Iklan Atas

Blogger Jateng

Nistagmus | Cerpen Danarto

 

Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa?

Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Selama ini saya memang dekat dengan para tetangga. Sering saya diajak ngobrol tentang berbagai masalah yang dihadapi para tetangga. Di samping para tetangga, juga kenalan-kenalan jauh yang datang dengan kendaraan khusus. Kadang datang berbondong. Tamu pun bisa mencapai sepuluh sampai lima belas orang sehingga rumah jadi regeng, ramai. Kami ngobrol sekitar persoalan yang menyangkut rumah tangga dengan segala nuansanya. Juga tentang hubungan suami istri, menantu dengan mertua, bawahan dengan atasan, persoalan anak dengan orangtuanya, juga masalah percintaan antaranak-anak remaja.

Jika ditanya, saya menjawab sekenanya, sekadar yang saya tahu. Saya tak pernah mengutip kata-kata bijak dari para cendekiawan. Masalah-masalah itu menjadi obrolan yang berkepanjangan. Sungguh menghabiskan waktu. Tapi asyik juga karena hidup di dusun yang sepi sekali-kali perlu mengadakan pertemuan supaya merasakan kemeriahan.

Kadang-kadang saya juga diundang camat, bupati, maupun wali kota, diajak berbincang mengenai berbagai hal yang pelik, yang sama sekali tidak saya ketahui. Misalnya, soal usaha tambak udang, perbankan, perburuhan, pengairan sawah, bibit tanaman, dan banyak lagi sejumlah persoalan yang lagi hangat atau panas di masyarakat yang sebenarnya membuat saya tidak nyaman.

Rasanya camat, bupati, dan wali kota, tidak benar-benar membutuhkan saya. Rasa saya mereka sekadar butuh teman ngobrol. Setelah dua jam pembicaraan ke sana-kemari, lalu kami pindah tempat duduk dan lebih santai sambil ngopi. Dan pembicaraan beralih ke olahraga, misalnya, juga tayangan televisi. Selama pertemuan-pertemuan dengan para tetangga, teman-teman, ataupun dengan para pembesar itu sebenarnya saya banyak diam. Untuk sikap saya itu, saya dijuluki “pendengar yang baik”.

Selama ini saya dikenal sebagai penulis obituari (berita tentang kematian seseorang berikut riwayat hidupnya) di surat kabar setempat. Sebagai penulis lepas, mula-mula saya menulis obituari hanya sambil lalu. Karena kematian seorang teman baik yang menjadi tetangga dekat, menyadarkan saya, mengenang lewat tulisan obituari itu mengesankan. Lama-lama saya menulis obituari menjadi semacam panggilan. Cukup menyenangkan. Orang-orang kebanyakan yang mungkin pernah lalu-lalang di depan rumah saya, di sebuah desa yang lengang, yang beberapa hari kemudian dikabarkan meninggal, lalu saya cari alamatnya. Saya interviu keluarganya. Saya catat riwayat hidupnya, pekerjaan terakhirnya, dan berapa orang saudaranya. Obituari yang meliputi orang-orang biasa itu bisa saudara, keluarga, teman, sampai kenalan baru.

Saya bisa memanfaatkan rubrik khusus obituari setiap saat atas kebaikan redaksi koran lokal yang memberi saya kebebasan. Dengan enak saya bisa menulis obituari setiap hari. Pernah kejadian dalam seminggu sepuluh orang. Selama ini tulisan obituari saya sudah mencapai 5.000 orang. Seluruhnya orang- orang biasa, lewat mesin ketik manual yang kemudian berubah ke mesin ketik komputer. Saya menolak ketika diminta menulis obituari orang-orang ternama. Alasan saya, orang-orang terkenal itu sudah banyak penulisnya, sedangkan untuk orang-orang biasa, agaknya hanya saya seorang.

Tulisan obituari itu tidak panjang, sekitar 5.000 karakter. Kadang sampai 8.000 karakter jika orangnya kocak atau punya pekerjaan yang unik. Misalnya, ada seorang tukang becak yang menyerahkan becaknya kepada seorang kepala tibum (penertiban umum) dengan tujuan supaya becaknya dijual untuk mengongkosi sekolah anaknya. Si kepala tibum menolak dengan mengembalikan becaknya sambil mengirim beras 5 kilogram kepada si tukang becak. Ketika beberapa waktu kemudian tukang becak itu meninggal karena faktor usia, saya menulis obituarinya dengan memasukkan wawancara kepala tibum itu.

Ada seorang pegawai negeri yang tidak mau dipensiun karena uang pensiunnya kecil, sementara beban keluarganya besar. Kepala kantor orang itu kebingungan, lalu mencari akal agar bawahannya itu sadar. Masa pensiun pasti datang, sebagaimana kematian itu pasti tiba. Lalu si kepala kantor meminta jasa seorang tukang sulap yang pandai menghipnotis orang. Begitulah. Bawahannya itu lalu dihipnotis hingga tertidur di mejanya. Lalu ia dinaikkan ke dalam mobil, dibawa pulang ke rumahnya. Begitu siuman, ia kaget, kenapa tidur di rumah. Keluarganya memberi tahu, ia seharian di rumah saja, tidak ke mana-mana.

Sejauh ini saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, apa ada yang tertarik membaca obituari saya. Saya yang terus beredar di banyak keluarga yang kematian saudaranya, menyebabkan banyak orang mengenal saya. Barangkali mereka juga membaca obituarinya. Dipasang pula fotonya yang bisa menyebabkan keluarganya tertambat kenangannya.

Lelucon-lelucon pun menyebar dengan semarak di pasar, kompleks pertokoan, ataupun di stasiun bus, yang berkenaan dengan tulisan obituari itu. Banyak komentar. Banyak usulan. Yang jail maupun pelesetan. Dan sebagainya.

“Kenapa kamu tidak lekas mati supaya Pak Jurnalis bisa menulismu sekarang!”

“Biar kamu mati, tak ada yang menulis, meski kamu membayar Pak Jurnalis!”

“Kamu tidak akan mati, sampai kamu menulis riwayatmu sendiri!”

Saya terbahak mendengar lelucon-lelucon itu. Itu semua menyebabkan saya akrab dengan semua orang. Setiap saya lewat atau mampir membeli rokok di kios, selalu saja orang nyeletuk: “Pak Jurnalis. Saya nggak mau ditulis sekarang.” Atau ada yang berteriak: “Pak Jurnalis. Ntar saya yang menulis Bapak.”

Tapi, ada saja orang yang enggan bertemu atau lebih-lebih ngobrol dengan saya. Ada yang bilang, seseorang yang ngobrol dengan saya, ada yang mengartikan, saya sedang mewawancarainya. Sementara itu ada pula yang bilang, jika seseorang ngobrol dengan saya, itu tanda-tanda orang tersebut mau meninggal. Wah, ini bahaya. Memang ada seorang yang sehabis ngobrol dengan saya, ia meninggal. Tapi ini kebetulan saja. Dari kejadian itu, saya mendapat sebutan yang aneh-aneh, yang saya malas menuliskan sebutan-sebutan itu di sini. Maka ada saja orang yang anti-saya. Ini benar-benar klenik.

“Pak, tinggal di mana?” tanya saya kepada seseorang yang saya pinjami korek api untuk menyalakan rokok saya.

“Maaf, Pak Jurnalis. Saya tak bisa menjawab,” jawabnya.

“Lho, kenapa?”

“Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa.”

“Baiklah, Pak.”

“Saya permisi, Pak.”

“Jangan ditinggal korek apinya ini.”

“Biar untuk Bapak saja.”

“Lho, kenapa?”

“Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa.”

Inilah sepenggal dialog di pasar sepeda motor dengan seseorang yang enggan bertegur sapa dengan saya karena keyakinan-keyakinan klenik itu. Keterlaluan.

Jadinya lama-kelamaan saya enggan menyapa orang. Saya jadi pendiam dan menyendiri. Di pertemuan-pertemuan desa, saya juga diam dan menyendiri supaya orang nyaman dengan saya. Ketika orang menanyakan pendapat saya, sedikit saja saya ngomong. Lalu malah terjadi serba-salah. Banyak ngomong dianggap meramal, sedikit ngomong dianggap mengetahui peristiwa yang bakal terjadi. Ketika di sebuah toko saya menghindar supaya tidak bertemu dengan seseorang, orang tersebut malah mengejar saya sambil menyapa: “Bapak menghindar dari saya. Apa yang akan terjadi dengan saya, Pak?”

Istri dan anak-anak saya juga merasakan perubahan itu. Ada yang berubah dengan tingkah-laku saya, katanya. Apa ada gejala sesuatu? Tentu saja saya merasa tidak berubah dengan tingkah-laku saya. Saya juga tidak tahu adanya gejala sesuatu. Memangnya saya cenayang. Anak-anak saya, lima orang, terutama si sulung yang duduk di SMA kelas 2, dan si bungsu di SD kelas 5, yang paling kritis. Keduanya cencala (lancang mulut) terhadap sikap saya dalam menulis obituari. Kritiknya tidak berdasar. Menurut mereka, tulisan saya tidak adil terhadap seseorang dan berlebihan bagi yang lain. Jika sampai di sini hal itu masih baik. Tetapi jika sudah menyangkut masalah dosa dan pahala, wah, anak-anak ini sok tahu. Seolah-olah anak-anak ini cukup rajin membaca buku-buku agama. Pernah saya menyergah anak-anak saya itu:

“Dari mana kalian tahu, sebuah tulisan berdosa dan tulisan yang lain berpahala?”

“Dari Ayah,” jawab anak-anak itu.

“Kalian ngawur.”

“Ayah marah kena keritik.”

“Karena keritik kalian membawa-bawa dosa dan pahala.”

“Boleh saja, kan.”

“Tidak bisa seenaknya begitu.”

“Semua orang bicara dosa dan pahala.”

“Dalam hubungan apa orang bicara seperti itu.”

“Semuanya.”

“Nah, kalian ngawur.”

“Begini. Ayah pernah menulis obituari. Boleh jadi Allah sudah membuatkan rumah baginya di surga. Nah, ini dosa, karena Ayah memaksa Allah membuatkan rumah baginya di surga.”

“Itu harapan saya. Itu doa saya. Itulah usaha sebaik-baiknya seorang penulis obituari,” jawab saya.

“Ayah juga pernah menulis obituari seorang pengusaha. Ia meninggalkan seorang istri dengan empat orang anak. Nah, ini pahala bagi Ayah karena Ayah menyembunyikan tiga istrinya dan anak-anaknya yang lain.”

“Nah, itu justru kesalahan saya dan saya bisa berdosa karena tidak menulis tiga istri dan anak-anaknya yang lain. Hal itu berarti saya tidak menganggap ada dan penting keberadaan mereka. Mereka bisa tersinggung dan bukan tidak mungkin merasa saya lecehkan.”

Mendengar keterangan saya, anak-anak saya itu diam. Saya sering lelah berdebat dengan anak- anak saya tersebut. Mereka suka ngotot dan merasa selalu benar. Padahal saya selalu bilang, kekuatan itu ada batasnya sehingga kita tidak selalu benar. Sebagai ayah, saya mendidik anak-anak saya itu dengan keras. Barangkali karena beban keluarga yang terlalu berat. Lima anak semuanya sekolah, sedang rakus-rakusnya makan, itu semua yang menyebabkan saya sering stres dan mengalami depresi yang tajam.

Kami sebenarnya keluarga bahagia. Penghasilan saya tentu saja jauh dari cukup. Istri saya guru SMP, sedangkan saya sejak remaja penulis lepas, yang untuk makan sehari-harinya saja suka empot-empotan. Saya menulis apa saja, termasuk menulis berita. Di Jogja itulah sejarah saya bermula ketika saya kecantol putri Aceh yang kuliah di UGM. Kami menikah dan pindah ke Aceh dengan gagah berani karena cuma berbekal baju yang kami pakai. Anak-anak mewarisi sifat-sifat ibunya, cerdas dan berani.

Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa?

Setelah sarapan, dengan malas saya keluar rumah dan duduk di beranda. Barangkali seperti agen minyak tanah yang siap menyambut para pembeli, saya menyiapkan kertas dan alat tulis. Hari baru membuka matanya. Bahkan matahari masih bergelut dengan kasurnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.00. Orang-orang yang antre tidak sabar seperti mendengar aum macan, merangsek ke depan meja saya. Orang sekian banyak mau ngajak ngobrol apa? Tentang kesulitan hidup? Beras habis dan anak-anak menangis kelaparan? Orang sebanyak ini mau ngobrol sekaligus?

Mata mereka nanar. Gerakan bola mata yang cepat tanpa disengaja, di luar kemauan, nistagmus, mereka menatap kebenaran, mencecap pencerahan. Alhamdulillah. Mereka berebut duluan menyerahkan selembar kertas di atas meja sehingga sekejap bertumpuk, berserak, lalu semuanya bergegas pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata diucapkan. Lembaran-lembaran apakah ini? Ternyata riwayat hidup dengan tanggal lahir dan masya Allah…tanggal akhir hayat, Ahad, 26 Desember 2004.

Ketika saya menuruni bukit dengan sempoyongan penuh lumpur, entah bagaimana saya bisa sampai di bukit ini, terlihat pemandangan yang menyebabkan saya pingsan. Entah berapa lama saya pingsan. Waktu saya siuman, seluruh kota telah hancur-lebur rata dengan tanah. Mayat-mayat berkaparan di seluruh kawasan. Mayat-mayat itu lebih mengesankan sedang tidur pulas. Seluruh mayat itu, laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, bayi, diselimuti lumpur, berserakan memenuhi ruang dan udara, di reruntuhan rumah, di pekarangan, di kebun, di jalan, di atas pohon. Tak ada tanda-tanda kehidupan secuil pun. Bahkan burung-burung, tak seekor pun tampak terbang. Saya tak tahu lagi di mana rumah saya.

Cuaca cerah. Sinar matahari memancar, panas. Awan putih berarak dengan latar langit biru meneduhkan. Saya berdiri sendirian di samping sebuah kapal yang terdampar di tengah kota.

Tangerang, 20 Januari 2005.

Posting Komentar untuk "Nistagmus | Cerpen Danarto"