Siapa gerangan peneror yang telah berani menulis surat kaleng itu? Beraninya ia menghina dan merendahkan seorang petahana?
Haris memandang keluar jendela. Akan tetapi pikirannya menerawang. Menyeberang dari kemungkinan ke kemungkinan. Satu peristiwa ke peristiwa. Satu ingatan ke ingatan.
Mulanya Haris mencalonkan diri sebagai kepala desa benar-benar dilandasi ketulusan untuk membangun desanya. Sebagai pribumi, ia tersentuh dengan masyarakat di desanya yang tidak maju-maju. Bertani diusili hama dan tengkulak. Jadi buruh dikerjai pengusaha. Begitu-begitu saja hidupnya. Selalu di bawah garis kemiskinan.
Dulunya Haris juga hanya lulusan SMA dari desa. Sebagaimana dengan yang lain, ia pun hanya punya dua pilihan. Menggarap sawah di desa atau merantau ke kota. Dengan modal pas-pasan disertai kenekatan, Haris menapaki karier di ibukota. Awalnya ia cuma jadi office boy. Lalu ketika ada lowongan satpam, ia melamar dan diterima. Haris memegang teguh kata-kata dari atasannya saat masih menjadi OB.
“Orang pintar itu banyak. Apalagi yang sok pintar. Akan tetapi hanya sedikit saja yang penurut. Padahal orang penurut itulah yang banyak dibutuhkan di lingkungan perusahaan maupun pemerintahan.”
Benar saja, saat Haris menerapkan petuah itu dalam menjalani pekerjaannya, ia terus-menerus mendapat keberuntungan. Dalam tiga tahun, ia diamanahi menjadi kepala satpam. Lalu di tahun ketujuh, ia direkrut oleh perusahaan penyedia jasa satpam sebagai kepala bagian.
Di perusahaan yang baru, ia selalu dipercaya oleh atasannya memegang proyek-proyek penting. Padahal sarjana-sarjana di perusahaan yang tentunya jauh lebih pintar belum tentu mendapatkan kesempatan itu.
Sukses di perusahaan, tidak membuat Haris berpuas diri. Ia melebarkan sayap ke bisnis. Bersama istrinya, ia merintis usaha kecil-kecilan. Memproduksi dan memasarkan berbagai makanan ringan. Seperti keripik pisang, keripik singkong dan peyek wader (baby fish).
Beda ladang, lain belalang. Di lingkungan perusahaan, Haris menempatkan diri sebagai orang yang penurut. Sementara sebagai pengusaha kecil, Haris selalu memompa percaya dirinya. Ia harus pandai berkata-kata hingga mampu membius kepercayaan calon konsumen.
Puluhan tahun merantau di Jakarta, boleh dibilang Haris telah sukses. Dikompori oleh teman-temannya yang sudah lebih dahulu terjun ke politik, Haris akhirnya ikut berkecimpung. Tidak seperti teman-temannya, Haris tiada sedikitpun hasrat berkuasa. Apalagi keinginan menumpuk harta. Ia murni ingin membangun desanya. Membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat di desanya.
Pertama kali mencalonkan diri, uluran tangan Haris tak berbalas. Ia tidak dipilih oleh masyarakat. Selain lama tinggal di kota sehingga masyarakat belum mengenalnya, faktor uang menjadi penyebab kekalahannya. Saat itu Haris memang masih naif.
Sepuluh tahun kemudian, Haris maju lagi ke medan laga Pilkades. Tidak tanggung-tanggung, Haris mengumandangkan semboyan: lebih baik kalah suara daripada kalah uang. Ya, Haris mulai dibutakan dendam. Tampaknya Haris juga mulai membalas lambaian tangan kekuasaan.
Ketika akhirnya Haris terpilih menjadi kepala desa, ia mulai melakukan pembaharuan di segala bidang. Haris berkoar akan mencari investor agar bisa mendirikan pabrik semen di areal perbukitan padas di kawasan timur desa. Tidak hanya itu, Haris juga menggemakan wisata daerah, kuliner, dan berbagai program lainnya.
Media cetak dan elektronik kerap diundang untuk meliput. Tentunya dengan bayaran amplop tebal berisi uang. Nama Haris dari hari ke hari kian mentereng sebagai kepala desa yang berhasil membawa perubahan bagi desa. Masyarakat mendengungkan namanya di akhir masa pemerintahan Haris. Mereka mendukung Haris untuk maju lagi sebagai kepala desa.
Sebagai petahana, mudah bagi Haris untuk memenangi Pilkades. Ia juga mungkin sudah tidak lagi perlu mengeluarkan uang untuk merebut suara pemilih. Namun beberapa hari terakhir, Haris mulai terganggu ketenangannya. Ialah surat kaleng yang terus-menerus meneror Haris.
JANGAN BESAR KEPALA. KAMU BELUM MELAKUKAN APAPUN SEBAGAI KEPALA DESA. KECUALI UNTUK MEMUPUK KETENARAN DAN MATERI BAGI DIRI SENDIRI.
Lagi, Haris menemukan surat kaleng serupa di dalam mobilnya. Murka, Haris meremas surat kaleng itu. Ia berikrar dalam hati, tidak akan memberi ampun ketika menemukan pelakunya.
“Sepertinya ada orang dekat yang hendak menikungmu? Mustahil bila orang luar bisa leluasa meletakkan surat kaleng di sekitarmu,” ujar Yani, istri Haris, berasumsi.
“Ya, aku tahu itu. Tapi siapa?” Sahut Haris dengan dahi berkerut.
“Mungkin ada tim suksesmu yang kecewa?” Tukas Yani berspekulasi.
“Ah, tidak mungkin. Jasa mereka sudah kubayar sebagaimana mestinya. Bahkan mereka semua selalu jadi yang terdepan menerima dana bantuan.”
“Apa mungkin dari pihak penantang?” Yani memunculkan satu prasangka lagi.
Haris menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Kamu pun sudah tahu bahwa penantangku hanya settingan belaka. Ia sengaja aku bayar untuk pura-pura. Hanya agar aku tidak melawan kotak kosong.”
Yani mengangguk-angguk. Dahi Haris kian berkerut. Keduanya hening. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Praduga kembali mengarah ke orang dekat. Lalu siapa?
“Anak-anak jangan sampai tahu soal surat kaleng itu. Apalagi Daffa. Dia mesti berkonsentrasi pada ujian skripsinya!” Pungkas Haris berpesan pada istrinya.
Sepulang dari menghadiri acara pernikahan megah di kampung sebelah, Haris tidak bisa beristirahat. Kepalanya berangsur-angsur pening. Ia terus kepikiran perihal surat kaleng yang telah mengusik ketenteramannya.
Tatkala tengah melamun itu, gendang telinga yang menjadi lebih peka di pekatnya senyap, sayup-sayup mendengar kegaduhan. Tidak seperti biasanya yang acuh, Haris kali ini beringsut dari ranjang. Ia keluar memeriksa keadaan sekalian mencari hawa segar. Suntuk berada di kamar.
Betapa terkejutnya Haris, kala matanya menangkap bayangan hitam menuju garasi. Lambat-lambat penuh perhitungan, Haris mendekat. Pula ia sudah menyiapkan tongkat untuk berjaga.
“Daffa?! Apa yang kamu lakukan di sini?” Pekik keterkejutan Haris menggelegar.
“Ayah, aku….” Daffa terbata. Lekas ia memunggungi sepeda. Tampak sekali ia ingin menutupi sesuatu.
“Apa tadi yang kamu pasang di sepeda Ayah?” Haris menghampiri brompton kesayangan. Sebuah kertas diketemukannya.
Lekas Haris menekan sakelar lampu. “Jadi….”
“Iya. Itu aku, Ayah! Aku yang sudah meneror ayah,” potong Daffa cepat. Tak tampak lagi gentar pada dirinya. Justru ia berani menatap ayahnya lekat. Seolah siap menyelesaikan masalah secara jantan.
Tak habis pikir. Selama berhari-hari menyaring kemungkinan, Haris tidak sekalipun mengira Daffa akan menjadi pelakunya. Daffa, anaknya yang penurut, patuh, berbakti, saleh, cerdas dan segudang kelebihan yang senantiasa ia bangga-banggakan. Anak sulungnya yang ia gadang-gadang sebagai penerusnya.
“Mengapa, Daffa?” Satu lontaran pertanyaan Haris terdengar pasrah.
Berbanding terbalik, Daffa membalasnya dengan cecaran fakta. Ia tunjukkan dedikasinya sebagai seorang mahasiswa. Agent of change. Daffa memaparkan bahwa ia telah tahu segalanya. Tentang dosa-dosa ayahnya yang dilakukan secara halus dan rapi. Sehingga masyarakat tiada dapat menyadari. Tentu saja, Daffa tidak bisa dibohongi sebagaimana yang lain.
Persis seperti yang ditulis Daffa dalam surat kalengnya, Haris tidak pernah melakukan apapun untuk masyarakat desa. Segala program, proyek, rencana maupun wacana yang dikeluarkannya tidak lain tidak bukan hanya demi keuntungannya sendiri. Baik secara materi maupun citra diri.
Haris telah memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Sedangkan pembangunan yang ia lakukan hanya kamuflase untuk menutupi. Dana pembangunan yang ia dapatkan dari berbagai investor nyatanya lebih banyak masuk ke kantung pribadi.
Puncak dari tujuan Haris sudah pasti adalah jabatan dan kekuasaan yang lebih tinggi. Kepala desa nyatanya hanya sebagai batu loncatan. Beberapa tahun ke depan, Haris berambisi menjadi anggota dewan.(*)
Posting Komentar untuk "Petahana | Cerpen Endang S Sulistiya"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar