Iklan Atas

Blogger Jateng

Senja Wabah | Cerpen Dadang Ari Murtono


SUATU pagi, seorang lelaki bangun tidur dan mendapati dadanya sesak. Hidungnya berair dan ia batuk-batuk selama empat jam sebelum kemudian menelepon rumah sakit. Petugas tiba tiga puluh empat menit setelah itu. Petugas itu berjumlah empat orang. Mereka mengenakan baju hazmat. Mereka membawanya ke rumah sakit. Dan ia ditempatkan di ruang isolasi untuk mencegah penularan penyakit.

Lelaki itu tak tahu bagaimana ia tertular wabah yang sedang melanda kawasan. Ia telah menjalankan segala yang dianjurkan oleh pemerintah setempat. Ia bekerja dari rumah, menghindari kerumunan, hanya keluar untuk membeli bahan pangan, rajin mencuci tangan dan menggunakan penyanitasi tangan. Ia juga mengenakan masker, bahkan bila hanya keluar untuk mendapatkan angin segar di teras rumah.

Ia mencoba mengingat-ingat riwayat akitivitasnya. Kali terakhir ia keluar rumah untuk pergi ke supermarket, dua kilometer dari rumahnya, tiga hari lalu. Di sana, ia membeli beras, minyak goreng, telur, dan mi instan. Supermarket tidak begitu ramai. Ada empat pembeli selain dirinya. Dua orang tidak mengenakan masker. Ia sengaja menjaga jarak dengan dua orang itu. Ketika antre membayar, salah satu di antara dua orang itu berdiri di belakangnya dan batuk-batuk. Sesampai di rumah, ia buru-buru ganti pakaian, lantas mandi sebersih-bersihnya. Ia bahkan menyabun tubuhnya dua kali.

Dalam masa-masa pengurungan diri di dalam rumah itu, kadang-kadang tangannya terlihat kisut dan pucat akibat terlampau sering dicuci. Suatu kali, dalam tidurnya, ia bermimpi tubuhnya menjadi hijau seperti batu kali yang dilapisi lumut. Ia terbangun dengan napas tersengal. Mengerikan sekali menjadi lumutan akibat terlalu sering terkena air. Namun, sekarang, ketika dokter memastikan bahwa ia positif terpapar wabah, ia berpikir bahwa menjadi lumutan seperti batu kali jauh lebih baik.

Mimpi buruk semakin sering datang setelah ia berada di ruang isolasi rumah sakit itu. Awalnya, mimpi itu hanya singgah ketika ia tertidur, seperti mimpi pada umumnya. Dalam mimpinya, ia melihat tubuhnya yang kaku dibungkus plastik, seperti seonggok sayur atau tahu-tempe. Lantas, sejumlah orang dengan baju hazmat menggotongnya, meletakkannya dalam peti. Mereka membawanya ke pemakaman. Tak ada pelayat yang datang. Hanya sejumlah petugas ber-hazmat itu saja. Dan tak satu pun dari petugas itu yang menangis atau terlihat bersedih. Mereka menguruk kuburnya dengan cepat, lantas meninggalkannya begitu saja. Tanpa doa. Tanpa taburan kembang. Alangkah mengerikannya mati tanpa iringan kesedihan dari pelayat.

Sejak mimpi-mimpi semacam itu datang, ia jadi takut tidur. Kadang-kadang ia tidak tidur sehari semalam. Kurang tidur menyebabkan tubuhnya kian lemah. Dokter berkali-kali bilang bahwa ia harus tidur. Namun, pikirnya, dokter itu tidak tahu apa yang dilihatnya dalam tidur.

Sekalipun begitu, kadang-kadang ia jatuh tertidur juga tanpa kehendaknya. Dan beberapa menit setelah matanya terkatup, mimpi itu datang lagi. Semakin lama semakin jelas dan mengerikan. Ia melihat dirinya di dalam kubur, terbungkus plastik, perlahan meleleh. Ia merasa pengap sehingga napasnya bertambah sesak. Ia merasa bahwa ia benar-benar berada di dalam kubur dengan plastik membungkus tubuhnya.

Pada akhirnya, ia benar-benar memutuskan untuk tak lagi tertidur. Ia berusaha keras. Hari itu sudah lima puluh delapan jam ia terjaga. Dan mimpi itu datang lagi, meski ia yakin dirinya tidak tertidur. Dalam mimpi buruk kali itu, ia melihat malaikat maut terbang di ubun-ubunnya. Malaikat itu besar, berwarna hitam, dan bersayap seperti gagak, lengkap dengan paruh tajam. Malaikat itu membawa tali tambang besar di tangan kanannya. Tali tambang untuk menjerat jiwa yang meronta, pikirnya. Malaikat itu kemudian berkata bahwa lelaki itu akan mati selepas senja hari itu.

Lelaki itu berteriak, berusaha mengusir si malaikat maut. Dua orang perawat datang. Si lelaki agak tenang.

“Jam berapa sekarang?” tanyanya.

“Jam setengah lima,” kata salah satu perawat.

“Ah, sebentar lagi,” dengusnya. Napasnya terasa semakin berat saja. Paru-parunya panas dan hendak meletus. Ia merinding. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang barusan terjadi kepadanya hanyalah halusinasi dari orang yang tengah sakit. Bukankah orang yang demam memang suka melihat hal-hal yang sebetulnya tidak ada? Namun, jauh di kedalaman hatinya, ia tahu, ia sulit bertahan. Ia terlampau payah.

“Bisakah saya meminta tolong supaya Anda membawa saya keluar sebentar saja?” ujar si lelaki dengan susah payah, “Saya ingin melihat senja. Siapa tahu, ini adalah senja terakhir yang bisa saya nikmati,” tambahnya.

Dua orang perawat itu ragu-ragu. Mereka menghubungi dokter. Dan dokter, yang sepertinya lebih mengerti kondisinya, memberi izin kepada para perawat itu untuk membawanya keluar. Mereka kemudian mendorong brankar yang ia tempati ke halaman belakang rumah sakit yang dilapisi rumput jepang tipis. Kepalanya menghadap ke barat. Matahari turun. Semburat merah di ufuk barat. Ia menghela napas besar. Lantas batuk-batuk. Udara tak pernah semenyakitkan ini sebelumnya, pikirnya. Namun, senja itu, oh, juga tak pernah seindah kali ini.

Lelaki itu tak ingin berkedip. Ia tak ingin melewatkan sedetik pun tanpa menyaksikan cahaya keemasan yang teduh itu. Alangkah cepatnya waktu berjalan. Matahari tampak turun tergesa. Lelaki itu mendengar semacam nyanyian, sebuah nyanyian yang tak bisa dideskripsikan. Apakah senja bisa bernyanyi?

Senja hampir padam. Ia bergidik. Ia belum siap. Ia masih ingin menikmati senja. Ia memejamkan mata, sedetik saja, berharap waktu berhenti. Matanya basah. Dan tiba-tiba waktu berhenti, seperti yang ia mau. Sepasang perawat yang berdiri di samping kanan-kirinya berhenti bergerak. Tak ada angin berembus. Dua helai daun mahoni yang luruh diam di udara. Seekor pipit yang tengah terbang juga membeku dengan sepasang sayap mengembang dan paruh setengah terbuka, sekitar empat meter di atas brankarnya.

Dengan susah payah, ia menoleh ke kanan ke kiri. Ada perawat mendorong kursi roda yang membawa seorang perempuan dengan alat bantu pernapasan yang juga berhenti tak jauh darinya. Ada seorang dokter yang berhenti dengan kaki kanan melayang beberapa sentimeter dari permukaan lantai. Ada keluarga pasien yang tengah menangis dan air matanya menggantung di pipi. Di sudut sana, seorang perawat tengah menyuapkan roti ke mulutnya. Mulutnya tetap terbuka dengan sepotong roti terhenti tepat di depan mulut itu.

Waktu benar-benar berhenti. Dan hanya dirinya sendiri yang mampu bergerak. Ia kalis dari waktu. Lantas, kilasan-kilasan peristiwa berhamburan di benaknya. Seorang ibu yang tengah melahirkan dan mengerang-ngerang kesakitan, terhenti. Sepasang suami istri yang hendak berciuman dan bibir mereka sudah hampir bersentuhan juga terhenti. Seorang ibu yang hendak memeluk anaknya terhenti. Seorang lelaki lapar yang hampir saja berhasil mengail ikan terhenti. Seluruh kehidupan, selain kehidupan lelaki itu, terhenti. Lelaki itu merasa menjadi satu-satunya makhluk hidup di dunia. Bila senja bertahan, bila senja tak pernah padam, maka itu berarti ia akan tetap hidup. Lelaki itu merasa sedikit tenang. Namun, sesak di dadanya juga bertahan. Lelaki itu meringis. Bila waktu terus berhenti, maka itu berarti ia akan terus hidup dan kesakitan di dadanya juga akan terus ada. Siksa dan derita yang mesti ia tanggung akan berlangsung selamanya. Seperti berada di neraka.

Ia tiba-tiba merasa merana. Bagaimana rasanya terus hidup namun segala sesuatu di luarnya terhenti, beku, diam, tak mampu melakukan apa pun? Bagaimana rasanya terus hidup dengan menanggung bara panas di dada selamanya?

Lelaki itu kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kehidupan harus terus berjalan. Barangkali hidupnya yang bakal berhenti, namun hidup banyak orang lain, kehidupan di dunia ini, semestinya terus berjalan. Dan lebih dari itu, penderitaan yang ia tanggung memang seharusnya segera berakhir. Ia memejamkan mata sekali lagi, berharap waktu kembali seperti semula. Dan seperti yang ia pinta, ketika kembali membuka mata, waktu berjalan sesuai kodratnya.

Senja lantas berakhir beberapa menit kemudian. Kedua perawat itu kembali bergerak. Mereka mendorong brankarnya kembali ke kamar isolasi. Napas lelaki itu kian susah. Dadanya kian sesak. Bara menyala kian besar. Lelaki itu tahu, ia tak akan pernah melihat senja lagi. Bahkan, ia tak akan sempat melihat ruang isolasinya sekali lagi. Ia mencoba tersenyum. (*)

Posting Komentar untuk "Senja Wabah | Cerpen Dadang Ari Murtono"