Kala itu, sehabis turun shalat Subuh—saat jamaah sudah pulang ke rumah masing-masing—ustaz Zamzani yang selalu pulang akhir karena lebih lama berzikir didekati seorang lelaki yang berpenampilan seperti orang yang terganggu kejiwaannya. Namun nahas, lelaki berpakaian kumal itu langsung mencekik leher ustaz Zamzani sambil mengancam, “Kamu ustaz? Saya bunuh!”
Beruntung ustaz Zamzani memiliki sedikit simpanan bela diri sehingga upaya pembunuhan itu dapat digagalkan. Bersamaan itu, marbot masjid, pak Imin, ikut membantu menangkapnya. Tetapi sayangnya, orang gila itu dilepas bebas oleh lelaki yang menjadi imam rawatib masjid al-Manar itu.
“Kenapa tidak ditangkap saja ustaz?” tanya salah seorang jamaah yang mendengar cerita itu dengan heran. “Betul, jangan-jangan dia akan mengulangi perbuatannya itu,” sahut yang lain. “Sekarang banyak pemberitaan, ustaz dibunuh orang gila,” timpalnya kemudian.
“Semoga itu tidak terjadi lagi,” ucap ustaz Zamzani menenangkan suasana.
“Bagaimana kalau kita adakan penjagaan untuk melindungi ustaz Zamzani dan ustaz-ustaz lainnya,” seru Ziyad. Ketua remaja masjid itu terlihat sekali kesungguhannya.
“Setuju,” ucap Saefudin. Lelaki berperawakan tegap yang membawahi kegiatan seni bela diri untuk para remaja masjid itu menyatakan bulat dukungannya.
“MENGAPA orang gila membunuh ustaz?” tanya Ziyad kepada Rafi.
“Betul, kenapa hanya ustaz dan pelakunya lagi-lagi orang gila?” Rama pun turut mengerutkan keningnya memikirkan jawaban dari pertanyaannya itu. Kedua pemuda itu bertetangga dan berkawan baik dengan Ziyad.
“Ustaz adalah ulama. Mustahil Allah akan membiarkan orang-orang gila itu membunuhi hambanya yang menjadi pewaris dari rasul-Nya,” jelas Ziyad.
“Bukankah dulu orang-orang Yahudi gemar menghilangkan nyawa para Nabi dan kini orang gila hobi membunuh ustaz?” Rafi menukas penjelasan Ziyad.
“Apakah kiamat makin dekat sehingga Allah mematikan orang-orang saleh seperti ustaz-ustaz itu? Suatu kebetulan ataukah ada desain dengan pelaku dan korban yang selalu sama? Masih saja ada orang-orang yang tidak menghendaki bangsa ini aman dan makmur?” ujar Rama memperluas perbincangan.
“Entahlah,” jawab Ziyad. “Sementara, ini kita baru bisa berbuat untuk membela ulama dan kitab suci dari para penista. Seperti dulu kaum Hawariyun membela Nabi Isa AS atau kaum Anshar yang melindungi Nabi Muhammad SAW. Biarlah untuk penyelidikannya menjadi kewenangan pihak kepolisian. Apa yang menimpa ustaz Zamzani pun sudah ditanganinya.”
“Semoga akan segera diketahui misteri pembunuhan ustaz oleh orang-orang gila itu.”
*****
MALAM kian kelam. Pekat merayap manakala bulan disungut awan. Bunyi kentong sesekali ditabuh seirama dengan tubuh-tubuh yang lalu-lalang dengan bayang hitam dari jamaah yang hilir mudik di sekitar masjid dan rumah ustaz Zain yang bersebelahan.
Di dalam rumahnya, ustaz Zain tak bisa tidur apalagi sampai mendengkur. Ia terpekur memikirkan keadaan yang demikian mencekam. Diraihnya sebuah kitab bacaan untuk menghilangkan pikiran yang tidak-tidak. Beberapa lamanya ia tenggelam dalam lautan ilmu. Meneguk pengetahuan dan menemukan mutiara yang tersebar di dalamnya.
“Sudahlah Abi, sudah malam,” ucap istrinya pelan. Tangannya yang lembut memijit-mijit punggung suaminya yang masih menekuri kitab bacaannya. “Bukankah sudah ada yang menjaga rumah ini?”
Lelaki yang rambutnya mulai berjuntai uban itu menutup bukunya dan meletakkan di meja kerjanya. Ia tersenyum, memandangi wajah istrinya yang penuh dengan guratan kesabaran. Wajah yang tak pernah lelah menemaninya sekalipun keringat di tubuh berpeluh.
“Apa anak-anak sudah tidur, Umi?”
“Sudah, Zain dan Zallumy tidur di kamar depan.”
“Sebenarnya Abi bukan tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan peristiwa kemarin, Umi.”
“Lantas?”
“Kasihan mereka, tidak tidur dan harus terus berjaga-jaga. Makan dan minum pun uang mereka sendiri, tak ada yang menanggung.”
“Bukankah itu atas kesadaran dan keikhlasan mereka. Itu bukti masih ada kecintaan umat kepada ustaz seperti Abi.”
“Betul, tetapi mereka juga punya keluarga yang juga mesti dijaga dan dilindungi. Abi tak ingin menjadi sebab tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga dan anggota keluarga lalai dan terbengkalai.”
Cukup lama percakapan itu senyap. Hanya bunyi detak jarum jam yang kian terdengar saat keduanya diam. “Terus kita dapat berbuat apa, Abi?”
Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Ia tampak berkemas, di depan cermin dirapihkan pakaiannya. “Abi akan keluar dan membubarkan mereka untuk pulang ke rumah. Kasihan, sudah seminggu lebih mereka berjaga. Keamanan keluarga kita biarlah menjadi tanggung jawab kita sendiri. Kita pun tetap berikhtiar agar waspada dan berhati-hati. Tawakal menyerahkan urusan ini kepada Allah—Tuhan yang menghidupkan dan mematikan.”
Umi Salamah—istri ustaz Zain—terdiam. Kepalanya mengangguk tanda sepakat. Dalam hatinya ia tetap merasa khawatir atas keselamatan suaminya. Namun, apa yang diucapkannya lelaki yang dipanggil Abi itu juga memang benar.
“Abi pamit sebentar, Umi.”
Tak ada yang diucapkannya kemudian, kecuali sebaris doa di dalam hati agar keadaan semacam ini segera berlalu. Ia teringat beberapa kasus yang menimpa kiai-kiai di negeri yang mayoritas Muslim ini beberapa tahun silam. Sebutlah pembunuhan kiai berkedok isu ninja atau dukun santet di Banyuwangi, pembantaian terhadap guru ngaji di tujuh kabupaten di Jawa Timur, teror tanda silang merah menggunakan cat semprot di sejumlah rumah kiai di Demak, dan jauh sebelumnya adalah pembantaian ulama-ulama oleh PKI dalam berbagai peristiwa pemberontakannya di Tanah Air. Beberapa kasus, misalnya, selalu diawali dengan banyak berkeliaran gelandangan dan orang gila. Ini tidak jauh berbeda dengan pembunuhan terhadap beberapa ustaz sekarang ini. Adakah hubungan atas semua peristiwa itu. Batinnya menjangkau-jangkau sampai jauh dan jauh.
“KITA bunuh saja! Bunuh! Bunuh!”
Terdengar teriakan dan lontaran kata orang-orang di seberang jalan depan masjid. Suasana malam yang tenang mendadak bising dengan bunyi kentong yang ditabuh bertalu-talu.
“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Semua ucapan seperti satu suara.
“Jangan dibunuh! Jangan! Kita tangkap saja dan kita tanya kebenarannya!” teriak Ziyad. Ia dan dua kawannya datang berlarian.
“Bodoh kamu! Orang gila mau ditanya, apa otakmu juga tidak waras!” bentak Saefudin dengan suara keras, ia memang terkenal jawara. Dua tangannya sudah mengepal dan darahnya seperti sudah menggumpal. Dipukulnya lelaki berpakaian kumal itu sehingga terpental dan terdengar jeritannya mengaduh-aduh.
“Sebentar! Sebentar! Di mana kau temukan orang gila ini?” tanya Rafi.
“Betul, jangan sampai kita salah menghakimi orang,” imbuh Rama.
“Dia tepergok masuk pelataran masjid dan hendak menuju rumah ustaz Zamzani,” cerita Saefudin.
“Betul, seperti itu ceritanya,” timpal Yasin yang saat itu bersama Saefudin.
“Berarti ini baru dugaan. Belum cukup bukti untuk menuduh lelaki ini akan berbuat buruk kepada ustaz Zamzani,” jelas Ziyad.
Suasana makin ketat. Dan orang-orang makin panas berdebat. Namun, di saat demikian terdengar suara jeritan.
“Bukankah itu suara umi Salamah, istri ustaz Zamzani?” seru Ziyad memberi analisis.
“Benar! Apa yang terjadi?”
“Coba beberapa orang untuk menengok ke sana!” perintah Saefudin yang masih mengunci tangan dan kaki orang gila itu agar tidak bergerak.
Orang-orang berlarian ke rumah ustaz Zamzani. Mereka menemukan umi Salamah tengah mendekap suaminya di depan beranda rumahnya.
“Apa kubilang, orang gila tadi telah berbuat buruk kepada ustaz Zamzani,” seru Yasin geram.
“Ada apa, Umi?” tanya Ziyad.
Sambil terisak perempuan berpakaian hijab memberi penjelasan. “Abi tak bisa tidur, lalu pamit sebentar ingin bertemu kalian tapi sudah satu jam belum juga kembali. Lalu Umi berniat untuk untuk menemuinya dan terkejut menemukan sudah Abi tergeletak di sini.”
“Maaf Umi, saya ingin melihat keadaan ustaz,” pinta Ziyad.
Disentuhnya detak jantung dan pergelangan tangan guru mengajinya itu. Mukanya tampak tegang, tetapi kemudian mengendur seperti ada rasa syukur yang tak terukur.
“Ustaz masih hidup,” katanya.
“Alhamdulillah!” Serentak orang-orang yang hadir di situ mengucap.
Di saat itu, ustaz Zamzani siuman. Kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit dan melihat sudah banyak orang mengerumuninya. “Ada apa ini? Apa yang terjadi di atasku?”
“Maafkan kami ustaz, kami berkumpul di sini untuk menjaga ustaz dan keluarga. Tetapi, rupanya kami kecolongan.”
“Ini orang gilanya sudah kami tangkap. Terserah ustaz, kami menunggu perintah,” ucap Saefudin menggelandangnya.
“Lho, apa hubungannya? Tadi saat keluar rumah, rupanya saya terpeleset karena lantainya licin berembun.”
“Jadi orang gila ini?” tanya Saefudin.
“Lepaskan saja, dia ingin bebas. Apa kalian menganiayanya?” tukasnya.
“Maafkan kami ustaz, kami telanjur menuduhnya telah berbuat buruk.”
“Ziyad, Rama, dan Rafi bantu Umi, tolong beri makan dia. Kemudian obati luka lebamnya. Dia tak bersalah.”
“Dan kalian saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan kecintaan kalian kepada ulama. Namun, pulanglah ke rumah kalian masing-masing. Anak, istri, dan keluarga kalian pun membutuhkan penjagaan dan perlindungan dengan tetap memedulikan keamanan dan kenyamanan lingkungan sekitar. Jangan lupa untuk memakmurkan masjid dengan salat berjamaah tepat waktu.”
“Baiklah, Ustaz.”
Azan subuh berkumandang. Ustaz Zamzani berlinang saat masuk masjid, orang-orang sudah berkumpul bershaf-shaf menunggunya memimpin shalat. Tiba-tiba ia teringat sabda Nabi, “Barang siapa yang melaksanakan shalat Subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah.”
*****
Faris Al Faisal lahir dan tinggal di Indramayu. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu. Karya fiksinya adalah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), dan Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), sedangkan karya nonfiksinya, yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017). Puisi, cerma, cernak, cerpen, dan resensinya tersiar berbagai media koran, seperti Kompas, Tempo, Republika, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Radar Cirebon, Radar Surabaya, Radar Sulbar, Radar Banyuwangi, Minggu Pagi, Bali Post, Bangka Pos, Magelang Ekspres, Solopos, Suara NTB, Joglosemar, Tribun Jabar, Bhirawa, Koran Pantura, Riau Pos, Majalah Hadila, Tabloid Nova dan Jurnal Asia.
Posting Komentar untuk "Mengapa Orang Gila Membunuh Ustaz? | Cerpen Faris Al Faisal"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar