Belum lagi separuh perjalanan, sambil menyulut rokoknya yang kedua, si pendayung tak bisa menahan keinginannya berbicara. Maka, diulangnya lagi pertanyaan pada lelaki yang duduk memunggunginya, “Jadi, ingatan pada siapa yang ingin Sanak lupakan?”
*****
Kalau hari tak berkabut, Sanak bisa melihat pohon putih menjulang di pulau tengah danau. Pohon mirip beringin yang batang sampai dahan, bahkan semua daunnya, berwarna putih seperti dikebat kain tetoron. Di bawah bulan purnama, atau setelah hari hujan, pohon itu terlihat begitu putihnya seakan mengeluarkan cahaya.
Sanak tahu, sebanyak pohon dalam rimba, tidak ada satu jua pohon yang serupa dengannya. Kata Nasir, yang berladang di pulau, belum pernah ia melihat seekor saja pipit hinggap di pohon putih. Kecuali ular, tak ada hewan yang terlihat mendekati pohon putih.
Tentu di kampung kami masih banyak tersedia “ceritanya” dan “katanya” mengenai pohon putih. Mana yang benar jadi tak penting benar. Yang terang, entah sejak bila pohon putih membuat orang datang ke kampung kami yang lengang ini. Bermalam, lalu setengah diam-diam, pagi buta mereka menembus kabut, berperahu menuju pulau. Naik ke bukit mendatangi pohon putih, meminum embun di daunnya.
Embun itu bukan berkhasiat menyembuhkan penyakit, tapi menghilangkan ingatan kita pada siapa dan apapun yang membebani pikiran serta perasaan. Setelah meminumnya, semua ingatan yang menggelisahkan kita akan lenyap, termasuk ingatan akan rasa cinta. Lalu semua ingatan itu seakan tak pernah ada terjadi. Jika pun masih ada, tidak ada lagi perasaan apa pun. Sebanyak orang yang tak percaya, tak berkurang jua mereka yang mendatangi pohon putih.
Bagaimana pangkal mula orang mengetahui khasiat embun pohon putih, lagi-lagi tak seorang jua yang tahu. Yang terang, khasiat embun pohon putih tidak membuat kampung kami bertambah ramai. Dari tahun ke tahun bahkan semakin lengang saja. Banyak orang kampung pergi ke banyak negeri, tak lagi pernah pulang, hilang cinta dan ingatannya pada kampung ini. Apakah mereka juga sudah meminum embun pohon putih, tampaknya begitu.
Kata Tuanku Imam…
*****
Dua jam setelah menyelesaikan makan, tak ada pengunjung yang lain di kedai ini selain aku seorang. Di meja yang lain sejak tadi Siti asyik menggambar. Dia anak pemilik kedai, berumur lima tahun, berwajah lucu dengan sepasang mata yang indah. Sesekali ia berteriak dan menghampiri ayahnya, memamerkan gambarnya. Lalu bapak dan anak itu riang bercengkerama.
Kepadaku Siti memanggil “Om” seakan ia sudah lama mengenaliku. Ia memperlihatkan gambarnya, perahu dan orang yang terbaring di dalamnya. “Ayah Siti sedang bobo di perahu, Om,” katanya. Aku hanya mengangguk tidak peduli, pura-pura tidak tahu bahwa Siti mengharapkan pujian. Sebelum senyum dan sepasang mata Siti menelan perasaanku, aku harus menjaga jarak.
“Ini, Sanak, lihat!” Pemilik kedai memperlihatkan layar ponselnya, foto dirinya di ponsel bersama seorang lelaki yang sudah berumur. “Lihat, Sanak, dia duduk persis di kursi Sanak sekarang. Pensiunan tentara katanya, pasukan khusus, minta diantar ke pohon putih. Dia nak menghapus ingatan pada wajah orang-orang yang pernah dibunuh dan diperkosanya dulu. Dia hidup tidak tenang, dikejar-kejar dosa, padahal dia mau berangkat haji.” Ia menggeser layar ponselnya, foto yang lain.
“Nah, ini pengacara terkenal, pasti Sanak mengenalnya. Dulu awak juga yang mengantarnya ke pulau. Buat awak, setiap kali dia ada di TV dan ngomong ‘keadilan’, lawak sekali terdengarnya!” Ejeknya sambil tertawa. Lalu disebutnya juga banyak orang yang pernah mendatangi pohon putih, tak terkecuali mereka yang terlilit ingatan dan perasaan cinta dan asmara.
“Yang tak terpikir oleh awak, ada pula rupanya mereka yang sengaja datang untuk menghapus ingatan pada apa yang semestinya terus diingat. Orang-orang itu ingin leluasa berbuat kemungkaran. Tampaknya, bersua juga perkataan pengembara yang saleh dulu, iblislah yang menanam pohon putih.” Ia berkata sambil mengocek kopi yang baru dibuatnya.
“Pasti Abang sering juga mengantar pembesar ke pulau, dan pasti bayarannya besar!” Kataku dengan nada kagum. Ia tersenyum-senyum bangga. Umpanku disambutnya. Ia bercerita tentang seorang pembesar yang dua hari lalu diantarnya ke pulau.
“Dia pembesar yang sangat ternama. Hampir awak tak percaya bertemu beliau. Semua orang tahu apa yang telah dikatakan dan dijanjikannya dulu kalau ia berkuasa.” Meski suaranya terdengar agak ragu, namun ia meneruskan juga. “Tapi dia malah mendatangi pohon putih. Menurut awak yang bengak ini, jadi untuk apa lagi orang menunggu bukti kata-kata dan janjinya dulu!” Dia tertawa.
Kupikir sudah cukup. Setelah sepakat ia akan mengantarku ke pulau, aku beranjak. Menjelang keluar dari kedai, tiba-tiba pemilik kedai itu bertanya, “Jadi ingatan pada siapa yang ingin Sanak lupakan?”
*****
Ada banyak dalih, tapi kata-kata dan janji itu terus menggema dalam dirinya, membuatnya merasa bersalah telah mengkhianati mereka yang telah memberinya kekuasaan. Gema itu akhirnya tidak lagi terdengar berkat khasiat embun pohon putih. Dan hanya satu orang yang tahu bahwa ia telah mendatangi pohon putih.
Saat perintah itu kau terima kau sudah paham apa yang harus dilakukan. Seseorang mesti dikorbankan karena sebuah rahasia harus diselamatkan. Lebih lagi, semua hal mengenai Bapak yang bersifat rahasia mustahil dipisahkan dari rahasia negara. Setelah sebentar memandang ke arah pohon putih, kau berbalik menghadap si pendayung, mendekat.
Lelaki pemilik kedai itu baru saja menyalakan rokok sebelum ia merasakan suatu gerakan cepat di kepala dan lehernya, sebelum ia sempat mengaduh.
Setenang biasanya, kau membaringkan mayat pemilik kedai itu di perahu. Lalu dengan penuh hormat, kau menutup matanya, merapikan letak kedua tangannya, dan sebentar kau menunduk seraya bergumam. Kau lalu terus mendayung sampai ke pulau, lalu menuju pohon putih, mereguk embun di daun-daunnya. Embun yang terasa manis. Dan benar saja, embun pohon itu sangat berkhasiat, tak ada lagi yang kau ingat.
Sepulang dari pulau, di tempat sepi kau naik ke daratan, mendorong dan membiarkan perahu hanyut, terapung kembali ke tengah danau, ditelan kabut. Tiba-tiba kau merasa mendengar suara seorang anak, “Ayah Siti sedang bobo di perahu, Om.” (*)
Posting Komentar untuk "Khasiat Embun Pohon Putih | Cerpen Ahda Imran"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar