Iklan Atas

Blogger Jateng

Ibu Pergi ke Gunung | Cerpen Mashdar Zainal


IBU ingin pergi ke gunung. Ia sudah bosan menjadi manusia yang begitu-begitu saja. Setiap hari bertengkar dengan televisi. Berselisih paham dengan telepon genggam. Berseberang pendapat dengan dompet dan kartu-kartu. Berbeda pandangan dengan gaun-gaun. Dan bersitegang dengan sepatu-sepatu.

Ibu ingin pergi ke gunung. Titik. Sebab, kata Ibu, di gunung ada cerita yang indah. Seperti di masa silam. Waktu ia kecil. Dan di gunung ada kawah. Ibu pernah bilang, saat kecil ia ingin punya rumah di atas kawah. Ia ingin membuat bubur merah dan mendinginkannya dalam wadah. Menyantapnya seorang diri. Dalam gelegak yang sunyi. Sebuah kelebat mimpi dari jejak masa kecil.

Kini, isi kepala Ibu sudah habis dimakan kegaduhan. Barangkali Ibu ingin bertobat dan berkhalwat di gunung. Mencari ketenangan. Ibu sudah berjanji, apa pun yang terjadi ia memang harus pergi ke gunung, dan ia akan tetap pergi ke gunung. Bahkan jika tubuhnya harus menyusut dan ia kembali menjadi bayi. Ia akan tetap merangkak. Pergi ke gunung. Ia akan tetap mendaki. Menuju gunung. Tanpa butuh diantar. Apalagi ditemani.

Beberapa malam sebelum Ibu membebaskan diri dan benda-benda terkutuk itu, ia terlibat adu mulut dengan televisi diruang tengah. Suara Ibu dan benda itu benar-benar membuat rumah gaduh. Ibu seorang perempuan, dan menurut Ayah, televisi juga perempuan, karena ia terlalu banyak bicara dan menuntut untuk selalu ditemani. Ayah bosan dengan kelakuan Ibu yang nyaris setiap hari berdebat dengan benda itu. Sebab itu, seperti hari-hari yang lewat, Ayah memilih pergi dari rumah dan pulang sesuai kehendaknya, bisa jadi dua hari kemudian, seminggu kemudian, atau bahkan sebulan kemudian. Ayah tak lagi menghiraukan Ibu karena Ibu telah menduakan Ayah dengan benda itu.

Malam itu, Ibu mengeluarkan kata-kata kotor sambil memukuli televisi dengan gagang sapu. Bertubi-tubi. Seperti memukuli maling yang tertangkap basah oleh tuan rumah. Begitu semangat Ibu memukuli benda itu sampai bingkai tabungnya retak dan antenanya peyot. Kata Ibu, televisi tua itu tak lagi setia kepadanya. Televisi itu meludahi Ibu dan mengolok-oloknya sebagai wanita tolol dan kurang waras. Televisi itu enggan menuruti kata-kata Ibu untuk menayangkan hal-hal yang indah dan menyenangkan, semisal turunnya harga bahan pangan, promosi lelang gaun artis untuk amal, atau diskon besar-besaran di pasar swalayan. Yang ditayangkan televisi akhir-akhir ini cuma pertengkaran, orang mengasah pisau, orang saling b*cok, dan olok-olok kepada siapa saja, bahkan kepada Tuhan. Selepas televisi diruang tengah remuk, Ibu menangis sambil menggenggam telepon pintarnya menuju kamar.

Selepas tangisan itu reda, Ibu tertawa-tawa sendiri dalam kamarnya. Kuintip dari balik pintu, kamar itu kelewat gelap. Ibu mematikan lampu. Namun, di satu titik, aku melihat wajah Ibu tampak berseri ditengah gelap. Segenap wajah Ibu ditimpa cahaya kebiru-biruan dari telpon pintar yang ia pelototi tepat didepan mata. Ibu tertawa lagi, dengan tatapan utuh ke layar yang menyala, tak tergoyahkan oleh apa pun. Hingga beberapa menit kemudian, muncul suara ribut dikamar Ibu, suara sesuatu yang dibanting, lalu senyap. Dikamar Ibu, telepon pintar kesayangan itu telah pecah berserakan dilantai. Mejadi beberapa bagian. Ibu menatap benda itu sambil menangis. Mungkin ia teringat sesuatu. Beberapa tahun silam, seorang balita yang masih merangkak terjatuh dari lantai dua, sebab ibunya tak mengawasinya—terlalu asyik bermain dengan telepon pintarnya. Itu hanya sebuah kecelakaan. Itu hanya sebuah kecelakaan. Ibu berbisik pada dirinya sendiri.

Selang beberapa saat, setelah mengusap air matanya, Ibu mengoceh sambil bergegas mengambil dompet lipat dalam laci lemari. “Akan kubuat diriku bahagia. Aku akan membeli benda-benda lain yang baru, yang setia menemani kesepianku, menuruti segala kemauanku, membantuku melupakan hal-hal buruk yang pernah terjadi.”

Ibu membuka dompet lipat itu, dan wajahnya sontak bembah. Dompet ltu melompong, hanya ada beberapa kartu vang tidak berguna. Sementara kartu-kartu yang lain telah berpindah ke dompet Ayah. Melihat dompet itu begitu kurus, Ibu melengking dan menyalahkan Ayah. Ayah tak pernah memberi makan dompet itu. Dan dompet itu kelewat bodoh karena selalu diam dengan keadaannya yang kurus dan mengenaskan. Ibu pun meracau, betapa dompet itu berkelakuan buruk. Tak pernah mendukung setiap ide cerdas yang muncul di kepala Ibu. Dompet itu selalu saja menjadi dompet yang kurus dan tak bisa diandalkan. Selalu, untuk selamanya. Karena jengkel dengan dompetnya, Ibu membanting dompet itu. Tidak puas membanting, ia pun menggunting-gunting dompet itu beserta kartu-kartu didalamnya dan menaburkannya ke keranjang sampah. “Kini, apalagi yang tersisa?” Ibu mendengus, “Aku harus keluar rumah untuk menjernihkan pikiran. Semua benda di rumah ini memusuhiku.”

Ibu pura-pura melihat jadwalnya di wajah kalender yang penuh coretan.

“Hari ini ada jadwal arisan, tapi sial, aku sudah terlambat,” ia mendengus lagi.

“Semua ini gara-gara benda-benda tak bermartabat itu. Sungguh menyebalkan. Hidup macam apa ini? Aku harap semua ini segera berakhir!” omelnya menjadi-jadi.

“Peduli setan, aku akan keluar rumah. Aku akan pergi jalan-jalan,” bisiknya kemudian pada diri sendiri, seperti menemukan sebuah ide yang cemerlang. Namun, sejurus kemudian, mendadak wajah Ibu menekuk diliputi kesedihan. Jelas sekali, sesuatu tengah membebani pikirannya. Mungkin ia mengingat televisi, telepon pintar, serta terutama dompet yang kini, pelan-pelan telah menjadi musuhnya. Tanpa benda-benda itu, sejatinya Ibu merasa tak bisa bergerak. Kehabisan daya. Kehilangan gaya.

“Peduli setan!” umpatnya lagi. Kali ini, ia menyasar ke lemari koleksi gaun-gaun kesayangannya.

Lemari itu dibukanya gegas, dan didalamnya terpampang aneka gaun dengan jenis kain, model dan warna yang beraneka. Di masa yang lewat, Ibu pernah begitu bangga dengan koleksi gaun-gaun itu. Di masa muda Ibu pernah hampir memenangkan kontes ratu kecantikan. Segenap kecantikan dirinya menempel di gaun-gaun itu. Dengan mata berbinar, Ibu menyibak gaun-gaun yang berjajar itu seperti menyapanya kembali setelah sekian lama tak bersua. Setiap menatap satu gaun, ia seperti menatap satu episode hidupnya yang indah-indah dimasa lalu itu luruh, hilang entah ke mana.

“Gaun-gaun ini, semuanya masih begitu gemerlap,” bisiknya lagi, sebelum mencoba mengenakannya kembali. Namun sungguh menyesakkan, setelah mencobanya satu per satu, gaun-gaun itu tak mau lagi menempel di tubuh ibu. Tubuh Ibu telah membengkak. Membangun gelambir di perut, dibawah lengan, di paha, dan dimana-mana. Kini, tubuh Ibu nyaris seperti buah pir. Tak seramping dulu. Namun, Ibu tak pernah mengakuinya. Kata Ibu, gaun-gaun itulah yang telah bersekongkol dengan yang lainnya untuk menyeteru Ibu. Gaun-gaun itu sengaja mengecilkan diri agar Ibu tak bisa mengenakannya lagi.

“Gaun-gaun ini tak ada bedanya dengan televisi dan yang lainnya, sama-sama benda keparat yang tak bisa menghargai masa lalu, tak bisa menyimpan kenangan, tak tahu diuntung,” umpat Ibu, sebelum mengambil gunting dan memperlakukan gaun-gaun itu sebagaimana dompet yang telah berakhir di keranjang sampah.

“Tapi aku masih punya koleksi sepatu,” sambungnya, menghibur diri. Namun, begitu Ibu sampai di muka rak sepatu, tatapan wajahnya kembali berubah. Barangkali, sepatu-sepatu itu menjelma rongsokan yang berjajar di mata Ibu.

“Aku lupa, aku tak punya koleksi sepatu,” ucapnya pasrah. “Ini hanya kumpulan sampah, kumpulan sampah!”

Ibu menghela napas berat, dan berujar sama, “Kini, apalagi yang tersisa?”

Dan Ibu menjawabnya sendiri. “Yang tersisa hanya cerita masa kecil. Di gunung. Tak ada televisi. Tak ada telepon. Tak ada dompet gemuk. Tak ada gaun mengkilap. Tak ada sepatu hak tinggi. Tak ada pernikahan. Tak ada suami kep*rat. Tak ada.”

Ibu menangis lagi, sambil memandang kosong ke segala arah, sepanjang malam, sebelum akhirnya fajar turun dan ibu berkata, “Aku akan pergi ke gunung! Aku harus pergi ke gunung!”

Waktu bagai membatu, dan ibu terus saja memandang kosong, terus saja menggumam, sepanjang pagi dan siang. “Aku harus pergi ke gunung. Aku harus pergi ke gunung.”

Hingga petang itu, Ibu benar-benar membuka pintu. Seperti hendak menghirup udara baru. Ia tak lagi menghiraukan televisi bobrok di ruang tengah. Ia tak lagi memedulikan telepon pintar dengan baterai berserak di lantai kamarnya. Ia melupakan dompetnya yang telah terkubur di keranjang sampah. Kain perca dan gaun-gaunnya juga ia tinggalkan begitu saja. Berteman sepatu-sepatu usang yang perah berjaya di masa silam.

“Apakah kelak, Ibu akan pulang?” aku berbisik.

Namun Ibu tak menjawab, menoleh pun tidak.

Di muka pintu, sambil mulai berjalan, Ibu mulai melepaskan alas kakinya. Lantas menanggalkan gaun panjang yang dikenakannya. Bulat-bulat Ibu pergi ke gunung. Dari kejauhan, aku melihat tubuh Ibu kian mengecil. Menjelma gadis kecil yang berjalan sambil melompat-lompat, lantas, perlahan menjadi bayi yang tanpa bus*na. Merangkak perlahan menuju ibunya di gunung. Untuk kembali meny*su. Seperti dimasa lalu.

Diam-diam aku terbang menyusul Ibu. Aku harus menyusul Ibu. Bayi ini juga masih butuh meny*su. Seperti di masa lalu. Saat ia masih bisa merangkak. Dan belum melayang-layang di udara. (*)

Posting Komentar untuk "Ibu Pergi ke Gunung | Cerpen Mashdar Zainal"