Iklan Atas

Blogger Jateng

Rokok Mbah Gimun | Cerpen F Rahardi


Oleh: F Rahardi

Ke mana-mana Mbah Gimun selalu tampak dengan rokok lintingan, yang terus menempel di antara dua bibirnya yang tebal dan hitam. Rokok itu sangat besar dan hanya terbuat dari tembakau kasar dengan kertas lintingan yang juga kasar. Mbah Gimun tidak pernah tampak mengisap rokok yang ada di mulutnya itu. Rokok itu hanya dibiarkannya di sana dan terbakar begitu saja sampai habis di salah satu sisinya. Di sisi yang lain, tembakau dan kertas lintingan itu hanya hangus dengan warna hitam. Hingga bagian yang terbakar itu, selalu bengkok dengan bentuk yang sangat tidak beraturan.

Sambil tetap membiarkan rokok lintingan mengepul di mulutnya, Mbah Gimun mengiris helaian daun kelapa satu demi satu. Helaian itu terkulai begitu terpisah dari lidinya. Lidi yang kekar dia serut beberapa kali dengan pisaunya, hingga tampak putih dan halus. Kalau bibirnya mulai merasakan panas api rokoknya, atau kalau kepulan asap itu mulai mengganggu mata dan hidungnya, maka dia pun berhenti sejenak, membuang puntung yang masih menyala itu ke mana saja, lalu melinting lagi dan menyalakannya dengan bara api. Setelah itu dia kembali mengiris helaian daun kelapa, sampai lidinya terkumpul cukup banyak untuk diikat menjadi sapu.

Sehari-hari Mbah Gimun hanya membuat sapu lidi. Tiap hari juga selalu ada anak-anak yang mengantar pelepah daun kelapa segar, atau helaian daun yang telah disisir dan diikat. Lalu seminggu sekali pedagang datang mengambil sapu lidi yang sudah terkumpul. Kalau pedagang itu tidak datang, maka Mbah Gimun sendirilah yang akan mengantar ikatan-ikatan sapu lidi itu ke kota. Dalam sehari, Mbah Gimun bisa membuat lima sampai enam ikat sapu lidi. Kalau dia bekerja dari pagi sekali sampai larut malam, maka bisa sepuluh sapu lidi yang diselesaikannya.

Bagi Mbah Gimun, pendapatan dari membuat sapu lidi itu lumayan. Dengan uang itu dia bisa membeli sembako dan yang paling penting adalah tembakau serta kertas lintingan. Mbah Gimun tinggal sendirian saja di rumahnya yang terletak di ujung kampung. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun silam, anak-anak dan menantunya sebenarnya ingin sekali memboyongnya. Tetapi Mbah Gimun selalu menolak.

”Kalau aku ikut kalian, cucu-cucuku itu akan batuk semua. Mereka akan mabok asap rokokku yang sangit ini. Apa kalian ingin cucu-cucuku itu sakit batuk?” Begitu selalu yang dikatakannya kalau anak-anak dan menantu itu memintanya untuk tinggal bersama mereka. Padahal selama ini tidak pernah ada seorang cucu pun protes. ”Ya memang rokoknya Embah itu baunya seperti itu,” begitu selalu cucu-cucu itu menjawabnya.

Pada suatu pagi yang mulai agak kering pada bulan Juli, Mbah Gimun kedatangan tiga orang tamu yang tidak dikenalnya. Mereka berpakaian bagus-bagus, bersepatu bagus, membawa tas bagus, dan naik mobil yang juga sangat bagus. Mereka tampak mendatangi rumah-rumah lain di kampung itu, sebelum akhirnya masuk ke halaman rumah Mbah Gimun. Ketika Mbah Gimun mempersilakan mereka masuk, orang-orang itu menolak. Mereka malah mengajak Mbah Gimun duduk di lincak bambu di bawah pohon jambu di halamam rumah. Salah satu di antara tiga tamu itu memperkenalkan diri mereka. Nama-nama mereka sulit untuk diingat apalagi diucapkan oleh Mbah Gimun. Tamu yang satu lagi mengeluarkan bungkusan tembakau dan kertas lintingan, lalu menyerahkannya kepada Mbah Gimun.

”Minggu depan ini kita akan memilih pak bupati baru Mbah!” kata salah satu tamu itu.

”Iya, saya sudah diberi tahu Pak RT dan sudah diberi kartunya. Apa Mas-mas ini juga petugas pencoblosan?” tanya Mbah Gimun.

”Benar Mbah, ini gambar calon pak bupati itu, nanti ditempel di sana ya Mbah?”

”Tetapi kok saya diberi tembakau banyak sekali?”

”Tidak apa-apa Mbah, sebab kami tahu Mbah Gimun suka merokok lintingan. Bukan hanya itu Mbah, ini juga ada sedikit uang untuk tambahan belanja Mbah Gimun.”

”Kok sampeyan ini sudah tahu nama saya tho?”

”Kan ada daftarnya Mbah. Tadi bapak yang rumahnya di depan sana itu yang memberitahu bahwa inilah rumah Mbah Gimun.”

”O, ya terima kasih sekali, saya diberi tembakau, diberi uang lagi.”

”Tapi begini Mbah, nanti Mbah harus mencoblos gambar yang ini lho Mbah. Jangan yang lain ya!”

”Pasti Mas, pasti, kan Pak Bupati yang ini yang telah memberi saya tembakau dan uang.”

Setelah para tamu itu pergi, Mbah Gimun membuka amplop putih itu dan di dalamnya ada lembaran uang limapuluh ribu rupiah. Mbah Gimun kaget tetapi senang. Limapuluh ribu itu berarti pendapatannya selama seminggu. Lumayan. Uang itu disimpannya di antara tumpukan surat-surat dan kartu-kartu. Mbah Gimun lalu membuka besek. Di dalamnya tampak tembakau yang cokelat kehitaman dengan aromanya yang harum. Mbah Gimun menarik satu lembar kertas lintingan, mencomot tembakaunya, melintingnya, menyalakannya dengan bara api dan menaruhnya di antara dua bibirnya. Aroma harum tembakau mahal itu terasa menyentuh bagian paling dalam di hidungnya. Baru kali ini Mbah Gimun merasakan ada tembakau seenak ini.

Baru sebentar dia menaruh lintingan di bibirnya, salah satu cucu laki-lakinya datang dengan berlari sangat kencang hingga hampir menabraknya. Cucu itu memberi tahu, bahwa baru saja ada tiga orang tamu datang ke rumahnya. Mereka memberi beras dan uang kepada bapaknya. Cucu itu lalu memamerkan dua butir permen di telapak tangan dan satu yang sudah berada di mulutnya. Katanya, permen itu juga berasal dari tamu yang datang ke rumahnya baru saja. Belum sempat Mbah Gimun bertanya lebih lanjut, cucu itu sudah berlari dengan cepat meninggalkannya. Mbah Gimun lalu melanjutkan pekerjaannya, sambil tetap membiarkan aroma asap tembakau yang harum menyentuh bagian terdalam dari indera penciumannya.

Beberapa hari kemudian, Pak RT dan Tukijan juga datang. Mereka mengantar beras, gula, teh dan lembaran uang duapuluh ribu rupiah. Tetapi yang dibawa Pak RT dan Tukijan gambar calon bupati yang lain lagi. Kertas gambar itu tebal dan kaku, lebarnya seperti sajadah. Mbah Gimun diminta mereka untuk menempelkannya di dinding, supaya ingat bahwa gambar itulah yang harus dicoblos.

”Tetapi calon bupatinya kok ada dua Jan?” tanya Mbah Gimun heran.

”Bukan dua tetapi satu Mbah. Yang ini yang kiri ini bupatinya. Yang kanan wakilnya.” jawab Tukijan dan Pak RT hampir berbarengan.

”Lalu yang harus saya coblos yang mana Pak RT?” tanya Mbah Gimun lagi.

”Salah satu saja Mbah. Mau dicoblos wakilnya boleh, bupatinya juga boleh. Tetapi jangan mencoblos gambar yang lain!” jelas Pak RT.

”Iya Pak RT, tetapi yang dicoblos matanya atau mulutnya?” tanya Mbah Gimun lebih terinci.

”Terserah Embah, tetapi yang paling sopan ya dicoblos baju jasnya saja. Kalau yang dicoblos mata atau mulutnya kan kasihan Pak Bupatinya.”

”Ya kalau begitu saya akan coblos bajunya saja. Kalau yang bolong bajunya kan bisa ditambal ya Pak RT?” kata Mbah Gimun.

”Lalu minggu depan ini Mbah, kita semua harus datang ke lapangan bola.”

”Ada apa lagi Jan?”

”Ada pembagian sembako lagi dan mudah-mudahan juga ada uangnya. Ada dang-dutnya lo Mbah!”

”Ya, ya, saya akan datang nanti. Jam berapa Pak RT?”

”Sore, sekitar jam empat. Sebab pagi dan siangnya Pak Calon Bupati itu akan keliling-keliling dulu untuk pidato. Kampung kita ini dapat bagian yang terakhir.”

Enam calon bupati dan wakilnya, semua membagi-bagikan uang dan barang. Mbah Gimun menerima semuanya. Ada yang limapuluh ribu, duapuluh ribu, sepuluh ribu, tetapi ada pula yang sampai seratus ribu. Tetapi yang seratus ribu ini kelihatannya hanya dikhususkan untuk Mbah Gimun. ”Pak Calon Bupati itu sendiri yang memberikannya langsung. Diselipkan di kantong saya ini waktu salaman.” kata Mbah Gimun senang. Mbah Gimun juga menerima banyak rokok tetapi langsung dibagikannya kepada anak-anaknya. ”Saya tidak suka mengisap rokok pabrik. Sebab baunya seperti minyak wangi. Bau tembakaunya sudah tidak ada,” begitu alasan Mbah Gimun.

Menjelang hari pencoblosan, Mbah Gimun tetap menyisir lidi dengan pisaunya. Rokok lintingan itu juga tetap menempel di bibirnya. Hanya dia berpesan kepada anak-anak, agar menjelang pencoblosan mereka tidak mengantar daun kelapa terlalu banyak.

”Nanti kalau pas coblosan tidak bisa diirat semua, akan layu. Kalau layu mengiratnya alot,” katanya pada anak-anak itu.

”Mau nyoblos siapa Mbah nanti?” tanya anak-anak.

”Ya siapa saja. Sebab saya tidak tahu nama-namanya, dan tidak hapal wajahnya. Baju dan pecinya juga sama kan?” jawab Mbah Gimun.

”Bukan nyoblos yang paling banyak ngasih uang Mbah?”

”Saya juga sudah lupa yang mana yang pernah ngasih uang paling banyak.”

”Nyoblos Pak Dipo saja Mbah. Dia kan pengusaha, jadi nanti kita semua makmur.”

”Yang pasti makmur ya bupatinya itu, bukan kita. Selamanya kita ini tidak akan pernah jadi makmur meskipun bupatinya ganti-ganti.”

Sampai dengan berangkat ke tempat pencoblosan, sebenarnya Mbah Gimun masih tetap bingung. Enam calon semuanya memberi uang, memberi beras, memberi tembakau, memberi teh, memberi gula. Mbah Gimun berjalan beriring-iringan dengan tetangga-tetangganya, dengan anak-anaknya, dengan menantu-menantunya. Mereka menyusuri jalan desa yang hanya dikeraskan dengan batu. Pagi itu pohon-pohon tampak diam saja karena tidak ada angin. Di langit juga tidak kelihatan ada awan. Karena masih pagi, udara terasa tidak terlalu panas. Di tempat pencoblosan sudah ada banyak orang. Semuanya memakai baju bagus-bagus dan warna-warni.

Mbah Gimun memakai kain sarung, baju surjan hitam, sandal jepit, dan kepalanya ditutup udeng. Dia mencari tempat duduk yang pas. Sebab hampir seluruh warga kampung yang melihatnya, menawarinya tempat duduk. Dia lalu memilih duduk di kursi plastik di pojok belakang. Dari saku surjannya, Mbah Gimun mengeluarkan kantong plastik berisi tembakau dan kertas lintingan. Dia lalu melolos satu lembar kertas, mencomot gumpalan tembakau dan melintingnya. Tetapi ketika lintingan itu ditaruh di mulutnya, dia kebingungan. Di rumah, biasanya Mbah Gimun menyalakan rokok lintingannya dengan bara api dari dapur.

Melihat Mbah Gimun kebingungan, banyak warga kampung yang menyodorkan korek api gas. Rokok Mbah Gimun lalu mengepulkan asap yang segera menyebar ke mana-mana. Baunya sangit dan keras. Setelah panitia mengumumkan hal-ihwal pencoblosan, satu-per satu warga kampung dipanggil. Tidak lama kemudian Mbah Gimun juga dipanggil, dilihat kartunya, dicatat, dan diberi kertas suara. Mbah Gimun sudah tahu bagaimana caranya mencoblos. Sebab tahun lalu dia juga ikut tiga kali pencoblosan seperti ini. Tetapi ketika itu yang dipilih pak presiden dan DPR. Bukan pak bupati.

Di bilik pencoblosan, Mbah Gimun menggelar lipatan kertas suara yang baru saja diterimanya. Di sana ada 12 wajah manusia yang sama-sama mengenakan jas dan kepalanya ditutup peci. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, ada pula yang tegang dan cemberut. Beberapa kali Mbah Gimun menyedot rokok lintingannya. Asap mengepul deras sampai menyembul ke luar bilik pencoblosan. Mbah Gimun memungut rokok lintingan dari bibirnya. Bara api di ujung rokok itu memerah. Dengan mengucap Bismillah, Mbah Gimun mencoblos 12 wajah dengan api rokoknya. Ada yang dicoblos di jidat, ada yang di pipi, ada yang di mulut, di mata, di hidung. Mbah Gimun tidak jadi mencoblos baju jas yang dikenakan oleh para calon itu. ”Sayang, baju bagus-bagus begitu kalau dicoblos api rokok.”

Cimanggis, 2005.