Siapakah Asrul Sani dan Contoh Puisinya - Sobat yang sudah dan masih sekolah pastilah familier dengan sastrawan yang satu ini. Sastrawan yang dikenal sebagai salah satu sastrawan pembaharu sastra di Indonesia ini lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927. Asrul Sani memulai pendidikan sekolah menengahnya dibidang tehnik, lalu masuk Fakultas Kedokteran Hewan, Bogor. Lalu ke Fakultas Sastra sebentar, balik lagi ke Fakultas Kedokteran Hewan, dari situ dia dapatkan gelar "doktorandes" pada tahun 1956. Sementara itu tahun 1951-1953 belajar di Akademi Seni Drama di Amsterdam, tahun 1955-1956 belajar film di USC (Univ. of Southern California), Amerika.
Nama Asrul pertama dikenal secara nasional adalah sebagai penyair pada kelompok pembaharu sastra Indonesia. la adalah satu dari tokoh penyair Angkatan '45, disamping Chairil Anwar dan Rivai Apin. Dibidang sastra ini disamping menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek, esai, dan menterjemahkan banyak naskah teater.
Pada masa revolusi ia menjadi Tentara Pelajar di Bogor, disitu ia menerbitkan koran Harian Bogor. Kemudian dia menjadi redaktur majalah kebudayaan Gema Suasana, anggota redaksi Gelanggang, ruang kebudayaan yang terkenal dari majalah Siasat, wartawan majalah kebudayaan Zenith. Kumpulan sajaknya terdapat pada "Tiga Menguak Takdir", bersama karya Chairil Anwar dan Rivai Apin. Kumpulan cerita pendeknya terbit dengan judul "Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat" Awal tahun 1950-an ia sudah mulai nampak tertarik pada seni film.
Ia menjadi salah satu pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul "Tiga Menguak Takdir" yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri "Gelanggang Seniman Merdeka", malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi "Tiga Menguak Takdir" Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul "Surat dari Ibu". Sejak puisi "Anak Laut" yang dimuat di Majalah "Siasat" No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi "Tiga Menguak Takdir" tadi,
Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam "Tiga Menguak Takdir", lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah "Siasat", "Mimbar Indonesia", dan "Zenith".
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para "nurani bangsa" itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon "merdeka atau mati" dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar "Suara Bogor", redaktur majalah kebudayaan "Gema Suasana", anggota redaksi "Gelanggang", ruang kebudayaan majalah "Siasat", dan menjadi wartawan pada majalah "Zenith".
Berikut 20 contoh puisi Asrul Sani yang bisa sobat simak.
Tiada bersua dalam dunia
tiada mengapa hatiku sayang
tiada dunia tempat selama
layangkan angan meninggi awan
Jangan percaya hembusan cedera
berkata tiada hanya dunia
tilikkan tajam mata kepala
sungkumkan sujud hati sanubari
Mula segala tiada ada
pertengahan masa kita bersua
ketika tiga bercerai ramai
di waktu tertentu berpandang terang
Kalau kekasihmu hasratkan dikau
restu sempana memangku daku
tiba masa kita berdua
berkaca bahagia di air mengalir
Bersama kita mematah buah
sempana kerja di muka dunia
bunga cerca melayu lipu
hanya bahagia tersenyum harum
Di situ baru kita berdua
sama merasa, sama membaca
tulisan cuaca rangkaian mutiara
di mahkota gapura astana rela.
HARI MENUAI
Lamanya sudah tiada bertemu
tiada kedengaran suatu apa
tiada tempat duduk bertanya
tiada teman kawan berberita
Lipu aku diharu sendu
samar sapur cuaca mata
sesak sempit gelanggang dada
senak terhentak raga kecewa
Hibuk mengamuk hati tergari
melolong meraung menyentak rentak
membuang merangsang segala petua
tiada percaya pada siapa
Kutilik diriku kuselam tahunku
timbul terasa terpancar terang
istiwa lama merekah terang
merona rawan membunga sedan
Tahu aku
kini hari menuai api
mengetam ancam membelam redam
ditulis dilukis jari tanganku.
SUBUH
Kalau subuh kedengaran tabuh
semua sepi sunyi sekali
bulan seorang tertawa terang
bintang mutiara bermain cahaya
Terjaga aku tersentak duduk
terdengar irama panggilan jaya
naik gembira meremang roma
terlihat panji terkibar di muka
Seketika teralpa;
masuk bisik hembusan setan
meredakan darah debur gemuruh
menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
tertutup mataku berat semata
terbuka layar gelanggang angan
terulik hatiku di dalam kelam
Tetapi hatiku, hatiku kecil
tiada terlayang di awang dendang
menanggis ia bersuara seni
ibakan panji tiada terdiri.
INSAF
Segala kupinta tiada kauberi
segala kutanya tiada kausahuti
butalah aku terdiri sendiri
penuntun tiada memimpin jari
Maju mundur tiada terdaya
sempit bumi dunia raya
runtuh ripuk astana cuaca
kureka gembira di lapangan dada
Buta tuli bisu kelu
tertahan aku di muka dewala
tertegun aku di jalan buntu
tertebas putus sutera sempana
Besar benar salah arahku
hampir tertahan tumpah berkahmu
hampir tertutup pintu restu
gapura rahsia jalan bertemu
Insaf diriku dera durhaka
gugur tersungkur merenang mata;
samar terdengar suwara suwarni
sapur melipur merindu temu.
Insaf aku
bukan ini perbuatan kekasihku
tiada mungkin reka tangannya
kerana cinta tiada mendera
IBUKU DEHULU
Ibuku dehulu marah padaku
diam ia tiada berkata
akupun lalu merajuk pilu
tiada peduli apa terjadi
matanya terus mengawas daku
walaupun bibirnya tiada bergerak
mukanya masam menahan sedan
hatinya pedih kerana lakuku
Terus aku berkesal hati
menurutkan setan, mengkacau-balau
jurang celaka terpandang di muka
kusongsong juga - biar chedera
Bangkit ibu dipegangnya aku
dirangkumnya segera dikucupnya serta
dahiku berapi pancaran neraka
sejuk sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau;
ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dalam dirimu
mengawas daku dalam dunia.
DI DALAM KELAM
Kembali lagi marak-semarak
jilat melonjak api penyuci
dalam hatiku tumbuh jahanam
terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai melengkung lurus
merunta ria melidah belah
menghangus debu mengitam belam
buah tenaga bunga suwarga
Hati firdausi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
menghalang cuaca nokta utama
Berjalan aku di dalam kelam
terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
kerongkong hangus kering peteri.
Meminta aku kekasihku sayang;
turunkan hujan embun rahmatmu
biar padam api membelam
semoga pulih pokok percayaku.
BATU BELAH
Dalam rimba rumah sebuah
teratak bambu terlampau tua
angin menyusup di lubang tepas
bergulung naik di sudut sunyi.
Kayu tua membetul tinggi
membukak puncak jauh di atas
bagai perarakan melintas negeri
payung menaung jemala raja
ibu bapa beranak seorang
manja bena terada-ada
plagu lagak tiada disangkak
mana tempat ibu meminta
Telur kemahang minta carikan
untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
dalam rimba telur kemahang
mana daya ibu mencari
mana tempat ibu meminta.
Anak lasak mengisak panjang
menyabak merunta mengguling diri
kasihan ibu berhancur hati
lemah jiwa kerana cinta
Dengar.........dengar !
dari jauh suara sayup
mengalun sampai memecah sepi
menyata rupa mengasing kata
Rang... rang... rangkup
Rang... rang... rangkup
batu belah batu bertangkup
ngeri berbunyi berganda kali.
Diam ibu berfikir panjang
lupa anak menangis hampir
kalau begini susahnya hidup
biar ditelan batu bertangkup
Kembali pada suara bergelora
bagai ombak datang menampar
macam sorak semarai ramai
kerana ada hati berbimbang
menyahut ibu sambil tersedu
melagu langsing suara susah;
Batu belah batu bertangkup
batu tepian tempat mandi
Insha Allah tiadaku takut
sudah demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda berjalan pelan
tangis anak bertambah kuat
rasa risau bermaharajalela
mengangkat kaki melangkah cepat.
Jauh ibu lenyap di mata
timbul takut di hati kecil
gelombang bimbang mengharu fikir
berkata jiwa menanya bonda
lekas pantas memburu ibu
sambil tersedu rindu berseru
dari sisi suara sampai
suara raya batu bertangkup
Lompat ibu ke mulut batu
besar terbuka menunggu mangsa
tutup terkatup mulut ternganga
berderak-derik tulang belulang
Terbuka pula, merah basah
mulut maut menunggu mangsa
lapar lebar tercingah pangah
meraung riang mengecap sedap..
Tiba dara kecil sendu
menangis mencari ibu
terlihat cerah darah merah
mengerti hati bonda tiada.
Melompat dara kecil sendu
menurut hati menaruh rindu...
Batu belah, batu bertangkup
batu tepian tempat mandi
Insha Allah tiadaku takut
sudah demikian kuperbuat janji.
TURUN KEMBALI
Kalau aku dalam engkau
dan kau dalam aku
adakah begini jadinya
jaku hamba engkau penghulu ?
Aku dan engkau berlainan
engkau raja, maha raya
cahaya halus tinggi mengawang
pohon rindang menaung dunia.
Di bawah teduh engkau kembangkan
taku berdiri memati hari
pada bayang engkau mainkan
aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
aku menaiki tangga, mengawan
kecapi firdausi melena telinga
menyentuh gambuh dalam hatiku
Terlihat ke bawah
kandil kemerlap
melambai cempaka ramai tertawa
hati duniawi melambung tinggi
berpaling aku turun kembali.
DOA POYANGKU
Poyangku rata meminta sama
semoga sekali aku diberi
memetik kecapi, kecapi firdausi
menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
penabuh bunyian kerana suara
suara sunyi suling keramat
kini rebana di celah jariku
tari tamparku membangkit rindu
kucuba serentak genta genderang
memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.
TERBUKA BUNGA
Terbuka bunga dalam hatiku !
kembang rindang disentuh bibir kesturimu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu.
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah
bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku, dalam masa mengembara
menanda dikau
Kekasihku ! inikah bunga sejati yang tiadakan
layu ?
TAMAN DUNIA
Kau masukkan aku ke dalam taman- dunia, kekasihku !
kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa, kuntum tersenyum.
kau tundukkan huluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kau gemalaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku takjob, terdiam.
berbisik engkau:
"Taman swarga, taman swarga mutiara rupa".
Engkaupun lenyap.
Termanggu aku gilakan rupa.
SEBAB DIKAU
Kasihkan hidup sebab dikau
segala kuntum mengoyak kepak
membunga cinta dalam hatiku
mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
laku lakon di layar terkelar
aku pemimpi lagi penari
sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
wayang warna menayang rasa
kalbu rindu turut mengikut
dua sukma esa-mesra -
Aku boneka engkau boneka
penghibur dalang mengatur tembang
di layar kembang bertukar pandang
hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
aku engkau di kotak terletak
laku boneka engkau boneka
penyenang dalang mengarak sajak.
KERANA KASIHMU
Kerana kasihmu
Engkau tentukan
sehari lima kali kita bertemu
Aku inginkan rupamu
kulebihi sekali
sebelum cuaca menali sutera
Berulang-ulang kuintai-intai
terus menerus kurasa-rasakan
sampai sekarang tiada tercapai
hasrat sukma idaman badan
Pujiku dikau laguan kawi
datang turun dari datukku
di hujung lidah engkau letakkan
piatu teruna di tengah gembala
Sunyi sepi pitunang poyang
tidak merentak dendang dambaku
layang lagu tiada melangsing
haram gemercing genta rebana
Hatiku, hatiku
hatiku sayang tiada bahagia
hatiku kecil berduka raya
hilang ia yang dilihatnya.
TETEPI AKU
Tersapu sutera pigura
dengan nilam hitam kelam
berpadaman lentera alit
beratus ribu di atas langit
Seketika sekejap mata
segala ada menekan dada
nafas nipis berlindung guring
mati suara dunia cahaya
Gugur badanku lemah
mati api di dalam hati
terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah
Cahaya suci riwarna pelangi
harum sekuntum bunga rahsia
menyinggung daku terhantar sunyi
seperti hauri dengan kapaknya
Rupanya ia mutiara jiwaku
yang kuselami di lautan rasa
Gewang canggainya menyentuh rindu
tetapi aku tiada merasa...
PERMAINANMU
kau keraskan kalbunya
bagi batu membesi benar
timbul telangkaimu bertongkat urat
ditunjang pengacara petah fasih
Di hadapan lawanmu
tongkatnya melingkar merupa ular
tangannya putih , putih penyakit
kekayaanmu nyata terlihat terang
Kakasihmu ditindasnya terus
tangan tapi bersembunyi
mengunci bagi pateri
kalbu ratu rat rapat
Kau pukul raja-dewa
sembilan cambuk melecut dada
putera mula penganti diri
pergi kembali ke asal asli.
Bertanya aku kekasihku
permainan engkau permainkan
kau tulis kau paparkan
kausampaikan dengan lisan
Bagaimana aku menimbang
kaulipu lipatkan
kau kelam kabutkan
kalbu ratu dalam genggammu
Kau hamparkan badan
di tubir bibir penaka durjana
jadi tanda di hari muka
Bagaimana aku menimbang
kekasihku astana sayang
ratu restu telaga sempana
kekasihku mengunci hati
bagi tali disimpul mati.
HANYA SATU
Timbul niat dalam kalbumu;
terban hujan, ungkai badai
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
tempat berteduh nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah gelisah, swara sentosa
*
Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku iberahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlainan bonda.
Kini kami bertikai pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewat abad
Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa musa di puncak tursina.
BARANGKALI
Engkau yang lena dalam hatiku
akasa swarga nipis-tipis
yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis
Kujunjung di atas hulu
kupuji di pucuk lidah
kupangku di lengan lagu
kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit gunung
buka mata mutiaramu
sentuh kecapi firdausi
dengan jarimu menirus halus
Biar siuman dewi-nyanyi
gambuh asmara lurus lampai
lemah ramping melidah api
halus harum mengasap keramat
Mari menari dara asmara
biar terdengar swara swarna
barangkali mati di pantai hati
gelombang kenang membanting diri.
MABUK
Ditayangan ombak bujang bersela
dijunjung hulu rapuh semata
dikipasi angin bergurau senda
lupakan kelana akan dirinya...
Dimabukkan harum pecah terberai
diulikkan bujuk rangkai-rinangkai
datanglah semua mengungkai simpai
hatimu bujang sekali bisai.
Bulan mengintai di celah awan
bersemayam senyum sayu-sendu
teja undur perlahan-lahan
mukanya merah mengandung malu.
Rumput rendah rangkum-rinangkum
tibun embun turun ke rumpun
lembah-lembah menjunjung harum
mendatangkan kayal bujang mencium.
Melur sekaki dibuaikan sepoi
dalam cahaya rupa melambai
pelik bunga membawaku ragu
layu kupetik bunga gemalai.
Bunga setangkai gemelai permai
dalam tanganku jatuh terserah
kelopak kupandang sari kunilai
datanglah jemu mengatakan sudah...
Bulan berbuni di balik awan
taram-temaram cendera cahaya
teja lari ke dalam lautan
tinggallah aku tiada berpelita.
DAGANG
Susahnya duduk berdagang
tiada tempat mengadukan duka
bondaku tuan selalu terpandang
hendak berjumpa apatah daya.
Terlihat-lihat bonda merenung
rasa-rasa Bonda mengeluh
mengenangkan nasib tiada beruntung
luka penceraian tiadakan sembuh.
Bondapun garing seorang diri
hati luka tiada berjampi
nangislah ibu mengenangkan kami
rasakan tiada berjumpa lagi.
Allah diseru memohonkan restu
moga kami janganlah piatu
aduh ibu, kemala hulu
bukankah langit tiada berpintu?
Sudahlah nasib tiada bertemu
sudahlah untung hendak piatu
bagaimana mengubah janji dahulu
sudah diikat di rahim ibu.
SUNYI
Kuketuk pintu masaku muda
hendak masuk rasa kembali
taman terkunci dibelan pula
tinggallah aku sunyi sendiri.
Kudatangi gelanggang tempat menyebung
masa bujang tempat beria
kulihat siku singgung menyinggung
aku terdiri haram disapa...
Teruslah aku perlahan-lahan
sayu rayu hati melipur
nangislah aku tersedan-sedan
mendengarkan pujuk duka bercampur.
Kudengar bangsi memanggil-manggil
tersedu-sedu, dayu mendayu
tersalah aku diri terpencil
badan dilambung gelombang rindu.
Duduklah aku bertopang dagu
merenung kupu mengecup bunga
lenalah aku sementara waktu
dalam rangkum kenangan lama.
Rupanya teja serasa kulihat
suaramu dinda rasakan kudengar
dinda bersandar duduk bersikat
aku mengintip ombak berpendar.
Imbau gelombang menyembahkan lagu
kepada bibirmu kesumba pati
fikiranku melayang ke padang rindu
walaupun dinda duduk di sisi.
Posting Komentar untuk "20 Contoh Puisi Asrul Sani"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar