Oleh: Ken Hanggara
Duduk di jembatan penyeberangan, kakek itu bersikap bagai pertapa; tak bergeser, tak bicara, tenang, terpejam, dan terus berzikir. Kemeja dan sarung lusuhnya, yang berlubang di banyak bagian, mengingatkanku pada almarhum bapak di kampung. Dulu bapak sering bersila seperti itu, duduk tenang, tak bicara, mata terus terpejam, dan bibir tak henti zikir. Bedanya, almarhum bapak tidak melakukan di jembatan penyeberangan, jadi tontonan orang, apalagi dengan sebuah mangkuk seng yang terus gemerincing di depan kaki.
Ya, kakek itu pengemis yang sering kulihat sewaktu menyeberang jembatan ini. Sejak sebulan lalu, aku menjajal rute baru, mencari hal-hal baru yang menyenangkan sepanjang mengamen di Ibu Kota. Maka, aku tak tahu sejak kapan kakek itu duduk di sana, tak bergeser, berzikir dengan suara lembut dan pelan, hingga membuat pengguna jembatan penyeberangan iba dan memberinya sedikit uang.
Aku juga iba melihat kerut-kemerut di wajahnya yang kurus dan lemah. Sesekali gerakan di luar zikir hanyalah telapak tangan mengelus dada karena mungkin kakek itu punya masalah dengan sistem pernapasan. Aku pernah melihatnya batuk beberapa kali ketika tepat melintas di depannya. Aku tidak jarang ikut menaruh uang meski tak banyak di mangkuknya. Sekadar mengobati rasa iba.
*****
Sejak itu aku tak tenang. Barangkali orang itu tidak punya anak dan tempat tinggal sehingga terpaksa mengemis karena tak kuat bekerja. Atau, malah ia punya anak, tetapi anaknya durhaka dan ia diusir dengan kejam, lalu terpaksa jadi pengemis karena sakit-sakitan. Aku berusaha menepis pikiran itu. Tapi, apa lagi kemungkinan yang bisa terjadi pada kakek itu sehingga ia mengemis? Aku sama sekali tak tahu.
Aku ingat bapak dulu keras mendidikku. Rotan dan sapu jadi santapan sehari-hari. Aku pikir bapak makhluk paling sadis di muka bumi, tetapi ketika aku sakit, ia amat perhatian dan berusaha sebisa mungkin agar anaknya yang tak berguna ini cepat sembuh. Kukira seburuk-buruk seorang bapak, tidak ada bapak yang sejahat iblis hingga tega menjerumuskan anaknya.
Aku percaya hukum mutlak ini berlaku pada si kakek pezikir yang mungkin mempunyai anak, tapi ditelantarkan karena sang anak sangat muak. Apa yang membuat seorang anak muak kepada orang tua kandungnya? Aku terus kepikiran tentang bagaimana pengemis malang itu makan, di mana ia tinggal, serta seperti apa keadaannya andai ia sakit?
Pertanyaan itu sulit kutemukan jawabnya karena setiap melintas di depannya dan mendengar zikirnya, aku terbius dan lupa bahwa tujuanku menemui si kakek itu adalah untuk menanyakan beberapa hal penting padanya. Aku sendiri bahkan suatu hari mulai cemas, kalau-kalau kusampaikan sebuah ide gemilang pada sang pezikir, “Maukah Anda menjadi bapak angkat saya?”
Aku tahu ide itu aneh. Mungkin kakek itu mengira aku bercanda atau barangkali ia menganggapku sinting; anak kandungnya sendiri saja tega membuangnya, bagaimana mungkin ada seorang pengamen miskin mau mengangkatnya sebagai bapak?
Alasanku simpel: karena almarhum bapak, yang kemudian kucintai dan kuhormati, meninggal kala aku belum sempat membuatnya bahagia. Aku masih badung dan tidak berguna, sampah masyarakat yang menyusahkan orang tua dan orang lain. Maka, dengan mengangkat pengemis itu menjadi bapakku, mungkin kesedihanku tersembuhkan dan aku bisa berubah menjadi manusia yang lebih baik. Aku akan menjaga dan merawatnya sebagaimana bapak kandungku sendiri karena pengemis itu tampaknya pintar beribadah. Aku juga bisa memperdalam agama padanya.
Dari yang kudengar di ceramah keagamaan bahwa mengemis perbuatan pemalas dan tidak baik, aku ingin mengentas kakek itu dari kekeliruan, mengingatkannya, lalu sama-sama kembali pada-Nya. Aku tahu ia mengemis karena terpaksa dan memakai metode zikir sebagai cara untuk mengemis, sangat aneh, dan kurang berkenan di hati sebagian orang.
Meski Nabi menganjurkan tidak mengusir atau mencaci maki pengemis, melainkan tetap memberinya uang, mengemis tetap bukan pekerjaan. Adakah suatu hal yang bisa disebut pekerjaan ketika tidak ada setetes pun keringat keluar dari tubuh kita? Maka, aku percaya, kakek yang selalu berzikir itu mulanya tidak berniat mengemis, tetapi karena tiba-tiba ada yang iba memberinya uang, dimulailah kebiasaan itu.
*****
Untuk itu, suatu pagi tiba-tiba sesuatu menggerakkan hatiku untuk melewati rute baru. Aku tahu-tahu ingin melihat hal lain yang belum kutemukan di kota ini. Secara aneh, perasaanku berkata aku harus melihat segala hal yang belum kulihat. Mungkin Tuhan sengaja menyetel pikiranku agar aku bertemu kakek pengemis yang ahli zikir di sebuah jembatan penyeberangan yang sebelumnya tak pernah kulewati dan kami pun nanti sama-sama bisa berubah lebih baik.
Aku bersyukur. Kubayangkan sesudah kakek pezikir resmi jadi bapak angkatku, aku menabung lebih banyak agar kami bisa beli tanah untuk dibangun rumah. Tidak apa walau kecil, yang penting nyaman dan kami tidak perlu mengontrak rumah lagi.
Tapi, persoalannya bagaimana membujuk si kakek agar ia mau? Lagi pula, begitu aku tiba di hadapannya, mengambil beberapa receh uang dari kantung, tiba-tiba mulutku terkunci dan tak sanggup berkata-kata. Aku tak tahu bagaimana memulainya dan aku tak tahu apakah kakek itu nanti tersinggung atau tidak dengan maksud baikku.
Setelah berpikir, kuputuskan mengintainya dari jauh hingga malam. Dengan begitu, aku bisa tahu di mana pezikir misterius itu tinggal. Aku akan basa-basi dengan dalih tidak sengaja melihatnya, lalu aku akan berkata, “Loh, ini Mbah yang di jembatan itu, kan?” Sesudah itu si kakek mengizinkanku mengantarnya pulang karena beralasan tidak tega membiarkannya jalan tertatih-tatih sendiri dengan hanya sebatang tongkat.
Kurasa itu ide brilian. Aku bisa tahu di mana ia tinggal, aku juga bisa tahu apa ia punya keluarga, apa ia tinggal bersama istri dan anak-anaknya, atau bersama istrinya saja, karena tidak mempunyai anak sejak pernikahan mereka? Atau boleh jadi seperti ketakutanku: mungkin si kakek ini sebatang kara dan tinggal di gubuk tua yang nyaris roboh.
Dadaku bergetar oleh kemungkinan itu, tapi lega karena menemukan solusi. Kalau kuperhatikan, si kakek tak ada di jembatan tempat ia bersila dengan tenang, tanpa geser, tanpa kedip, selain berzikir dan terus berzikir, jika hari sedang hujan atau lewat pukul 12 malam. Mungkin kakek itu pulang sekitar pukul 10 atau 11 malam, di mana arus kendaraan mulai sepi. Mungkin di suatu sudut kota ia harus menyeberangi jalan tanpa jembatan di atasnya sehingga harus berangkat dan pulang mengemis dalam keadaan jalanan sudah sepi. Aku tidak mungkin mengintainya subuh-subuh karena dengan begitu aku tidak akan tahu di mana ia tinggal.
Maka, malam itu aku mengintainya. Pukul 9 malam kakek itu masih di sana. Aku melewatinya dua kali dan menaruh uang Rp 2.000 sebanyak dua kali selama bolak-balik dan nyaris tergoda menyapa. Tetapi, ketika kata-kataku mau keluar, aku tidak bisa meneruskan karena takut melukai perasaannya sebagai seorang pezikir yang terpaksa mengemis.
Mungkin kakek itu akan terharu karena ada pemuda baik sepertiku, tapi bisa saja ia marah dan menolak aku mengantarnya. Jadi aku harus menunggu lebih sabar agar bisa mengantarnya pulang. Barangkali sesudah itu aku bisa mengantarnya lagi selama tiga atau empat kali. Pada kelima kalinya aku akan membawa baju dan sarung yang kubeli di pasar, yang layak pakai dan tidak berlubang. Ia tidak butuh baju semacam itu, karena ia bukan lagi pengemis. Lalu, kukatakan aku siap menjadi anak angkatnya dan biar aku saja yang bekerja. Ia tak usah khawatir.
Betapa indah bayanganku akan itu. Sempurna. Aku akan punya pengganti bapak yang tinggi ilmu agamanya sehingga ketika berzikir saja bisa membuat orang tersentuh.
Kubayangkan aku bisa menariknya dari jurang keburukan dalam tindakan mengemis yang dibalut kesucian agama. Bagaimanapun, mengemis dan zikir adalah hal yang sama sekali lain dan tidak bisa dikolaborasikan. Aku bangga andai nanti bisa membujuknya menjadi bapak angkatku. Ia bisa berzikir di jalan lurus sebagaimana mestinya.
*****
Waktu menunjukkan pukul 11 ketika kakek itu berhenti berzikir. Aku yang sedari tadi duduk di ujung anak tangga jembatan, ikut berdiri memeluk gitarku. Dadaku berdentuman ketika si kakek membenahi buntalan kain dan membereskan mangkuknya yang penuh uang. Ia masukkan uang itu ke buntalan dan tersenyum. Ia ambil tongkatnya lantas berjalan ke arahku.
Aku sudah siap membuka obrolan dengan pura-pura tak sengaja bertemu dengan kakek itu lagi—meski terdengar aneh, karena bukankah kami selama ini hanya bertemu di atas jembatan ini? Tetapi, pezikir itu melangkah buru-buru dengan ayunan tongkat yang nyaris tak menyentuh lantai jembatan. Lalu, ia berkata dengan lantang, “Mobil lu taruh di mane?”
Pria setengah baya, yang entah datang dari mana, menubrukku dari belakang, minta maaf sekilas, lalu menjawab pertanyaan si kakek, “Di bawah, Be. Buruan. Nggak usah tongkat!”
Aku batal menyapa, selain berdiri termangu. Kakek itu sempat melirikku, namun segera pergi begitu tahu aku cuma pengamen yang tidak mungkin membuatnya merugi. Entah mengapa pikiran semacam itu lewat di kepalaku. Kukira pria tadi anak kandung si kakek. Mereka membawa tongkat dan buntalan uang, menuruni jembatan buru-buru sehingga bunyi berdebum keras terdengar di seluruh anak tangga. Mereka tertawa sebelum masuk mobil mewah yang terparkir di tepi trotoar.
Aku tidak peduli mobil itu pulang ke arah mana karena hatiku terluka malam itu. (*)
Gempol, 31 Juli 2015
Posting Komentar untuk "Pezikir Jembatan | Cerpen Ken Hanggara"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar