Iklan Atas

Blogger Jateng

Mbah Ning | Cerpen Priyo Handoko



Ramadan hari ke-6

Wajah Mbah Ning yang penuh kerutan terlihat murung. Bibirnya terkatup rapat. Tak ada senyum atau percakapan kocak yang biasa disedekahkan Mbah Ning untuk mencairkan suasana. Matanya yang layu semakin kuyu. Meme, istri pemilik warung tempat Mbah Ning biasa menitipkan kue-kue, merasa khawatir. Dia tahu ada sesuatu yang sedang membebani pikiran Mbah Ning. Orang tua itu sudah dianggap seperti ibunya sendiri.

“Ada apa kok dari tadi diam saja Mbah?” tanya Meme. Mbah Ning tersadar dari lamunan. Dalam sekejap, sebaris senyum tipis muncul di bibirnya. Dia merasa sedikit malu sudah tertangkap basah. Mbah Ning sadar tak ada guna menyimpan gundah. Apalagi kepada perempuan berdarah Tionghoa yang sudah dikenalnya sejak perawan itu.

“Lebaran ini anak-anakku tidak bisa pulang lagi,” kata Mbah Ning, kemudian menarik napas panjang. Rina dan Rido, menurut Mbah Ning, semakin pintar mencari alasan. Berdalih ini dan itu. Mulai jatah libur yang sempit, sampai tidak dapat mengambil cuti. Intinya, tidak ada waktu untuk pulang berlebaran di kampung halaman.

“Mereka tidak punya waktu untuk menemuiku! Kerja kok sampai lupa sama orang tua dan saudara,” gerutu Mbah Ning.

Lebaran tahun lalu kedua anaknya juga tidak pulang. Saat itu, Mbah Ning masih bisa memahami. Mereka sudah berkeluarga dan tentunya punya mertua yang juga ingin bertemu. Melepas kangen bersama anak, mantu, dan cucu-cucu. Tapi, Lebaran tahun ini seharusnya menjadi gilirannya.

Sebenarnya kedua anaknya pernah menawarkan pilihan lain. Terserah Mbah Ning hendak berlebaran di mana. Boleh di rumah Rina atau Rido. Tapi, Mbah Ning menolak. Dia tidak mau. Dia hanya ingin salat Id di kampungnya. Tidak ke mana-mana. Dia merasa sangat terikat dengan tanah dan warga kampung ini. Rasanya kurang afdol bila berlebaran di tempat lain.

“Tapi, Lebaran masih lama. Aku masih punya cukup waktu untuk meyakinkan anak-anakku agar pulang kampung,” ucap Mbah Ning dengan pandangan yang agak menerawang.

Meme menganggukkan kepala. “Betul Mbah. Siapa tahu mendekati Lebaran nanti Rina dan Rido bisa ambil prei panjang, terus pulang ke sini,” timpal Meme, berusaha membesarkan hati Mbah Ning.

“Aku pulang dulu, Me. Sudah hampir masuk waktu berbuka.” Sambil berpamitan, Mbah Ning memasukkan cincau hitam utuh yang dibelinya di warung Meme ke wadah kuenya yang sudah kosong. Masih ada waktu untuk mengolahnya menjadi minuman segar. Dia paling suka berbuka puasa dengan es cincau yang dipotong besar-besar.

*****

Semua orang di kampung ini kenal Mbah Ning. Tidak ada pisang goreng, nagasari, dan belebat kacang seenak buatannya. Rahasianya adalah tepung beras yang dipakai sebagai bahan utama. Mbah Ning membuatnya sendiri. Sejak dulu sampai sekarang tetap seperti itu. Dia tidak mau menggantinya dengan tepung beras kiloan di pasar.

Mbah Ning biasanya mulai menumbuk beras selepas asar. Beras yang telah dicuci bersih dan direndam selama beberapa jam itu akan ditumbuknya hingga halus. Entah dari mana asal tenaga perempuan renta itu. Lelah seolah tak lagi menjadi bagian dari dirinya.

Begitu dirasa cukup halus, dia akan mulai mengayaknya dengan cepat. Butiran-butiran tepung pun berguguran seperti hujan. Yang masih kasar dan tidak lulus ayakan dikumpulkan, lalu ditumbuk lagi. Begitu terus berulang-ulang sampai semua lolos dari jaring ayakan.

Dengan tepung itulah Mbah Ning akan melumuri pisang kepok yang kulitnya menguning sebelum menggorengnya sampai berwarna kecokelatan di atas tungku berbahan bakar kayu. Sebagian tepung yang lain diolahnya dengan santan menjadi adonan nagasari dan belebat kacang hijau.

Mbah Ning biasa menitipkan kuenya di warung Meme setiap pagi. Sebelum pukul enam dia sudah mengantarkannya. Namun, selama Ramadan, Mbah Ning mengganti jadwal menjadi sore hari.

*****

Ramadan hari ke-25

Televisi sudah sibuk menayangkan pantauan suasana mudik. Pelabuhan, terminal, bandara, stasiun, jalan tol, semua tampak bersemangat dan sibuk. Mbah Ning sangat suka menontonnya. Dia seperti bisa merasakan kegembiraan orang-orang yang sedang berjuang untuk melaksanakan salat Id di kampung halamannya masing-masing. Mbah Ning kadang ikut tersenyum membayangkan betapa gembiranya pertemuan antarkeluarga dan sanak saudara setelah berpisah puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan hari itu.

Mbah Ning baru saja beberapa langkah meninggalkan warung Meme saat Pak RT bersama seorang pemuda datang menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Dada keduanya naik turun. “Untunglah, Mbah Ning ternyata di sini,” seru Pak RT sambil menata napas. Ada sekeping lega menyusul prihatin menggurat di wajahnya.

“Mbah jangan kaget ya. Yang namanya musibah bisa datang sewaktu-waktu,’’ ucap Pak RT. Mbah Ning diam saja. Beberapa warga lain ikut berkerumun. Termasuk Meme dan suaminya. Aura ketegangan membungkus rapat udara di sekitar mereka.

“Sabar ya, Mbah Ning. Yang penting Mbah selamat. Sehat wal afiat,” lanjut Pak RT.

“Ada apa, Pak RT?” potong Meme, tak sabar.

“Rumah Mbah, Me. Rumah Mbah terbakar,” jawab pria yang sehari-hari mengajar SD itu. Dia mengucapkannya perlahan sambil memegang tangan Mbah Ning.

Semua spontan melihat ke arah langit barat. Suami Meme dan beberapa pria yang tadinya ikut berkerumun langsung mengambil ember dari rumahnya masing-masing dan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah Mbah Ning. “Warga sudah berupaya memadamkan api,” seru Pak RT.

Mbah Ning tampak tertegun beberapa saat. Meme terus mengelus punggungnya. “Aku mau melihat rumahku.” Tiba-tiba Mbah Ning membuka suara. Pak RT dan Meme terlihat khawatir. Mereka menyangka Mbah Ning akan shock berat. “Sekarang Mbah Ning istirahat di rumah saya saja,” cegah Meme dengan suara parau. Pak RT mendukung usul itu.

“Aku enggak apa-apa. Kalian tenang saja. Dulu aku pernah mengalami kejadian seperti ini. Dulu, di kampungku yang lama, rumahku juga habis terbakar. Saat itu malah tak ada seorang pun yang datang menolong,” tutur Mbah Ning. Matanya terlihat berkaca-kaca.

Meme dan Pak RT tahu keinginan Mbah Ning tidak bisa ditahan lagi. Mereka pun mengalah membiarkan Mbah Ning pulang untuk melihat rumahnya yang dilamun api. Meme dan Pak RT terus menemani orang tua malang itu.

Sesampainya di depan rumah yang terbakar, Mbah Ning terlihat sangat tenang. Dia tidak berteriak histeris sambil berguling-guling di tanah atau berlarian ke sana-kemari. Hanya air mata yang membasahi pipinya yang keriput. Tepat saat azan magrib berkumandang, puluhan warga yang tadinya berjibaku melawan api mematung lesu penuh penyesalan. Api memang berhasil dipadamkan. Tapi, tidak ada yang tersisa. Semua telanjur menghitam arang. Warga menduga api berasal dari sisa bara di sekitar tungku yang entah bagaimana caranya terbang menyambar dinding rumah.

“Sudah waktunya berbuka puasa ya?” ujar Mbah Ning memecah kebekuan. Dia tersenyum! Ya, Mbah Ning tersenyum. Tak ada lagi air mata yang bercucuran. Warga takjub dengan ketabahan hati Mbah Ning. Beberapa di antaranya langsung berebutan menawari Mbah Ning untuk berbuka puasa di rumah mereka. Tak terkecuali Pak RT dan Meme.

*****

Mbah Ning sudah menjanda sejak lama. Tidak ada warga yang tahu apakah Mbah Ning ditinggal mati, minggat, atau kawin lagi oleh suaminya. Dia pindah ke kampung ini tak lama setelah meletus rusuh politik yang mencekam puluhan tahun lalu. Saat itu Mbah Ning datang bertiga bersama dua anaknya yang saat itu masih balita, Rina dan Rido. Ketiganya mendiami rumah kontrakan yang reyot berlantai tanah.

Seperti ada kesepakatan tak tertulis, warga kampung memilih untuk tidak mencampuri atau mengorek kisah Mbah Ning. Termasuk, perihal suaminya. Apalagi, Mbah Ning sendiri seolah ingin melupakannya. Membiarkan kisah pahit hidupnya dibawa pergi angin semilir. Ketika beberapa pria kampung datang melamar, Mbah Ning menolak dengan halus. Tapi, itu cerita puluhan tahun lalu, saat kulit Mbah Ning masih kuning singset.

Untuk menghidupi keluarga kecilnya, Mbah Ning berkeliling jualan gado-gado. Belakangan dia juga menjual pisang goreng. Ternyata ini lebih laku. Bahkan, sangat banyak peminatnya. Lama-kelamaan Mbah Ning tidak lagi membuat gado-gado. Dia hanya menjual pisang goreng, lalu ditambah nagasari dan belebat kacang hijau yang tak kalah enaknya.

Dari hasil berjualan kue itulah sedikit demi sedikit Mbah Ning menabung. Bukan menabung di bank, melainkan di dalam celengan bambu petung miliknya. Ada juga yang diselipkan di balik kasur dan lemari pakaian. Meski zaman terus bergerak, kebiasaan itu tidak pernah berubah. Dia tidak pernah mau membuka rekening bank. Bagi Mbah Ning, bank adalah rumah bagi orang-orang yang bersekolah tinggi, mendapatkan gaji bulanan, dan punya uang setumpuk.

Mbah Ning tidak lulus sekolah rakyat. Namun, dia berhasil menyekolahkan kedua anaknya sampai menyandang gelar sarjana. Anak perempuannya sekarang menjadi sekretaris yayasan yang membawahi belasan PAUD dan TK swasta di Jakarta. Si bungsu yang laki-laki menjadi kepala HRD perusahaan rokok yang mempekerjakan lebih dari tiga ribu buruh linting di Jawa Timur.

Masing-masing sudah berkeluarga. Rina mempunyai dua anak, sedangkan Rido beranak tiga. Mereka menetap di kota yang jaraknya jauh sekali dari kampung ibunya. Meskipun anak-anaknya sukses, Mbah Ning tidak mau ikut tinggal bersama mereka. Dia enggan meninggalkan kampung halamannya.

“Aku sudah merasa tenang di sini,” ucap Mbah Ning kepada pelanggan kuenya yang bertanya. Selain itu, dia ingin bisa terus berjualan kue. Kalau ikut anak-anaknya, dia pasti dilarang mengerjakan apa pun. Bahkan, sekadar memasak atau bersih-bersih rumah. “Padahal badanku rasanya remuk kalau tidak dibuat gerak,” katanya.

Rina dan Rido bukan anak durhaka yang tidak memperhatikan kehidupan Mbah Ning. Sebaliknya, mereka telah mendirikan rumah bertembok bata untuk ibunya. Lantainya keramik dengan kamar mandi dan WC di dalam rumah. Rumah tersebut hanya berjarak 100 meter dari rumah lama. Tapi, Mbah Ning malas mendiaminya. Dia lebih suka rumah lama yang berdinding kayu dan berlantai semen kasar.

Mbah Ning hanya membuka jendela-jendela rumah tembok itu setiap pagi dan menutupnya menjelang magrib. Seminggu tiga kali, dia sempatkan untuk menyapu lantainya yang berwarna biru berkilauan. “Enak’an di rumah kayu. Adem,” kata Mbah Ning kepada pelanggannya yang lain. Jawaban semacam itu selalu diulang-ulang setiap ada yang menanyakannya. Banyak yang heran dengan laku hidup Mbah Ning. Tapi, dia bergeming.

Mbah Ning juga sudah naik haji. Setelah mengantre lebih dari tujuh tahun, dia berangkat ke tanah suci sekitar empat tahun lalu. Anak-anaknya bersepakat untuk urunan—setelah awalnya sempat berebutan—melunasi ongkos berhaji yang sudah mulai dicicil sendiri oleh Mbah Ning. Ada jamaah yang berkisah, Mbah Ning yang sudah setua itu mengelilingi kakbah dengan penuh semangat.

*****

Lebaran hari pertama

Gamis bermotif bunga membuat wajah Mbah Ning yang cerah tampak sempurna. Senyum Mbah Ning terus merekah saat membagi-bagikan uang kepada kelima cucu dan anak-anak kampung yang datang silih berganti di rumahnya.

Rina dan Rido akhirnya berlebaran di rumah ibunya. Begitu menerima kabar rumah lama ibunya terbakar, kakak beradik itu langsung membeli tiket pesawat untuk pulang.

Dari Pak RT, mereka mendapatkan sepenggal cerita. Mbah Ning, kata Pak RT, seperti punya ilmu weruh sak durunge winarah (tahu kejadian yang akan terjadi). Meski rumah itu habis terbakar, sebagian barang ternyata masih utuh. Ada belasan pakaian, termasuk yang baru dibeli untuk berlebaran, foto-foto keluarga, mukena, sajadah, dan tasbih kayu kokka yang dibelinya di Makkah, puluhan gelas dan piring tua, televisi, kursi dan meja antik dari kayu jati, serta lesung dan alu yang biasa digunakan Mbah Ning untuk menumbuk beras. Semua masih utuh, karena Mbah Ning sudah memindahkannya ke rumah yang baru.

Mbah Ning memboyong barang-barang itu seminggu sebelum rumahnya terbakar. “Tak ada warga yang tahu. Kalau tahu, pasti kami bantu,” ucap Pak RT.

Untuk memindahkan lesung, beberapa perabotan, dan televisi yang berat, Mbah Ning diam-diam hanya meminta bantuan dua anak tetangga. Mbah Ning seolah tahu musibah sedang dalam perjalanan menghampirinya. Tapi, dia juga tidak serakah. Beberapa perabotan tua, seperti tempat tidur dan lemari, tetap dibiarkannya menghuni rumah lama. Mbah Ning seperti sengaja menyisakan “jamuan” agar dilalap api.

Dari Meme, Rina dan Rido mendapat kepingan cerita lain. Ini cerita tentang nasib uang simpanan Mbah Ning. Uang itu rupanya juga aman. Menurut Meme, sebagian besar uang hasil berjualan kue dan uang bulanan yang dikirimkan Rina dan Rido, telah dititipkan kepada dirinya. Waktunya juga sekitar seminggu sebelum kebakaran terjadi. Sebelumnya, uang tabungan Mbah Ning tersebar di bawah kasur, lemari pakaian, dan celengan bambu petung di salah satu sudut kamar. Jumlahnya lumayan banyak. Cukup untuk membawa Mbah Ning naik haji lagi.

Benarkah Mbah Ning punya ilmu weruh sak durunge winarah? Rina dan Rido benar-benar menyangsikan itu. Mereka kenal ibunya. Keduanya merasa ada skenario penuh pengorbanan yang disusun dan berhasil dimainkan oleh ibunya dengan sangat rapi. Skenario yang membuat mereka sekeluarga kini bisa berlebaran bersama di rumah baru. Dengan mata berkaca-kaca, Rina dan Rido beberapa kali mencuri pandang ibunya. Orang tua itu masih sibuk membagikan uang kepada anak-anak kampung yang terus berdatangan. Wajahnya tampak bahagia. Senyumnya merekah. Senyum kemenangan. ***

Priyo Handoko, mantan wartawan Jawa Pos (2006-2018). Kini menjadi komisioner KPU Provinsi Kepulauan Riau, kampung halamannya.

Posting Komentar untuk "Mbah Ning | Cerpen Priyo Handoko"