Ia mengekori bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggenggam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat!
Sampan masih tertambat, tapi terkulai-kulai diayun putik ombak. Bapaknya menyulut rokok, dan Nurdin begitu sigap menguras air dari lengkung sampan. Diam-diam Zulaiha menggeliat ke sisi Nurdin. Sampan berguncang! Lalu terdengar dengus yang rakus, disusul suara gedebab, semacam pelepah kelapa menimpa sesuatu. Zulaiha terjerembab! Di punggungnya, bukan tanggung rasa panas yang menjalar. Kepala dayung yang dihantamkan bapaknya ke tubuh Zulaiha. ”Berapa kali Bapak katakan, kau tu tak boleh melaut. Anak jadah!”
Zulaiha bangkit ditopang derit sakit. Tapi ia tidak meringis, apalagi menangis. Sudah berulang kali ia mengalami kejadian semacam itu. Benar, sesaat matanya nanar, merah, dan pedih. Kepalanya sempat tersungkur ke dangkal laut. Hidung dan mulutnya berlumpur. Tapi dengan napas tertahan, ia remas bajunya yang terbasuh laut. Ia kibaskan lumut yang bergayut di lutut. Dan kemudian, sorot matanya tak berkedip, begitu saksama melepas sampan membawa Nurdin dan Bapaknya berarung ke jantung laut. Nasib belum mujur.
Tempo hari, sebenarnya Zulaiha lihai memasang akal. Ia terlebih dulu menuju sampan. Lalu, ia benamkan tubuhnya di setumpuk jala bekas yang tertinggal di sampan. Tentu buah dari harapan Zulaiha, bapaknya luput mengetahui keberadaannya. Maka, ia akan turut melaut. Tapi kandas. Sebelum sampan beranjak ke lenguh ombak, bapaknya menyuruh Nurdin mengembalikan jala koyak itu ke rumah. Dan ketahuan. Maka tak ada keraguan, setelah Zulaiha dijinjing, sebuah tendangan membikin Zulaiha terlentang, berlalu pulang. Nun, di dadanya membuncah cita-cita—atau kesumat sejati yang mengilat?
Suatu hari nanti, aku akan melaut. Sendiri! Mesti sendiri!
Zulaiha betapa mencintai laut. Lumrah itu. Bukankah ia tumbuh di lingkungan laut? Bahkan, konon, kata kerabatnya, Zulaiha lahir saat laut pasang menyeruduk rumah mereka. Maklum, rumah rapuh mereka teronggok dekat paloh, rendam rawa di sekitar bengkalai bakau. Nek Sakdiah, dukun beranak Mak-nya saat itu, malah sempat memandikan Zulaiha dengan air asin. ”Baru lahir saja sudah minum laut,” seloroh mereka. Memang, sejak kecil, tabiat Zulaiha memperlakukan laut sering dianggap tak lazim. Iya pula, ketika beranjak tidur, Zulaiha mesti mendekap botol bir berisi air laut. ”Mm, ada-ada saja,” geleng tetangga berbalut geli.
Selain itu, setiap kali hatinya dicengkram kuku taring kepiluan, atau sedang bertabur kembang sukacita, Zulaiha pun bersegera ke tepian laut. Tak siang tak malam. Adalah bangkai dermaga kayu, tak jauh dari rumah mereka, lapak kegemarannya. Sering ia kedapatan duduk sebatang diri di situ. Betapa lapang Zulaiha melempar pandang ke hampar laut. Sorot matanya menyeruakkan tangan, hendak merangkul kaki langit yang sembunyi di balik punggung laut? Sambil lalu, ia biarkan julur ombak menggeli-geli kakinya. Baginya, lidah laut seperti belaian beludru.
Lautkah gemulai rahim yang mendamparkanku ke dunia?
Pada lain waktu, Zulaiha sebenarnya tekun tegak dengan tubuh yang oleng. Ia songsong geriap laut, ia hirup napas ombak, lalu rentanglah tangannya, semacam mendekap angin beraroma garam. Erat. Rambutnya yang sebahu—berwarna senja, kusam, dan camping—tak pernah terikat. Tergerai, berkibar diangguk-geleng angin. Mungkin bagi Zulaiha, laut adalah pangkuan kaki yang tak pernah menendang tangkai hidungnya. Atau laut taklah tangan yang berkali-kali mengempaskan kepal ke dagunya yang rompal.
Lautku, lautku, ayunanku!
Zulaiha, dua belas tahun! Mengharapkan percik wajahnya mengisyaratkan suasana hatinya adalah pekerjaan petaka. Tawanya langka, air mata tiada. Paling, untuk menandai debar perasaan Zulaiha, tataplah lekat-lekat bundar matanya. Andai ia sedang berbuai ria, saksikan, ada kerlip sinar di antara kedipan. Sepasang bola matanya adalah kebeningan laut kecil yang menggelinjangkan sekawanan ikan. Dan sebaliknya, dua matanya bak laut menanggal cahaya, berkabut pekat, jika ia sedang diombang-ambing buih luka. Begitulah, lain kadang, matanya menyaru mata hiu. Mata yang mati. Namun, di ngarai dadanya, dendam senantiasa sepitam arang, bergulung, dan bersipompa.
Bernama dendam apa? Ke alamat mana?
Entahlah, Zulaiha pun lalai ingatannya, bila ia terakhir kali mengulum senyum atau menyedak durja? Serupa dengan ketakpahamannya, mengapa sejak lahir ia terpental dari rimbun peluk-cium orangtua, terutama bapaknya? Ia anak sulung. Tapi itu bukan penghalang bapaknya untuk tidak menyeru Zulaiha: anak pembawa sial! ”Sudahlah perempuan, cacat pulak!” Tidak iqamat, tapi umpatan yang menyayat telinga Zulaiha selepas lahir. Bapaknya kepingin anak laki-laki. ”Biar bisalah kubawa melaut,” begitu alasannya. Ah, Zulaiha, lahir sebagai anak perempuan yang ranum, kecuali kaki kanannya yang lebih pipih dari kaki kiri. Pun telapaknya mendongak. Maka kaki kanannya cuma bertumpu pada tumit. Cecah langkahnya pun tak sempurna.
Namun sumpah, Zulaiha tumbuh sebagai anak yang percaya diri, cekatan. Lincah ia kian kemari meski kadang terjungkal-terbanting. Tapi bersebab perlakuan bapaknya yang terlampau, ia berubah menjadi pendiam. Hobi bersendiri! Gemar berendam di paloh. Pernah pun, saat berusia lima tahun, Zulaiha nyaris tertanam perdani, pasang besar yang rutin melanda dua tahun sekali. Hendak memetik tunas piye ia saat itu. Piye banyak tumbuh di sekitar paloh. Anak-anak perempuan sering memetiknya untuk main masak-masakan.
Beruntung ada Dempol. Lajang sebelah rumah Zulaiha itu kebetulan sedang membubu kepiting. Lelaki pengangguran (juga lemah mental) itulah yang susah-upaya merebut Zulaiha dari rahang perdani. Ia juga yang membopong tubuh Zulaiha—yang pingsan—ke rumah bidan Rasidah. Tapi jerih payah berbuah serapah. Bukan ucapan terima kasih upah jasanya, melainkan terjang makian. ”Hah, mengapa tak kau biarkan saja anak sialan ini hanyut, Dempol! Biar mati sekalian!” Hardikan berkarat itu membikin Dempol terpelongo. Lajang malang itu menunduk, tak bernyali menantang dua biji saga yang bertengger di bawah dahi bapak Zulaiha. Tajam sekaligus mengerikan.
Tapi kengerian itu tidak lagi menggetarkan nyali Zulaiha. Ia sudah terbiasa. Meski juga dendam tak penat-penat menggeliat, menghasut gedebar lahar yang siap meletus. Iya, tidak sekali dua kali kelebat tangan bapaknya menggempur pipi, dada, dan kepala Zulaiha. Hidungnya pernah meluruhkan darah usai dibentur dengan palang pintu. Bahkan seayun tinju pernah pula menghantam rusuknya, membiru, dan sekian senti lagi menggapai ulu hati. Bermacam-macamlah pasalnya.
Maka siapa yang kelak menuai badai dendam?
Suatu kali, kepiting rajungan tangkapan bapaknya terlepas seekor ketika Zulaiha hendak merebusnya untuk makan malam. Asli, jangankan kebagian makan malam, Zulaiha hanya merasakan pedas tamparan. Dan seperti biasa, demi menghalau kepedasan, Zulaiha menggegaskan langkah pincangnya ke dermaga. Ia tinggalkan rumah dengan mimik dingin. Lalu, begitu lekat ia menghadap raut laut. Mengadu tanpa sedak sendu. ”Kak Zula! Dipanggil Mak! Lekas pulang!” Mungkin, kalau bukan karena mendengar kuyup teriakan Mukhlis—adiknya yang nomor tiga, tentu ia tahan berselimut angin laut hingga malam larut.
Laut, o, laut, pelipurku!
Ampun, punah segala kesakitan yang bersarang di tubuh Zulaiha. Bayangkan, gara-gara salah beli rokok saja, Zulaiha harus menebus hukuman. Bapaknya menyulut rokok, lalu memuntungkannya ke daun telinga Zulaiha. ”Bodoh kali kau ni, Zula! Heh, anak jin laut!” Zulaiha terpuruk, menanggungkan hujat begitu saja, dan tidak melawan sama sekali. Mak Zulaiha pun demikian sifatnya. Memilih diam atau menangis kalau sedang menahankan perilaku kasar bapaknya. Ia istri penurut, tak ada keberanian menunjukkan hati yang berkemelut. Tentu ia menyimpan rasa iba buat Zulaiha. Tapi apa daya, tenaga dan nyali menjelma hampa.
Sempurna derita, takdir Zulaiha? Lalu di garis laut, lalu pada laut, Zulaiha memulangkan kesumat hati. Tidak, ketiga adik laki-lakinya bukan muara dari kecamuk dendamnya. Meski sejak kelahiran Nurdin, Mukhlis, dan Husen, keberingasan bapaknya kian mengganas. Dan Zulaiha selalu menjadi sasaran. Perlakuan bapaknya kepada Zulaiha berbanding senjang dengan ketiga adiknya. Zulaiha tak pernah merasakan bagaimana bersekolah, seperti halnya Nurdin dan Mukhlis. Meskipun kedua adiknya itu berhenti juga di pangkal jalan, tak sempat naik-naikan kelas. ”Mengapa pulak kau hendak sekolah, Zula! Tak ada otak kau!” Ah, bapaknya, adakah seperti berhadapan dengan binatang?
Begitulah, bersebab adik-adiknya, Zulaiha sering pula dipaksa menelan hardik dan tebasan kaki bapaknya. Pernah pada sebuah pagi, hari Minggu, Zulaiha mengajak Husen ke halaman pasar. Itu pun karena Mak-nya menyuruh Zulaiha menjaga adik bungsunya itu. Berusia tiga tahun lebih Husen saat itu. Nah, biasanya, hari itu orang-orang kota datang bergerombol menyandang ransel berisi alat-alat pancing. Mereka hobi memancing. Lumayan, selain untuk menghanyutkan kejenuhan bekerja selama sepekan, untung-untung mereka pulang menggandeng ikan.
Sebelum pergi, Zulaiha berhasil menanggok sebaskom udang binje—seukuran kelingking—di paloh. Hasil tanggok-an itulah yang dijajakan Zulaiha kepada gerombolan pemancing. Udang-udang itu untuk umpan ikan. Kalau masih segar dan hidup, harganya tinggi. Penjaja yang lain juga ramai. Mereka menggelar udang, sibuk mengail minat orang-orang yang hilir mudik.
Namun, belum seorang pun yang menawar udang, mendadak bapaknya berdiri berkacak pinggang, tepat di depan Zulaiha. Wajah bapaknya bagai laut keruh, disepuh api, dan menggelegak! ”Anak binatang! Kau bawa rupanya si Husen, ya. Mengapa pulak kau di sini, hah! Petentengan!”
Lalu, berduyun tempeleng mengena wajah Zulaiha, menerbitkan lemak luka. Tapi ekspresi Zulaiha tetap setenang cuaca. Sebuah tendangan memelantingkan baskom buram. Udang-udang berserak, menggeleparkan sisa nyawa. Ada kelengangan yang melintas sejenak, lantas riuh kembali kelebat cerca. Bapaknya menyeret Zulaiha pulang, tak peduli dengan Husen yang berpekik-pekik tangis di bahunya. Orang-orang terkesima. Lipatan dahi menghimpun, menjuntaikan tanya. Entahlah, cuaca masih cerah, tapi terasa sedang menanak amarah.
O, Dendam pun bersiasat. Tak berhenti merajut jerat?
Hmm, Zulaiha adalah kepalan baja, atau pualam siksa? Pada sebuah malam, bapaknya sedang menyirat jala dengan cuban, alat penyulam jala. Ia biarkan Husen tertidur pulas di pangkuannya. Ada cahaya liar menyusup dari samar lampu teplok. Di luar, angin menderas. Nurdin dan Mukhlis asyik bergelut, sesekali terdengar rengekan mereka. Zulaiha tergoda, turut pula menghampirkan canda. Tapi canda tak berderai tawa, melainkan mendentangkan suara kaca. Kaki Zulaiha menyenggol gelas kopi bapaknya. Maka tumpah, kopi pun tersisa sepertiga. Padahal baru dihidang. Masih panas dan mengepul. Pun belum sempat diteguk.
Sudah terduga, bapaknya kalap luar biasa. Bangkit bapaknya, lalu dengan ringan mengayunkan runcing cuban ke pelipis Zulaiha. Saat itu darah adalah air mancur yang melimpah. Sambil memaki, bapaknya masih sempat melemparkan gelas kopi ke kaki kanan Zulaiha. Kaki yang menanggung lara sejak lama. Zulaiha bermimik tugu beringsut ke pintu. Lalu, ke mana lagi berlari, selain ke beranda dermaga? ”Zula, jangan kau ke dermaga, Nak. Angin kencang, badai!” Suara Mak-nya hanya bunyian yang tumpul. Zulaiha berwajah darah, terus menatihkan langkah.
Laut, laut, izinkan aku tidur di bilikmu malam ini.
Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Tapi Zulaiha, sejak lampau tak pernah menabung takut. Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir darah bertebar di atas kepala Zulaiha. Bunyi petir macam suara nenek sihir. Menakutkan. Tapi Zulaiha tak kecut. Ia tegak menghadap laut. Kilat melesatkan cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk laut. Angin mendaki-menghempas. Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa, atau menyahut siapa?
Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam, menguyupkan tubuh Zulaiha yang timpang. Lalu ia tadahkan lekuk tangan ke arah laut. Aha, Zulaiha, hendak mendekap siapa?
Tidak mendekap siapa-siapa. Malam itu, bukan dendam-kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri!
Medan, 05/08
Posting Komentar untuk "Sampan Zulaiha | Cerpen Hasan Al Banna"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar