TAK ada yang berani datang ke kota itu. Lagi pula pemerintah pusat sudah hendak menghapus kota itu dari negaranya. Ibarat parasit yang membunuh dari dalam, maka sebelum semua penduduk menanggung akibatnya, pemerintah beranggapan sebaiknya kota itu dibiarkan saja sendirian.
Pemerintah pusat telah menugaskan pasukan militernya disekeliling kota itu. Pagar-pagar besi yang menjulang tinggi telah dibangun mengelilinginya, juga di pagar paling luarnya, dipasang sebuah kawat berduri yang memiliki tegangan listrik sangat tinggi.
Tak seorang pun diizinkan masuk ke kota itu, demikian pula tak seorang pun penduduk kota itu diizinkan untuk keluar dari sana.
Pernah suatu kali seseorang berhasil menerabas pagar-pagar pembatas. Ia melangkah dengan langkah yang payah. Berjalan sempoyongan, karena seluruh tubuhnya telah dijangkiti penyakit. Luka borok yang dideritanya sangat menyedihkan. Seluruh tubuhnya bernanah, dan beberapa bagian tubuhnya telah digerogoti belatung.
Pemerintah telah menetapkan batas yang sedemikian rupa, ada garis merah sebagai garis peringatan yang tak boleh dilewati oleh penduduk kota itu, jika telah berhasil lolos dari jeratan duri. Ia telah diperingatkan dengan pengeras suara oleh aparat, namun lelaki itu tetap melangkah. Sekonyong sebuah peluru mendarat di pelipis sebelah kanan hingga berlubang. Ia tergeletak dan langsung dijemput maut. Dan tentu saja kejadian itu tidak sekali saja terjadi. Mereka yang berhasil lolos dari duri bertegangan tinggi, harus siap dengan peluru yang bisa membunuh mereka seketika. Tak banyak yang berani mencoba keluar dari kota itu. Mereka memilih bertahan, dan mungkin saja hanya menunggu waktu dijemput kematian.
Berjarak dari satu meter dari garis pembatas yang telah ditentukan, jika kau hendak pergi ke kota itu, kau akan mencium bau bacin yang menjijikkan. Lebih busuk dari luka yang disebabkan oleh nanah, atau bangkai yang dimakan belatung. Perutmu akan merasa mual tak tertahankan. Tak sampai di situ saja, mungkin saja seumur hidupmu akan dibaui bau tersebut, yang membuatmu kehilangan nafsu makan, kehilangan selera bercinta, karena di dalam kepala dan bayanganmu selalu tercium bau busuk yang begitu memuakkan.
Sebuah cerita yang beredar di sana, kota itu telah kehilangan rasa kemanusiaan. Tidak ada yang menanggung kehidupan orang lain. Mereka yang miskin dibiarkan saja hidup dalam kemiskinan yang teramat menyedihkan.
Cerita bermula pada suatu waktu ada seorang pengemis tua yang sekarat merangkak-rangkak di depan sebuah bangunan yang sudah lama tidak dipakai. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Tubuhnya dipenuhi dengan darah yang membusuk, nanah, dan luka yang teramat menjijikkan.
Setiap kali ada orang yang lewat, ia seperti berusaha berteriak, tetapi sebenarnya yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah gumaman yang lemah. Orang yang sekadar lewat di sana hanya menoleh sebentar sambil menutup hidung tanpa mau berhenti sejenak. Bahkan, mereka berjalan bergegas setiap kali melewati tempat pengemis tua itu. Mereka seperti diburu waktu. Maka pengemis tua itu hanya merintih memegangi perutnya yang terasa teramat lapar. Ia berguling dan terus bergumam. Ia hanya meminta uluran tangan, tetapi tak ada satu tangan pun yang menyambut.
Hingga pada suatu hari lelaki itu mati. Ia tergeletak begitu saja. Tak ada yang merasa kehilangan, tidak ada yang mencari, juga tidak ada yang bersedih hati. Maka anjing-anjing liar pun berebut mencacah tubuh itu. Mereka melahapnya dengan rakus. Lalat merubung, dan dengan cepat wabah meruap. Secepat embusan angin. Semula salah seorang penduduk diserang rasa gatal luar biasa di sekujur tubuh. Disusul dengan kemunculan bintik-bintik merah. Beberapa orang cuek saja dengan kejadian itu. Mereka teramat yakin, sabun mandi yang biasa digunakan akan segera menghilangkan rasa gatal tersebut.
Beberapa yang memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik, segera berkonsultasi dengan dokter kulit terbaik pula. Namun negeri itu seperti dikutuk. Semahal dan semanjur apa pun obat yang disarankan dokter, tidak ada yang mampu menghentikan rasa gatal itu yang mendera tubuh. Seluruh penduduk telah terkena penyakit aneh tersebut. Maka pemerintah kota yang juga terkena wabah itu segera menghubungi pemerintah pusat.
Namun ia tercengang dengan tanggapan dari mereka. Tidak ada yang boleh keluar dari sana, tidak ada yang boleh masuk ke sana. Jika melanggar, maka hukumannya adalah kematian. Maka kota itu berhenti. Segalanya mati. Roda perekonomian terputus. Mereka lebih memikirkan bagaimana mengobati rasa gatal di tubuh mereka yang kini telah menjadi luka borok yang menyedihkan.
Tidak ada pertanyaan, karena setiap pertanyaan tentang penyakit itu telah memiliki jawaban. Tidak ada yang tahu cara menyembuhkannya, karena tak ada satu orang pun yang sembuh.
Mereka terkaget pada suatu pagi buta ketika terdengar dentum yang begitu keras. Mereka semua terbangun sambil menggaruki tubuh mereka yang terasa teramat gatal. Beton-beton telah diturunkan mengelilingi penjuru kota. Tidak ada yang berani bergerak mendekat ke arah itu. Mereka hanya mampu menduga-duga, ini mungkin saja bantuan dari pemerintah pusat untuk mengatasi wabah ini.
Hari demi hari berlalu. Kota tak bisa dikendalikan lagi. Semua orang didera rasa lapar. Uang tak lagi berguna. Mereka saling berebut untuk bisa bertahan hidup. Orang-orang kaya di kota itu setiap malam, sambil menggaruki tubuh tanpa henti, diliputi kegelisahan yang lain. Setiap waktu mereka cemas, rumah mereka dijarah. Simpanan makanan pokok mereka juga akan dirampok tanpa sisa.
Terdengar letusan yang mengagetkan semua orang secara tiba-tiba. Sebuah tubuh ambruk disambar peluru. Peringatan bagi mereka yang ingin keluar dari kota itu, pasukan militer disiagakan. Dan pembangunan pagar dilakukan. Mereka ingin dibunuh di sana dengan cara yang menyakitkan. Dikurung dalam wabah. Mereka pada akhirnya tahu, mereka dikepung kematian.
Seseorang yang mati selalu jadi bahan rebutan. Pangan sudah tidak tersedia lagi bagi orang yang kekurangan bahan pokok. Maka mereka mencacahnya dan memberikan bumbu seadanya yang tersisa dari supermarket yang telah ditinggal para pegawainya. Mereka membakar tubuh yang mati itu, dan memakannya dengan lahap sambil menggaruki tubuh mereka.
Mereka melupakan rasa jijik seperti sebelum penyakit ini menyerang. Yang mereka tahu, perut mereka harus diisi, tak peduli jika daging yang dimakannya adalah daging sesama mereka sendiri. Amis nanah tak lagi berpengaruh bagi hidung mereka.
Dan setiap hari mereka menunggu dengan cemas. Menunggu kematian. Menunggu daging mereka menjadi santapan saudaranya sendiri.
Pagar pembatas telah dibangun dengan angkuh. Batas yang tak berbelas. Sudah tak terhitung orang yang mati karena terkena tembakan karena melanggar batas. Tak sedikit pula orang-orang kaya yang terlihat mati mengenaskan gantung diri di teras rumah mereka. Dan tak ada yang peduli. Sebaliknya, mereka semua berbahagia setiap kali ada yang mati gantung diri. Setidak-tidaknya perut mereka bisa dikenyangkan. (*)
Posting Komentar untuk "Kota yang Hendak Dihapuskan | Cerpen Rumadi"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar