Dua hari kemarin seorang marbut masjid, Mang Badrun, selesai membagikan surat undangan ke beberapa warga Kampung Cibelenger. Tidak sembarang orang yang mendapatkan undangan khusus itu. Memang benar yang menulis undangannya Mang Badrun, tetapi nama-nama yang tertera dalam undangan diperoleh dari seorang tetua yang sangat disegani. Ia hanya diminta mengetikkan nama darinya, lalu mencetak dan menyebarkan undangannya sebelum malam ini tiba.
Bakda isya satu per satu warga berdatangan ke masjid. Tidak menerima undangan khusus bukan berarti mereka tak boleh hadir. Kau akan tahu apa pentingnya undangan itu setelah kalimat ini.
Haji Masykur sang saudagar datang paling awal di antara penerima undangan lainnya. Baju gamis dan kain sarung yang dikenakannya tampak mewah di mata warga. Ia dikenal pandai mengaji dan khatam urusan tajwid serta makhorijul huruf. Karpet berwarna hijau merah telah lebih dahulu digelar di teras. Haji Masykur duduk di sisi pintu paling kanan. Terlihat olehnya dari arah pintu gerbang, Ustaz Rasyid melangkah masuk diikuti dua orang santrinya. Berpostur tinggi tegap dengan kopiah putih dan serban di kepala menegaskan ia sebagai pendiri salah satu pesantren di kampung tersebut.
“Assalamu’alaikum…,” sahutnya ramah sembari melepaskan sandalnya. Salah satu santrinya gegas merapikan sandal sang guru. Belum ia duduk, sebagian warga menyalami tangannya. Anak dan kemenakan mereka banyak yang mengaji kitab kuning di pesantren Ustaz Rasyid.
Penerima undangan berikutnya datang membawa mobil. Seorang sopir memar kirnya di pelataran masjid. Lalu ia mem bukakan pintu belakang. Seorang pria berparas tampan, dengan setelan jas hitam dan sepatu mengilap, keluar dari dalam mobil. Ia Haji Salim, putra dari almarhum Kiai Shidiq, alim besar di kampung Cibelenger yang wafat sebulan lalu.
Ia menebarkan senyum. Tangannya merapikan sedikit letak kopiah hitam di kepala, lalu berjalan ke teras masjid. Dibanding dua penerima undangan yang sudah hadir, ia berpakaian paling berbeda. Haji Salim pewaris tunggal kekayaan abahnya, empat puluh persen dana pembangunan masjid disumbang oleh Kiai Shidiq. Tak heran banyak warga yang biasa memohon pinjaman uang padanya. Selain itu, ia dikenal memiliki suara merdu saat melantunkan ayat suci Alquran.
Dalam surat undangan, tertulis musyawarah dimulai jam delapan malam. Tiga kandidat imam masjid Kampung Cibelenger sudah duduk bersebelahan. Mereka bercengkerama alakadarnya sembari menunggu tetua kampung datang. Sorot mata warga tidak lepas dari tiga orang di hadapannya.
Setelahnya, mereka saling berbisik dan menerka. Gelar imam masjid di kampung Cibelenger adalah sebuah gengsi. Bukan soal dibayar atau tidak, tetapi ini soal harga diri. Belum sempurna ilmu agamanya bila belum mengimami salat di masjid Cibelenger. Itu yang ada di benak para warganya. Kampung lain cukup menaruh hormat pada kampung seribu santri ini—begitu julukannya.
Lima menit berselang dan Pak Kiai Djasim datang. Bukan dari luar gerbang, tetapi dari dalam masjid yang remang. Rupanya sejak isya tadi ia tidak pulang, tetapi melakukan iktikaf dan berzikir sambil menunggu semuanya berkumpul.
Tiga calon imam yang duduk dekat pintu masjid lekas berdiri. Mereka menjabat tangan Kiai Djasim dan menciumi punggung tangannya. Begitu juga para warga, mereka saling berebut ke depan. Pak Kiai tersenyum, lalu mengangguk dan meminta semua kembali duduk. Ia membuka musyawarah malam itu dengan mengajak warga membaca surah al-Fatihah bersama-sama.
“Hatur nuhun atas kesediaan saudara sekalian untuk hadir pada malam ini,” ia mulai ke pokok pembahasan, “kule yakin, ningali kekompakan warga mengketen, insya Allah kampung Cibelenger bakal baik-baik saos. ” Dialek bahasa jawa bebasannya terdengar kental di telinga warga.
Mang Badrun membawa teko dan beberapa cangkir berisi teh hangat. Ia mohon izin untuk menaruhnya di hadapan tetua dan para undangan. Pak Kiai memper silakan lalu mulai kembali berbicara, “mungkin warga sekalian sudah tahu apa tujuan musyawarah malam ini. Selebaran sudah dipasang di tembok masjid dan tiga orang yang diundang telah hadir….” Mang Badrun kali ini membawa teko untuk warga. Ia meletakkannya di tengah orang-orang yang duduk melingkar. Setelah itu ia mundur kembali dan duduk di paling belakang.
Tetua memaparkan kalau pemilihan imam masjid sudah umum dilakukan di Kampung Cibelenger sejak dulu. Ini adalah adat serta tradisi turun-temurun demi menjaga kualitas seorang pemimpin dalam mendirikan ibadah salat. “Kebetulan, saya yang dituakan dan mendapat amanah berat ini dari kiai-kiai yang sudah lebih dulu pergi. Semoga saudara sekalian dapat menerimanya dengan berbesar hati,” katanya tawaduk. Warga mengangguk termasuk tiga orang di kanan-kirinya.
Hari semakin malam. Kiai Djasim tak mau mengulur waktu terlalu lama. “Punten, saya akan segera meminta kepada saudara-saudara di depan ini untuk menunjukkan kemampuan membaca Alqurannya terlebih dahulu. Baru setelahnya akan sedikit membahas mengenai pengetahuan soal ilmu fikih dan lainnya.” Kiai Djasim seketika terkenang masa-masa ketika ia dulu di posisi mereka. Ia murid dari Kiai Shidiq dan saat di minta mengaji di depan warga tubuhnya bergetar dan keringat tak henti-hentinya mengalir. Waktu terus berjalan. Tak terasa kini ia ada pada posisi sebagai tetua kampung.
Ustaz Rasyid dengan amat yakin mengajukan diri lebih dulu. Dalam hatinya barangkali menganggap ini adalah hal mudah. Karena hampir setiap hari ia menguruk santri-santrinya mengaji. Sudah banyak tempat ia datangi untuk menimba ilmu agama sewaktu muda dulu. Selesai dari satu mubalig lanjut ke ulama yang lain. Dari ahli qiraah ke ahli fikih yang lain.
“Katuran Pak Ustaz….”
Ustaz Rasyid duduk bersila menghadap Kiai Djasim. Ketika dipersilakan dan mata mereka bertemu, mendadak tubuhnya bergetar. Dadanya bergemuruh dan matanya tak kuasa menatap lama ke wajah Pak Kiai.
“A‘udzzz…, bbill.. ahh..,” Ustaz Rasyid tergeragap. Lidahnya tiba-tiba kelu. Ia tak paham apa yang terjadi. Suara bisik-bisik warga yang keheranan terdengar semakin riuh. Namun bukan itu yang membuatnya panik. Justru bayangan di kepalanya yang sangat mengganggu. Wajah-wajah santri yang pernah ia usir, singgah di tempurung kepalanya. Bahkan yang pernah ia sabet karena tak lekas mengerti pelajaran pun meraung-raung malam itu. Tak lama badannya limbung. Dua santrinya lekas mendekat dan menyanggah tubuhnya. Warga membantu dan membawa ia pulang kembali ke rumahnya.
“Astagfirullah….” Kiai Djasim diperlihatkan oleh Allah apa yang membuat Ustaz Rasyid mengalami hal itu. Tapi masih ada dua orang lagi. Ia lekas meminta satu dari mereka untuk menghadap ke arahnya.
“Baca basmallah lebih dahulu. Mohon izin dan ridho pada Allah. Mulailah kapan pun saudara siap,” ucapnya teduh penuh saran.
“Baik, Pak Kiai,” jawab Haji Masykur lekas. Belum ia mulai membaca ayat basmallah, mulutnya hanya megap-megap seperti ikan mujair dalam air. Ia mencoba berteriak sampai tenggorokannya sakit, tetapi nihil. Suaranya tetap hilang detik itu juga. Sama halnya Ustaz Rasyid, ia pun tak paham apa yang tengah terjadi. Tak kuasa menahan malu ia gegas bangkit dan berlari pulang ke rumahnya. Kepalanya dibayang-bayangi wajah orang-orang yang sering ia hina ketika tak sanggup membeli barang dagangannya. Ia membuka lebar mulutnya berusaha menjerit, tetapi tak ada getar suara yang keluar.
Lagi-lagi Kiai Djasim dikehendaki tahu apa yang menimpanya. Ia beristigfar tiada henti. Masih ada satu orang di sebelahnya. Barangkali ia yang bakal jadi imam masjid penggantinya kelak. Belum diminta duduk menghadap Pak Kiai, Haji Salim inisiatif. Ia bergeser mengambil posisi duduk di depan Kiai. Ketika Kiai Djasim memberi aba-aba untuk memulai, Haji Salim dika getkan oleh kehadiran almarhum abahnya yang duduk bersebelahan dengan Kiai Djasim.
Wajah Haji Salim sekonyong-konyong pucat. Matanya melotot tak percaya. Bibirnya pelan sekali menyebut nama Tuhan, dan berhasil. Ia tidak bisu dan gagap mendadak. Namun, badannya seolah membatu. Ia tidak bisa bergeser sedikit pun. Mendiang abahnya menegur Haji Salim. Warga bingung dengan kejadian malam itu. Mereka tidak melihat kehadiran Kiai Shidiq, tetapi Kiai Djasim merasakan kehadiran gurunya itu. Dengan kepala merunduk ia tetap diam dan menyimak apa yang ingin disampaikan Kiai Shidiq pada anak semata wayangnya itu.
“Bertobatlah, Salim. Allah tak menyukai hambaNya yang memakan uang riba. Bantulah saudara dan tetanggamu dengan hati yang tulus. Demi Allah aku tak pernah mengajarkanmu berlaku culas dan angkuh. Sesungguhnya Allah maha pengampun.” Haji Salim menangkap air muka abahnya yang murka. Ia pun menangis tersedu-sedu. “Maafkan, saya, Bah. Mohon ampun….” Setelahnya Haji Salim menjerit-jerit tak jelas. Sopirnya sergap membawa majikannya ke mobil. Ia tancap gas meninggalkan warga tanpa permisi. Bahkan teko dan gelas-gelas ia biarkan tergeletak setelah tertendang olehnya.
Kedua mata Kiai Djasim berkaca-kaca. Hatinya menahan tangis menghadapi kenyataan ini. Sedangkan warga tak mampu berbuat apa-apa. Mereka terlampau syok dihadapkan dengan kejadian aneh yang datang nyaris bersamaan. Mang Badrun melihatnya biasa saja. Lelaki separuh baya itu hanya tahu satu hal yang harus dilakukannya; mengurus masjid. Segera ia merapikan kembali teko dan gelas-gelas yang berantakan. Ia mengelap airnya yang tumpah membasahi lantai masjid.
Sosok almarhum Kiai Shidiq masih berada di sebelah Kiai Djasim. Sebelum pergi ia menitipkan sebuah pesan, “Jaga Badrun agar tak jauh-jauh dari pengimaman. Dulu, ia juga pernah mengaji padaku.” Kiai Djasim mengangguk takzim. Seketika ia teringat, dulu saat mengaji di rumah Kiai Shidiq, Badrun kecil selalu bersembunyi di atas pohon mangga dan mendengarkan orang-orang yang sedang mengaji.
Cilegon, 03 Mei 2018
Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Terpilih sebagai salah satu penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017. Buku terbarunya berjudul, “Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu” (Basabasi, 2017). Arsip tulisannya bisa dilihat di: www.quadraterz.com.
Posting Komentar untuk "Imam Masjid | Cerpen Ade Ubaidil"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar