Iklan Atas

Blogger Jateng

Pasukan Gajah | Cerpen A Zakky Zulhazmi




Aku tiba di sebuah kota kecil yang sepi. Saat itu masih pagi. Aku turun dari kereta dan bertemu penjemputku, seorang lelaki berambut cepak. Ia membawaku ke sebuah penginapan kecil dan meninggalkanku. Ia mengatakan akan menjemputku siang nanti.

Sekilas aku mendapat kesan penginapan itu adalah rumah tua yang disulap menjadi penginapan. Bagian depan penginapan dipenuhi pohon-pohon rimbun. Begitu teduh dan tenang. Aku masuk kamar dan sedikit takjub, betapa rapi dan bersih kamar ini. Aku mengira penginapan kecil ini akan mengecewakan. Rupanya aku keliru. Terbayang hari-hari menyenangkan tinggal di penginapan ini, merampungkan tugasku.

Setelah mandi, aku keluar kamar dan melihatlihat sekitar. Terdengar suara gemericik air di kolam di bagian belakang penginapan. Di kanan-kiri kolam tumbuh pohon-pohon rindang. Tak jauh dari kolam ada tempat makan kecil. Seseorang duduk mencakung di balik meja kasir.

Aku mendekati, lalu memesan nasi goreng dan secangkir kopi. Kukira dua menu itu pasti tersedia di penginapan mana pun. Laki-laki di balik meja kasir itu mengangguk, lalu bangkit dan mulai memasak. Aku menunggu sambil meresapi betapa sunyi suasana pagi di penginapan ini.

Pesananku datang. Ketika suapan pertama nasi goreng masuk mulut dan menyentuh lidahku, aku meyakini pembuat nasi goreng ini seorang koki pilih tanding. Rasanya aku ingin pelan-pelan mengunyah dan menghabiskan nasi goreng di hadapanku. Dan ketika sesapan pertama kopi, kutahu selera mereka memilih dan menyajikan kopi sama sekali tak buruk. Aku sudah bisa menduga saat aroma kopi mengusikku ketika cangkir ditaruh di meja. Untuk yang satu ini aku bisa berlamalama menikmati.

Selesai bersantap aku mengambil koran yang tergeletak di salah satu meja. Tak ada pengunjung kantin selain aku. Jadi kukira koran ini adalah koran yang dilanggan penginapan. Nyaris tak ada kusut di koran itu. Pertanda belum banyak tangan yang menjamah.

Kunikmati kopi sambil membaca koran. Sebuah berita mengusikku. Tentang seorang dosen yang ditemukan gantung diri di dalam kelas. Nahas, ini bukan kasus pertama, melainkan kasus ketiga. Aku bergidik membaca berita itu. Pagiku yang damai mendadak terguncang. Kota kecil ini rupanya tak setenang yang kubayangkan.

Belum reda gundahku membaca berita itu, penjemputku datang. Dia meminta aku segera bersiap. Aku berlari kecil ke kamar dan mengambil barang-barang. Tak lama kemudian aku sudah berada dalam mobil yang melaju bersama penjemputku.

“Kita mesti bersiap dengan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi,” kata penjemputku dingin.

“Memang ada apa?”

“Pagi ini dua pemuka agama ditemukan meninggal tak wajar di rumah ibadah masing-masing. Ini bisa memicu konflik. Kalau situasi memburuk, kita kembali ke Ibu Kota hari ini juga.”

Aku terkejut mendengar kabar itu, tapi berusaha tampak tenang.

“Kubaca di koran, tiga dosen ditemukan gantung diri. Mengerikan betul.”

“Menurut hematku, itu suatu rangkaian. Sebelumnya juga ada guru di pelosok meningal tak wajar, tapi luput dari pemberitaan. Kematian pemuka agama ini mungkin puncaknya.”

“Maksudmu?”

“Kau tahu, agama adalah sesuatu yang tak boleh sedikit pun diusik di kota ini. Kematian tak wajar dua pemuka agama akan memancing kemarahan. Atau malah kerusuhan.”

“Artinya, kau berpikir ada aktor di balik kejadian- kejadian ini?”

Pertanyaanku belum terjawab, tiba-tiba kulihat kerumunan orang berjalan cepat dengan tongkat di tangan. Wajah mereka tampak diliputi amarah. Dari sisi berlawanan, ada pula sekumpulan orang dengan parang di tangan. Mendadak ketegangan dan sikap waspada menguasai kami. Posisi mobil yang terjebak lampu merah sungguh tidak menguntungkan. Kami tentu tak ingin terkurung dalam situasi yang bisa lekas jadi buruk itu.

Begitu lampu berwarna hijau, penjemputku langsung tancap gas. Tawuran pecah. Kami nyaris terlambat. Penjemputku sebetulnya ingin langsung membawaku ke stasiun atau melarikan mobil ke luar kota, ke tempat aman, tetapi tak memungkinkan. Ia ambil keputusan lain. Ia belokkan mobil ke sebuah sebuah gedung tua. Sekilas kubaca tulisan di plang dekat gerbang: Perpustakaan Kota.

“Sial, kita terlambat mengantisipasi.”

Aku diam tak menanggapi. Kuatur napas dan menenangkan diri. Sayup-sayup terdengar teriakan. Ada pula benturan benda tumpul. Sesekali suara kaca pecah meningkahi. Penjemputku sibuk menelepon.

Aku sibuk dengan pikiranku. Menyesuaikan diri dengan perubahan suasana yang amat tiba-tiba. Dari kesunyian penginapan yang kutempati sampai tibatiba aku terjebak di sini.

“Kau tidak memberitahuku akan jadi begini,” kataku.

“Kami tidak menduga akan jadi begini. Akan secepat ini.”

Bau ban terbakar menyengat hidung. Asap tampak di beberapa titik. Teriakan bersahutan. Suara sirine meraung-raung. Mungkin polisi datang. Letusan senapan menyusul kemudian.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan di depan Perpustakaan Kota. Tidak terlalu keras, tetapi cukup mengejutkan dan menggentarkan. Penjemputku langsung mengajakku lari menuju bagian belakang gedung perpustakaan. Tampak olehku sebongkah batu melayang menghantam kaca jendela depan perpustakaan. Kami mempertaruhkan keselamatan.

Terbayang olehku wajah anak-istri. Mendadak aku merasa kematian begitu dekat. Ya, kematian bisa datang kapan saja. Sangat mungkin nyawaku hilang di kota kecil yang tak kukenali ini. Mungkin sekali. Namun aku mencoba berpikir jernih: aku pernah mengalami banyak hal buruk, bahkan lebih buruk dari situasi ini, dan aku selamat. Mungkin kali ini akan kuperoleh keberuntungan lain.

Penjemput membawaku ke lantai dua perpustakaan. Menurutnya, itu tempat lebih aman. Belum juga kami sampai di lantai dua, terdengar pekik, “Bakar! Bakar!” Suara itu terasa sangat dekat. Ada pula yang memekikkan nama Tuhan. Aku heran, apa untungnya mereka hendak membakar perpustakaan? Membawa nama Tuhan pula.

Suwung menyergap. Alangkah sunyi perpustakaan. Alangkah sepi perasaan. Jika aku mati di sini, aku bisa terima. Setidaknya aku mati di hadapan buku-buku, di depan tumpukan pengetahuan.

Kesadaranku seperti terenggut saat kudengar suara gemuruh menggetarkan gedung. Kukira ada gempa hebat. Penjemputku setengah memekik memintaku mendekat ke jendela dan menengok apa yang terjadi di luar.

Aku hampir terjengkang saat melihat gerombolan gajah berlarian di jalanan. Berlari, benarbenar berlari. Seperti mengamuk. Orang-orang yang bertikai berhamburan menyelamatkan diri. Berdesakan banyak pertanyaan di kepalaku. Yang paling mendesak: dari mana gajah-gajah itu datang?

Rasanya aku seperti terisap di dunia lain. Aku meragukan kenyataan di hadapanku. Apakah aku bermimpi? Apakah telah lepas nyawa dari ragaku dan kini aku di alam entah? Berkali-kali kutampar pipiku dan masih terasa. Gajah-gajah itu nyata! Bergemuruh. Berderak- derak.

Penjemputku juga tak kalah terkejut. Ia melongo seperti habis melihat hantu pada tengah siang. Sementara gajahgajah terus melintas, berlari, seperti tak habis- habis. Apa saja mereka terjang. Kulihat orangorang yang tak kuat lari, limbung, jatuh dan terinjak. Mobil-mobil ringsek beradu dengan kaki gajah. Orang-orang berteriak, memanggil Tuhan, memohon pertolongan, tapi pasukan gajah tak jua habis. Ya, gajah-gajah itu layaknya pasukan yang masuk gelanggang perang. Meradang, menerjang.

Lalu langit berubah sangat gelap. Hujan lebat seketika turun. Seperti hendak memadamkan api yang para perusuh buat. Seakan ingin mendinginkan segala yang panas. Makin lama hujan kian lebat, bahkan disertai angin. Aku begitu takjub menyaksikan pemandangan di depanku: pasukan gajah berlarian di tengah kota diiringi hujan badai.

Aku sukar menerka apa makna semua itu. Namun mungkin Tuhan sengaja mengirim pasukan gajah untuk melindungi perpustakaan ini dari para pendengki yang ingin membakar.

A Zakky Zulhazmi, lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Cerpennya telah dimuat di Republika, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Joglosemar. Buku kumpulan cerpennya Gula Kawung, Pohon Avokad, dan Cerita Pendek Lainnya (2015). Kini bekerja sebagai dosen di Jurusan KPI IAIN Surakarta.

Posting Komentar untuk "Pasukan Gajah | Cerpen A Zakky Zulhazmi"