Iklan Atas

Blogger Jateng

Musnahnya Hutan Larangan | Cerpen Bahagia


Aku sungguh sedih hari ini. Sebab, Hutan Larangan dan Lubuk Larangan sudah mulai habis dijadikan kebun dan ladang serta perkampungan baru. Kawasan Larangan termasuk warisan nenek moyang kita tempo dulu. Hutan Larangan ini sebagai daerah penyangga pada hulu sungai sehingga air hujan tidak penuh masuk ke sungai.

Lubuk Larangan yang dalam itu sebagai penampung alami kala hujan tiba begitu deras. Entah mengapa, warga di kampung ini malah menyebut-nyebut Hutan Larangan dan Lubuk Larangan sebagai kawasan pemujaan kepada setan-setan.

“Begitulah,” kata Pak Madzkur kepada Rahmat.

“Iya, aku sudah mendengar berita ini sehingga orang-orang kampung sepakat merusak hutan rimba dan memburu hewanhewan liar di atas gunung. Aku tahu, kalau engkau tidak tega melihat dua orang tetangga kita terkubur hidup-hidup di tepi lereng pegunungan. Aku sendiri menyaksikan, hewan-hewan terjun ke sungai besar di Lubuk Larangan dan dimakan buaya besar.”

Rahmat meneruskan curhatnya. “Fakta itu mengerikan bagiku. Meskipun demikian, aku melihat teman-teman tetangga kita tetap memperluas kebun jahe dan kebun kubis mereka pada kawasan larangan. Madzkur, engkau harus sabar atas tudingan kepada nenek dan kakekmu. Aku tahu, engkau tidak terima kalau engkau dikatakan pemuja setan. Padahal, hutan itu termasuk hutan penyangga kehidupan sehingga kakekmu dulu membuat aturan, kalau hutan itu tidak boleh dirusak.”

Aturan yang disebut Rahmat itu pernah dibawa saat rapat adat kampung. Alhasil, tidak satu orang pun berani melanggar. Pada zaman itu, baik Pak Madzkur maupun Rahmat masih kanak-kanak. Salah satu poin aturan itu paling ketat. Yaitu, setiap orang tidak diperkenankan untuk mengambil satu pohon pun, ikan dan udang pada lubuk. Tidak boleh juga sembarangan bisa diambil. Rotan di hutan juga harus izin dulu kepada Datuk Labiah, yang adalah kakek Pak Madzkur.

“Aku ingat sekali waktu itu pernah terjadi banjir besar dan longsor sehingga menghilangkan kebun dan satu buah desa di desa sebelah,” ujar Rahmat.

“Kalau begitu, engkau masuk dulu ke pendopo rumah. Mari kita masuk,” kata Pak Madzkur.

Sebelumnya, mereka berbincangbincang di depan halaman rumah. Kebetulan, Pak Rahmat adalah tetangga depan rumah Pak Madzkur. Percakapan mereka berlanjut hingga membicarakan tentang hutan larangan.

Bagi Pak Madzkur, kerusakan Hutan Larangan sulit dihentikan karena dia sendiri tidak memiliki tanah tersebut. Kawasan itu tergolong wakaf hutan pada zaman Datuk Labiah.

Pak Rahmat juga bilang, kalau setiap musim hujan, korban jiwa tidak bisa di hindarkan pada wilayah tersebut. Mendengar itu, Pak Rahmat semakin prihatin, sedangkan warga telah kehilangan mata pencaharian.

Mereka lebih suka menebang pohon kemudian dijual langsung. Lagi pula, harga satu batang kayu dewasa—seperti kayu laban—sangat tinggi. Masyarakat berbondong-bondong menebang pohon jelutung, rengas, dan sialang.

Seluruh pohon itu memang tumbuh subur pada Hutan Larangan. Sebab, pohon sudah berumur lebih dari 80 tahun tidak pernah dirusak.

Sekitar setengah jam perbincangan mereka, Pak Dadan datang melaporkan kembali, telah ada hewan ternak warga yang dimangsa ular piton besar—berukuran panjang tujuh meter. Mereka berbincang-bincang sambil mata memerah karena selalu dapat kabar berita memilukan. Kalau tidak warga tertimbun, ternak dimakan hewan liar.

Pak Rahmat dan Pak Madzkur lebih terkejut lagi. Ketika Pak Dadan bilang, kalau ditemukan pula ceceran tulang-belulang manusia, mulai dari tulang kaki, tangan, tengkorak. Semua rusak. Bercak darah pun berceceran di sekitarnya. Beberapa warga sempat mengikuti ke mana arah dari tulang-belulang itu sehingga diketahui, pelaku kejahatan itu: harimau buas. Wajah Pak Madzkur memerah. Matanya mulai berair akibat mendengar cerita sedih yang menusuk ke dalam jiwa.

Pak Madzkur menyuruh Pak Dadan agar berhenti bercerita. Sebab, dia tak mampu mendengar lagi. Dia telah membayangkan bagaimana rasa sakit ketika nyawa hilang akibat dikunyah hewan.

Kata Pak Rahmat, “Kadang, kita bersedih begitu jauh, tetapi kadang kita lupa kalau akar persoalan berada pada manusia.”

Alam tidak marah, tetapi juga jangan dirusak. Sebab, ada makhluk hidup yang bergantung kepada alam, termasuk hewan-hewan liar. Habitat mereka telah rusak akibat berjejer kebun kubis dan perkampungan.

Pada akhirnya, rusa dan kancil serta kera ekor panjang pergi menjauh. Sementara, hewan seperti ular dan harimau butuh daging. Jadi, manusia disantap sebagai pengganti hewan liar.

“Iya, aku setuju,” kata Pak Dadan sembari menengok kepada Pak Madzkur.

“Warga memang kesulitan hidup saat ini sehingga tanpa berpikir panjang mereka sepakat untuk membuka kawasan hutan. Aku juga melihat warga telah mulai berani mengambil labi-labi, udang galah, dan ikan baung dari Lubuk Larangan,” cerita Pak Dadan.

“Padahal, kita memiliki dua aturan, yaitu aturan agama dan adat untuk mengelola sumber daya alam. Agama dijadikan oleh nenek moyang kita agar kita selalu menjaga hutan. Sebab menjaga alam itu ibadah. Sedangkan pada aturan adat, seluruh isi Hutan dan Lubuk Larangan harus izin dulu kepada ketua adat saat ingin mengambil manfaat,” kata Dadan meneruskan keluh kesahnya.

“Entah kenapa warga tidak izin kepadamu lagi, Pak Madzkur. Aku yakin, engkau orang baik. Orang kampung telah terprovokasi oleh provokator kalau hutan itu tempat memuja. Jadi, akar masalah terletak kepada Hutan Larangan dan Lubuk Larangan ditemukan berbagai jenis sesambahan kepada alam. Semua dikaitkan dengan mistis. Jadi, orang kampung sangat marah dan menganggap engkau sebagai ketua adat mengizinkan,” cergah Pak Rahmat.

Mendengar itu, Pak Madzkur diam sejenak.

“Tetapi … tetapi apa?” Pak Madzkur tiba-tiba melonjak, “Sekarang, warga telah berubah pikiran, tidak lagi memikirkan itu sebab provokator telah tertangkap oleh warga. Hanya saja, sekarang mereka berpikir, hutan bernilai secara materialistik. Apalagi, harga rotan sangat tinggi saat ini. Rupanya, di Hutan Larangan juga ada sarang lebah besar. Hampir setiap pohon sialang ada sarang lebahnya. Mereka berlomba-lomba mengambil madu untuk dijual.”

“Harga madu cukup tinggi dan tokeh pembeli rotan telah berdatangan ke kampung kita. Jadi, sekarang kita bersedih melihat hutan rotan rusak, tetapi wargamu telah bahagia karena mereka mendapatkan berkah dari kawasan larangan. Aku melaporkan ini kepadamu karena engkau jarang pergi ke kawasan larangan,” katanya lagi.

“Kalau sekarang, apa rencana kita?” tanya Pak Rahmat, “Bagaimana kalau esok hari kita kumpulkan seluruh petinggi adat?”

***

Semua akhirnya membubarkan diri tanpa minum kopi atau teh pada pagi hari itu. Diskusi itu sangat serius sampai-sampai Pak Madzkur lupa kalau tamu tidak diberi minum apa pun. Ketika itu, istri dan keluarganya sedang bertandang selama sepekan di rumah mertuanya. Jadi, tidak ada yang melayani. Pertemuan akhirnya dilanjut esok hari di Balai Desa.

Baru saja seluruh pemimpin adat tiba, tampak kepulan asap menusuk hidung. Semua berlari menuju asap-asap itu. Terlihat dari kejauhan, kobaran api begitu ganas melahap seluruh hutan. Hanya dalam dua jam saja, hutan seluas 30 hektare itu hangus terbakar. Bukit asap gundul tampak dari jarak jauh. Seluruh pemangku adat menatap pemandangan itu dengan begitu sedih. Sebab, bencana sudah bisa dibayangkan akan tiba. Allah memang mengirimkan bencana kepada manusia untuk menguji iman.

Meskipun begitu, manusia jangan pula merusak alam sehingga menambah kejadian bencana. Seluruh pemangku adat sudah pasrah. Sebab, mereka juga tidak bisa melarang masyarakat yang sudah mulai jatuh miskin.

Masyarakat butuh kehidupan, termasuk kebutuhan paling pokok, seperti beras, belanja anak sekolah, dan lain-lain.

Tiba-tiba datang pula Pak Hilmi. Dia salah satu orang kepercayaan tetua adat. Dia boleh disebut sebagai intel kalau di kepolisian.

Begitu sampai di Balai Adat Desa, dia menceritakan kabar buruk tersebut. Hutan Larangan rupanya sudah dijual tanpa sepengetahuan adat. Perusahaan besar kebun telah membeli sehingga hutan dirambah. Pohon-pohon berukuran besar diambil, diangkat pakai truk besar dan alat berat. Seluruh pekerja dari kampung desa.

Mendengar itu, Pak Madzkur marah besar, tetapi tidak mungkin dia melaporkan hal ini kepada polisi. Dia juga tidak mungkin memanjarakan orang kampung sendiri.

Apalagi, mereka sama-sama dari semenjak kanak-kanak berada di kampung tersebut. Rupanya, pertemuan tidak lagi perlu, begitu Pak Madzkur membatin.

Pak Rahmat tahu betul, kalau acara tidak lagi dilanjut sebagai tanda pemimpin telah marah besar. Semua orang bubar.

***

Sepekan setelah kejadian itu, Pak Madzkur berjalan di perkampungan. Orang-orang menatap dia sangat sinis. Seperti bukan lagi seorang pemimpin yang diakui. Kadang, ada yang terang-terangan memperlihatkan hasil uang yang diperoleh dari menjual kayu besar. Ada pula yang pamer mobil baru. Sementara, pemimpin adat itu berjalan kaki. Itulah kebiasaannya kalau tidak pakai sepeda motor keluaran tahun 1970.

Pak Madzkur sambil berdoa di dalam hatinya. Dia berharap kampung ini tetap diberkahi oleh Allah. Dia takut sekali kejadian cinta dunia berujung kepada musibah. Pak Madzkur pergi sendirian melihat lahan yang nanti ditanami kebun kubis oleh perusahaan. Dia menangis melihat keindahan gunung dan bukit telah berubah menjadi bedengan-bedengan yang berundak-undak dari atas hingga kaki pegunungan. Lahan itu sudah siap ditanami bibit kubis. Dia langsung ingat ketika dirinya masih kecil, banjir dan longsor pernah melenyapkan kampung ini.

Semua tidak lain karena air hujan dari atas bukit tidak lagi tertahan oleh akar pepohonan. Air seperti terjun bebas menjadi sungai-sungai baru yang menakutkan bagi manusia. Waktu itu, dia masih ingat, bergema teriakan-teriakan “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Ada pula lolongan minta tolong di mana-mana. Hanya dalam waktu beberapa menit, seluruh orang terkubur pada kawasan desa. Sungguh, dia takut kejadian itu berulang.

Kemudian dia menipiskan lagi bayangan muram itu dari benaknya. Sebab, apa-apa yang dipersepsikan bisa terjadi pula pada zaman kini. Dia melihat, warga masih banyak berada di bawah kaki bukit, di pinggir sungai, di gunung-gunung gundul.

Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana teriakan warga ketika harus mati tertelan lumpur dan air bah. Tragedi yang sangat menakutkan.

Setelah itu, dia pulang ke rumah. Waktu sudah hampir sore. Dia mengajak seluruh kerabat agar berdoa di surau tua.

Tujuannya, meminta kepada Allah agar musim penghujan tidak menjadi bencana longsor. Secara ilmiah, kalau kondisi geografis berbukit dan bergunung tanpa pohon, tentunya akan rawan longsor. Apalagi, rumah-rumah di perkampungan tidak bertempat pada lahan datar. Semua pada kawasan bergunung dan berbukit.

***

Musim hujan pun tiba. Petir menggelegar dan menggaung mengenai lekuk-lekuk lubang pegunungan.

Awan hitam pekat sudah mulai berada di atas perkampungan tersebut. Para pemimpin adat hanya berdoa kepada Allah agar tidak terjadi bencana. Cuaca kemudian terang lagi. Sebab, angin terlalu kencang sehingga butiran hujan jatuh pada kawasan bentang lahan datar pada desa lain.

Kabar banjir tersiar pula di media surat kabar. Pak Rahmat sebagai tokoh adat— selain Pak Madzkur—memberanikan diri untuk khutbah Jumat. Dia angkat topik tentang bencana ekologis.

Pak Rahmat sengaja membuat warga tersadar. Bilamana kampung mereka terdampak hujan lebat, maka tempat ini akan tinggal sejarah saja. Kawasan datar saja banjir besar, apalagi kawasan tidak rata lagi berbukit-bukit?

***

Pada saat musim penghujan, rupanya ada anak Pak Rahmat yang sekolah pada Fakultas Geografi. Dia bilang kepada ayahnya kalau lingkungan itu bisa dimodifikasi dengan teknologi. Umpamanya, hujan bisa dipindahkan ke tempat lain. Mendengar itu, Pak Rahmat datang ke rumah Pak Madzkur dan rumah Pak Hilmi.

Mereka punya ide. Datangi pihak kebencanaan agar mau menyebarkan zat-zat di alam bebas untuk menghalau hujan.

Mereka berangkat ke pusat kota untuk menemui para ahli. Sesampainya di lokasi tujuan, mereka memohon kepada aparat agar zat yang bisa memindahkan hujan disebar ke desa itu.

Pihak kantor kebencanaan kota mau menyebarkan itu pada wilayah mereka.

Meskipun demikian, hewan liar akhirnya masuk ke kebun kubis pada kawasan larangan. Gajah juga sempat terperangkap di Lubuk Larangan. Warga ramai-ramai mengevakuasi gajah dari lubuk tersebut. Sebab, hewan itu tidak bisa lagi keluar.

Waktu itu, Pak Rahmat bilang kepada warga. Mereka telah bekerja sama untuk memindahkan hujan. Kini, mereka memohon kepada warga agar mengembalikan uang hasil penjualan hutan larangan. Entah kenapa—mungkin karena rasa takut akan kematian oleh bencana—seluruh warga yang terlibat mengembalikan uang kepada perusahaan.

Hutan dan Lubuk Larangan kembali direstorasi sebagai kawasan penyangga. Bencana yang menakutkan seperti bayangan pemimpin adat tidak pula terealisasi. Meskipun begitu, Hutan Larangan tidak mungkin kembali. Sebab, jenis kayu-kayu bukan lagi kayu alam, tetapi tanaman budi daya hutan. Tidak bisa kembali alami dalam tempo sesingkat-singkatnya. (*)

Posting Komentar untuk "Musnahnya Hutan Larangan | Cerpen Bahagia"