehilangan rasa empati. Sungguh, saya kesal pada diri saya!
Jakarta, Oktober 2017
FANNY JONATHANS POYK nama pena Fanny J Poyk, lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP), aktif menulis sejak tahun 1980-an di berbagai majalah dan surat kabar, sejak tahun 1994-2004 menjadi wartawan dan redaktur peliputan di tabloid Fantasi, pernah bertugas sebagai konsultan media di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pembinaan SMA, menjadi Pemred Majalah Sastra Komodo Courier dan Pemimpin Redaksi Majalah Orchid Magazine. Menulis cerpen untuk surat kabar Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Suara Karya, Timor Expres, Kompas, dll. Cerpennya terpilih menjadi yang terbaik pada 2016.
Posting Komentar untuk "Suatu Hari didalam Metro Mini | Cerpen Fanny J Poyk"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar