Iklan Atas

Blogger Jateng

Menembus Pandemi ~ Cerpen Isbedy Stiawan Z.S.


Santo tak lagi mau seperti anak-anak yang duduk manis, karena diperintah orang tua atau guru. Ia juga tak hendak jadi pecundang, hanya menerima angka dan jumlah yang disorongkan pemerintah.

Dia kini mencemaskan apakah keluarganya bakal makan, anaknya dapat memakai baju baru waktu lebaran. Tanpa ada yang mati karena kelaparan. Tak boleh ada. Sebagai kepala keluarga, ia bertanggung jawab atas nasib dan nyawa anak dan istri. Camkan itu, ia membatin.

Sejak disarankan tinggal di rumah, rasanya semenjak 14 Maret lalu, Santo benar-benar diam di rumah. Sebagai pekerja harian, kadang dapat pekerjaan acap yang lain benar-benar tiada gawe. Sungguh amat menyiksa dalam situasi ini. Diam di rumah keluarga mati, keluar ancaman kematian juga mengadang.

Mana kupilih? Santo membatin.

Aplikasi telepon genggamnya tak henti memberi kabar soal jumlah yang positif terpapar Covid 19, yang sembuh dan jumlah yang meninggal. Setiap hari angka itu diperbarui. Rasanya ia sudah bosan membaca dan menghitung.

Santo sekarang perlu kepastian! Kapan bantuan sosial sampai ke rumahnya, kapan pula batas diam di rumah sudah tak diberlakukan, juga kapan pandemi ini hilang dari negaranya? Itu dia harapkan. Itu pula yang dia doakan.

“Bukan soal dilonggar dan diketatkan. Bukan pula soal transportasi diaktifkan sementara mudik tetap dilarang! Bukan itu semua!” gumamnya.

Ingin ia teriakkan protes itu. Tetapi apakah bakal didengar pemerintah, atau sebaliknya dituding gila dan mau membuat gaduh. Lalu diburu dan ditangkap sebagai teroris.

Santo sudah tidak tahan di rumah saja. Karena ia yakini, rezeki itu dikejar diluar rumah. Rezeki tak pernah hadir jika seseorang di dalam rumah; leha-leha dan malas-malasan.

Ia ingat ucapan Mul. Tetangga sebelah rumahnya itu pernah berujar suatu pagi. Obrolan ringan saat menjemur diri di bawah matahari.

“Berjemur, Mas Santo…,” sapa Mul.

“O ya, Mas Mul. Katanya ini cara agar tubuh kuat melawan Corona,” balasnya.

“Mau ke mana, Mas Mul?”

“Kerja. Diam di rumah kalau seperti saya ini dari mana bisa makan….”

Santo sadar. Mul adalah pekerja sumur bor. Artinya buruh harian. Seperti dia juga.

“Gak takut, Mas Mul? Kena Corona lho.”

“Alah, Mas Santo. Saya malah takut pada istri kalau tak ada uang, tak makan, dan….”

“Segalanya….”

Lalu keduanya tertawa.

Tawa yang renyah pada pagi sebelum pukul 09.00. Pagi ketika biasanya ia keluar rumah mengais rezeki sebagai pekerja harian. Kini, sejak Maret, yang dia andalkan dapat bantuan dari adik dan kakak, juga sejawat karibnya yang ASN. Tapi apakah terus-menerus menadah tangan? Bosan juga mereka, apalagi mereka pun perlu hidup.

Meski beras masih ada stok, apa iya hanya makan nasi? Rokok juga nyaris tak terbeli. Sesekali puntung rokok yang menyisakan sedikit tembakau, dia nyalakan lagi. Sekadar menikmati rasa nikotin selepas makan sahur atau berbuka.

Untung, Mul yang rumahnya berdempet sering melempar lima batang atau setengah bungkus rokok filter. Lumayan untuk beberapa hari. Sebelum corona biasa menghabiskan sebungkus rokok untuk sehari setengah, kini ia irit agar bisa dua hari. Duh! Betapa buruk nasib yang mendera.

Sebelum pandemi Covid – 19 memasuki Indonesia dan belum ada anjuran diam di rumah saja, boleh dibilang Santo jarang berada di rumah. Sebagai buruh harian ia ambil setiap tawaran pekerjaan, yang penting halal, untuk hidup anak dan istrinya. Dia juga biasa bermain musik, kesenian yang telah membawanya manggung di sejumlah hotel, event kesenian, dan pernah ke Jakarta.

Sejak 14 Maret, ia hanya diam di rumah. Tadinya ia berpikir pandemi Covid 19 hanya berlangsung beberapa hari, tidak lebih dari sepekan. Kenyatannya, hampir tiga bulan belum ada tanda-tanda berakhir. Wajar ia gelisah. Apalagi istrinya mulai mengeluh soal beras dan lauk-pauk lain.

“Belum lagi rekening listrik, angsuran rumah, salar sampah dan keamanan. Adel juga harus beli baju baru….”

“Tapi, bagaimana kalau aku keluar, bisa….”

Ah, sepertinya tak perlu kita bahas itu. Mas Santo lebih tahu bagaimana caranya. Dapat uang dan keamanan tetap terjamin,” ujar Ema. Meski suaranya tetap cemas. “Mau diapakan lagi? Memangnya kita di rumah saja, rezeki bisa datang begitu saja? Pemerintah juga tak peduli. Ya, kita juga harus berani melanggar,” lanjut Ema.

Dari informasi banyak kawannya, tunduk terhadap aturan kesehatan yang diberlakukan pemerintah baik juga. Tetapi, kalau berlarut-larut jelas akan membuat orang mati juga karena kelaparan dan stres. Sementara tanggung jawab negara tidak kelihatan sama sekali.

“Apa kau mau mati di rumah karena tak ada masukan atau frustrasi? Apa mereka peduli?”

John, kawan sesama seniman, menasihati.

John adalah penyair. Ia juga selama pademi ini banyak agenda yang tertunda. Padahal dari jadwal-jadwal itu ia bisa mendapat uang. Untunglah, kawan penyair di Jakarta mengajaknya baca puisi di rumah saja. Mendapat honor, lumayan untuk membeli rokok dan beli beras.

“Tapi itu juga tidak kontinyu,” kata John. “Apalagi kau. Jadi saranku, ya cari pekerjaan lain di luar seni, terpenting bisa menghasilkan uang,” lanjut John.

Saran itu kemudian diikuti Santo. Ia mulai berani keluar rumah. Tak lupa memakai masker, ia kunjungi kawan-kawannya. Ia juga kerap berkumpul dengan kolega semasa di media koran. Ia banyak kenal wartawan. Tentu diajak John yang sastrawan sekaligus wartawan.

Santo mulai kerasan meninggalkan rumah. Sejak pagi ia pamit pada istrinya, dan pulang selepas berbuka puasa. Walau hanya Rp 50.000-Rp100.000 ia bisa bawa pulang. Walaupun tidak setiap hari.

“Tidak setiap keluar dijamin rezeki lancar. Mungkin Tuhan menunda hari ini untuk melipatgandakan esok atau lusa,” kata Ema, ketika Santo mengeluh pulang tak membawa uang.

Ema bukan saja istri yang bisa memberi kesejukan hati, melainkan juga selalu men-support setiap langkah Santo. Ketika ia mau rekaman menyanyikan lagu-lagu karya pemusik lain untuk konten di Youtube, Ema bahkan menemani di studio sewaan. Ia tak bosan, walau menunggu beberapa jam.

“Bukan saatnya lagi melawan dengan cara diam di rumah. Tetapi menembus pandemi itu dengan cara mengakrabi dan tetap berjarak,” kata John suatu siang.

Keduanya menahan kantuk karena puasa. Markas para wartawan belum ramai. Mereka masih memburu berita dengan cara wawancara jarak jauh. Biasanya jelang berbuka puasa mereka ke markas. Buka bersama bagi yang puasa.

Kehidupan awak media memang mengasyikkan. Berkesan riang. Kalau ada keluhan, itu tak seberapa dibanding warga lain kalau mengeluh. Lagipula awak media lebih sering menyikapi secara kritis kerja pemerintah menangani pandemi Covid-19. Merekalah yang memainkan emosi negara dan rakyat.

“Kalau tak begitu, ya gak akan dibaca orang,” kata Yadi, pemimpin media terkenal di daerah ini. “Seorang wartawan yang baik harus pandai memainkan emosi dan keinginan pembaca,” katanya lagi.

Santo hanya diam. Ia tak bisa memasuki pikiran para awak media, walaupun ia berkawan dengan banyak wartawan. Lain dari John. Ia memang jurnalis di media cetak dulunya, dan kini turut mengelola media online milik sahabatnya. Selain menulis puisi dan prosa.

John pula yang membawa Santo ke beberapa kafe di kota ini. Untuk mengisi panggung musik yang disiarkan langsung melalui Facebook dan Instagram. Ketika selesai acara, pemilik kafe sekadar mengganti bensin dan rokok. “Coba dari dulu ya, John?” bisik Santo.

“Kan baru tahu belakangan ini. Kalau diam di rumah membuat kita mati pelan-pelan,” jawab John, lalu tertawa lepas.

Duet John dan Santo di sejumlah kafe secara live mendapat dukungan. Dua seniman, penyair dan pemusik, berkolaborasi satu panggung jelas menarik. Apalagi kepiawaian Santo mendekati pemusik Alif Ba Tsa yang kerap tampil di Youtube itu. Petikan gitarnya khas. Sementara John memiliki vokal yang kuat; ada rima yang mendayu dan romantis.

Setiap mereka tampil, pengunjung di akun Facebook dan Instagram tak kurang dari 100 orang. Pemilik kafe senang. Itu berarti bagian dari promo usahanya. Khusus penonton di kota ini, esok harinya datang. Buka puasa bersama disini. Tentu membawa rekan-rekannya.

“Jadi benar kata istrimu. Perempuan itu punya feeling kuat untuk urusan uang,” kata John.

“Maksudmu?”

“Katamu, dia kan pernah bilang, keluarlah dari rumah karena rezeki itu tak pernah ada dalam rumah. Doa boleh dari rumah, usaha ya mesti diluar,” jelas John.

Santo mengangguk. Ia selalu heran dengan John. Kawannya ini tergolong pengingat yang kuat. Ia sudah lupa apa yang telah diucapkan, John malah mengingatkan lagi.

“Kalau tak salah, Ema juga sempat mengutip ayat Alquran, yang isinya setelah menunaikan salat hendaklah kau bertebaran di muka bumi ini. Artinya, ibadah (doa) lalu berusaha dan berniagalah untuk kehidupan di dunia ini. Aku sepakat itu.”

“Ya. Makanya aku langsung mengontakmu, menemuimu di markasmu itu. Aku mau mengubah rezekiku, nasibku,” balas Santo.

John mengangguk.

“Memang rezeki itu sudah tertakar dan tak akan tertukar. Itu kalau tidak kita perjuangkan, ya tak akan kita peroleh. Untuk mendapatkannya kita harus bekerja. Takaran itu yang sudah ditentukan Tuhan,” kata John setelah keduanya diam.

*****

Santo tak lagi mau seperti anak-anak. Duduk manis karena diperintah orang tua atau guru. Ia juga tak hendak jadi pecundang, hanya menerima angka dan jumlah yang disorongkan pemerintah. Dia tak mau berleha-leha di rumah dengan alasan diam di rumah demi memutus rantai penyebaran pandemi Covid-19.

Apalagi dia sudah paham banyak ikhwal cara kerja pemerintah. Tidak serius. Tak disiplin, bahkan berkesan pilntat-plintut. Lockdown tak mau, memberlakukan PSBB. Sementara membuka kembali transportasi, tetapi melarang mudik.

“Yang tak kusuka dengan cara kerja pemerintah, seperti coba-coba. Ngajak perang melawan corona dengan diam di rumah. Itu pun sudah jebol dulu penderita yang positif. Tidak ingin berlakukan lockdown, eh menyetujui PSBB di beberapa daerah. Kesannya pemerintah pusat itu tak mau membiayai rakyat akibat diam di rumah,” tandas John.

Itu sebabnya, ia melanjutkan, sejak pemberlakukan diam di rumah tak pernah dia gubris. Ia tetap keluar mencari pekerjaan. “Keluargaku harus makan. Jangan sampai mereka mati karena kelaparan, bukan karena corona!”

Itulah yang menguatkan Santo berani kembali ke luar rumah. Mencari pekerjaan. Ia tembus pandemic Covid-19 di lintas Ramadan.

“Aku juga tak mau anakku tak punya baju baru saat lebaran. Di rumah juga harus ada penganan kue, meski tamu mungkin tidak ada,” balas Santo.

Keduanya terus menembus hutan virus yang tak tampak itu. Tak mau pusing akan terpapar atau selamat melampui musibah nasional ini. “Kita harus melawan dari diri sendiri,” gumamnya. (*)

Posting Komentar untuk "Menembus Pandemi ~ Cerpen Isbedy Stiawan Z.S."