RATRI tidak pernah mengira betapa semuanya akan berakhir di Negeri Kegelapan.
Semua ini dimulai dengan keremangan, ketika odong-odong sudah kosong, dan tinggal dirinya sendiri yang belum diturunkan. Tukang odong-odong itu rupanya mengira semua anak sudah turun dengan pengasuh masing-masing, dan ia bisa segera melarikan odong-odongnya pulang.
Saat ia matikan lagu kanak-kanak dari kotak yang berisik itu, barulah ia tersadar bahwa ia tidak sendirian. Dalam remang, Ratri yang kecil memang tidak langsung kelihatan.
“Ah! Nèng! Kok belum turun?”
“Pan belum nyampé…”
“Belum nyampé? Emang mesti turun di mana?”
“Depan rumah …”
“Iya, rumahnya di mana?”
“Tau’.”
Maka tahulah tukang odong-odong itu bahwa ia bisa mendapat masalah, dan karenanya ia segera memutar balik odong-odong yang terbuat dari sambungan sepeda motor dan bak mobil itu, melarikannya di sepanjang jalan yang telah dilalui.
“Di sini rumahnya?”
“Bukan.”
“Dari sini naiknya?”
“Bukan.”
“Dari mana dong?”
“Tau’.”
Pusinglah tukang odong-odong itu, ketika semakin malam jalanan itu semakin membingungkannya. Lampu kendaraan dan lampu toko-toko berkelap-kelip mengalihkan pengamatan, suara sepeda motor yang saringannya dicopot, toa masjid yang terdengar meminta sumbangan berbaur dengan toa obral baju di pasar kaget. Ini masih jalan yang sama tentunya, tetapi mengapa tiada lagi yang dikenalinya?
Ditengoknya anak perempuan itu, hanya melamun saja, seperti bukan masalah bahwa hari sudah gelap, dan ia belum sampai ke rumah.
“Ratri!”
Terdengar teriakan dari tepi jalan, dan di kaki lima yang sudah selalu simpang siur itu tampak sejumlah orang mondar-mandir dengan gelisah.
Tukang odong-odong itu tidak tahu jika anak ini bernama Ratri. Ia mendengar teriakan itu, tetapi ada banyak juga teriakan lain. Siapalah kiranya yang akan tahu pasti bahwa teriakan yang satu itu adalah teriakan kegelisahan, berbalut kemarahan yang mendadak meluap, karena odong-odong itu tidak berhenti?
“Kejar!”
Suara kaki-kaki bersandal jepit berlarian menyela suara mesin bajaj, lagu qasidah dari toko busana muslim, dan lagi-lagi raungan knalpot sepeda motor tanpa saringan. Dalam kemacetan di perempatan, odong-odong itu terkejar dan dua-tiga orang melompat masuk, ketika pengemudinya masih sempat bertanya, “Sebelah mana Nèng?”
Setelah itu terjadi kekacauan yang membuat kemacetan semakin parah, karena setelah pengemudi itu ditarik ke belakang, oleh tangan yang mencekal leher bajunya, odong-odong itu melaju ke tengah arus yang sedang saling bersilang. Sejumlah kendaraan tertabrak dan saling berbenturan. Sejumlah yang lain berbelok menepi tetapi tetap tak bisa pergi, ketika hal yang sama terjadi dari arah berlawanan.
Deretan panjang dari segala arah membunyikan klakson bersamaan, suaranya membubung ke langit, bagaikan doa salah alamat yang tidak akan pernah dikabulkan. Pusat kekacauan terdapat di tengah perempatan itu, seperti pusaran air bergejolak yang tidak pergi ke mana pun.
“Mau menculik ya? Bangs*t!”
Saat seorang banpol muda tiba diperempatan itu, kemacetan belum juga terurai, tetapi tukang odong-odong itu terkapar dijalanan dengan wajah tanpa bentuk. Bapak tua penjaga kios rokok yang berusaha menolongnya, kesulitan menyeberangi jalan menuju ke kaki lima. Seragam banpol yang terus-menerus meniup peluit itu sedikit membantu penertiban. Namun setelah kemacetan teratasi, banpol itu merasa harus kembali kepada tugas sesuai peraturan.
“Ini kendaraan tidak jelas jenisnya, tidak ada nomor polisinya, kok berani berkeliaran sambil mengutip uang? Apa ada izinnya? Mana surat-suratnya?”
Tukang odong-odong yang pingsan itu tentu tidak mendengar, dan bapak tua penolongnya mendongak dengan mulut ternganga.
Odong-odong itu sendiri tidak terlalu rusak. Teronggok miring diatas selokan.
*****
Dengan perasaan berbunga-bunga Ratri menaiki odong-odong pada suatu senja. Lagu-lagunya sungguh meriah, liriknya berkisah tentang kehidupan didunia yang penuh dengan kebahagiaan bertamasya maupun kebahagiaan memiliki ayah ibu adik kakak. Odong-odong bagaikan datang dari surga, membagi-bagikan kebahagiaan sepanjang jalan bagi anak-anak yang kurang mengenal kebahagiaan itu, sehingga dengan mudah mendapatkan kebahagiaan maya melihat gambar-gambar di sisi odong-odong.
Gambar-gambar badut, makhluk mengenaskan itu, dan lagu-lagu riang. Amboi! Alangkah senangnya!
Ratri merasa dirinya melayang terbang. Bukankah lagu-lagunya berkisah dengan ceria tentang pelangi yang melengkung dari ujung ke ujung, mega jingga, langit ungu, bintang-gemintang, dan serba gemerlapnya semesta alam? Semua itu juga tergambar pada kedua sisi odong-odong, kendaraan yang seolah-olah akan membawa anak-anak ke surga, bersama badut-badut yang akan selalu membuat mereka tertawa.
Anak-anak dalam gendongan pengasuhnya, dibuntal kain yang mengikat ketat, kepalanya terbenam begitu dalam, apakah yang bisa dilihatnya selain ketiak dan atap odong-odong? Namun Ratri sudah tidak melihat anak-anak dengan mata kosong itu, entah kapan dan entah di mana mereka turun. Tinggal dirinya kini tinggi di awan, bebas dari kampung kumuh, rumah sumpek, celoteh nyinyir, senyum palsu, bau apak maupun wewangian tiruan yang mengecoh sebentar sebelum memudar.
Ratri menengok ke bawah, bahkan sepasang ondel-ondel yang bergerak-gerak itu pun tampak begitu kecil sekarang. Hatinya terasa ringan karena keriangan yang terasa meyakinkan seperti dirinya benar-benar berbahagia.
Ia sempat melihat kampungnya. Melihat ibunya berjalan keluar dari balik pintu tripleks menuju ke ujung gang, tempat banyak orang menunjuk-nunjuk ke atas. Ke arahnya!
Apakah ibunya itu sedang mencari dirinya dan akan menyuruhnya pulang?
“Jangan pernah naik odong-odong lagi ya Ratri! Awas kamu! Apakah kamu mau jadi anak tukang odong-odong?! Coba kalau waktu itu tidak ada yang lihat, tidak tahu sudah ada di mana kamu sekarang!”
Mesti ada di manakah dirinya? Ratri merasa dirinya berada di tempat yang paling diinginkannya, duduk di bangku dengan dagu berbantalkan punggung tangan di sisi odong-odong, menyaksikan lapisan-lapisan langit yang ditembus tanpa suara, selain gema lagu kanak-kanak yang kini membahana dalam pengertian sesungguhnya.
“Turun di mana Nèng?”
Didengarnya tukang odong-odong itu bertanya dengan suara terpendam. Ratri menoleh. Perban membalut seluruh kepala tukang odong-odong itu, dengan lubang hanya pada mata dan hidungnya.
*****
Ratri memang tidak pernah mengira betapa semuanya akan berakhir di Negeri Kegelapan, meski bagi anak itu tidak penting benar ia berada di mana, asal selalu berada di dalam odong-odong, menembus dunia-dunia yang tidak pernah dikenalnya.
Juga tidak penting benar baginya, ketika nun jauh di Bumi seorang perempuan berkutang yang lepas kancing atasnya, berlari sambil menjinjing kain dan berteriak ke langit.
“Ratriiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!”. (*)
Posting Komentar untuk "Odong-Odong | Cerpen Seno Gumira Ajidarma"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar