Iklan Atas

Blogger Jateng

Nelayan Pensiun | Cerpen M. Amin Mustika Muda


HUKOO menatap matahari pagi yang mulai muncul di balik awan. Tatapan laki-laki itu begitu perkasa. Seperkasa tatapan matahari yang perlahan mulai membuka matanya. Mendung baru saja berakhir di sini. Sebab itu, riak-riak sungai pun telah lagi menjadi gemericik bagi burung-burung pipit yang sedang bersukaria menyambut hari.

Seperti pada hari-hari yang biasa, dan pada hari-hari yang sudah-sudah, sebelum menjalani takdir sebagai nelayan, Hukoo mengawalinya dengan memasukkan lengan kanannya ke dalam air sungai hingga merendam bagian siku. Menyusul kemudian tangan kiri, setelah tangan kanan ia naikkan. Setelah itu, barulah ia menaiki perahu kecilnya, kemudian mendayungnya menuju lokasi di mana terdapat banyak jenis ikan.

Kebiasaan yang telah menjadi semacam ritual itu sering kali ia lakukan sebagai penangkal buaya. Pada zaman dahulu, sebagaimana diceritakan turun-temurun, konon banyak buaya yang berkeliaran dan hidup di sungai itu.

Bahkan, Hukoo mengaku, beberapa kali pada suatu malam, melihat sekelompok buaya. Mereka muncul menyerupai kayu gelondongan yang telah disusun menjadi rakit. Karena alasan itulah, ia tidak pernah meninggalkan ritual unik dan sederhana tersebut sebelum berangkat mencari nafkah demi menghidupi istri dan anak-anaknya.

*****

Hukoo memeriksa beberapa jala dan joran pancing yang telah ia tebarkan dan sebarkan semenjak tiba di lokasi. Butir-butir keringat meleleh dari kepalanya. Tubuhnya basah. Semangatnya masih berapi-api, meski posisi matahari sebentar lagi akan berada di atas kepalanya. Masih ia periksa dengan teliti dan hati-hati jala-jala dan joran pancing penangkap ikan itu. Benar-benar tak ada ikan yang masuk dan terperangkap ke dalamnya. Juga tak ada ikan yang terkait pada kail pancing. Padahal, sudah enam jam ia berada di situ. ”Ke mana ikan-ikan itu?” keluhnya kepada diri sendiri.

Kini matahari benar-benar berada di atas kepala. Hukoo pun menepikan perahu kecilnya. Ia ingin berteduh di bawah pohon besar yang tumbuh di pinggir sungai sembari menandaskan bekal makan siang yang telah disiapkan istrinya. Tak perlu waktu yang panjang, makan siang selesai. Ia beristirahat. Tertidur. Mendengkur.

***

Suara klakson kapal membangunkan tidurnya. Hukoo segera bangkit, kemudian duduk ke arah sungai yang warnanya mulai mengeruh itu. Matanya memandang nanar ke arah kapal yang sedang menarik tongkang bermuatan batu bara. Semenjak kapal-kapal itu lalu-lalang melintasi sungai, hasil tangkapan ikan menjadi tak seramai dulu lagi. Dulu, ketika posisi matahari tepat berada di atas kepala, biasanya setengah perahu miliknya sudah terisi beragam jenis ikan yang menjadi keistimewaan sungai. Seperti ikan patin, lawang, pipih, lais, seluang, dan udang galah. Kini, meski posisi matahari mulai bercondong ke arah barat, tak satu pun ikan ia dapatkan. Bahkan, tak jarang ia pulang ke rumah dengan tangan hampa.

”Sabar, Kaka. Mungkin hari ini belum rezeki kita,” kata istrinya sembari menggendong balita mereka yang masih terjaga. Sementara anak tertua mereka yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar sudah terlelap di kamar yang reyot.

Belakangan ini Hukoo sering pulang hanya membawa lelah. ”Ading, persedian beras kita sudah hampir habis. Mungkin hanya cukup sampai besok malam,” sahut laki-laki itu dengan raut muka begitu kusut.

”Bagaimana nasib kita kalau besok atau lusa hasil tangkapan ikanku masih juga kosong? Tidakkah belakangan ini uang kita telah habis? Dan kita lebih sering memakan nasi dan garam.”

*****

Kali ini Hukoo tidak mencari ikan di sungai utama yang menjadi tempat berlalu-lalang kapal-kapal penarik tongkang batu-batu hitam yang menggunung. Ia lebih memilih sungai kecil atau anak sungai untuk mencoba peruntungannya. Ia pun segera menuju anak sungai pilihannya. Ia mendayung perahu kecilnya melintasi hutan belantara. Semakin jauh ia memasuki anak sungai itu, semakin besar pula harapannya bertemu ikan-ikan dan memperoleh nasib yang baik.

Setelah tiba di lokasi yang dianggap strategis, Hukoo menghentikan perahunya. Lalu, dengan gerakan-gerakan yang cepat dan cekatan, segera disiapkannya alat tangkap ikan. Kali ini ia tidak menggunakan jala karena mempertimbangkan lokasi yang terbilang sempit, ditambah lagi faktor kedalaman air yang terbilang dangkal. Ia memilih puluhan alat pancing yang telah diberi umpan terbaik, lalu meletakkannya pada tempat-tempat yang menurutnya menjadi persembunyian ikan-ikan. Sebuah alat pancing berupa joran ia pegang sendiri. Di anak sungai ini, ia mengundi nasibnya untuk mendapatkan ikan papuyu alias betok, ikan gabus atau yang juga disebut haruan, dan ikan sepat siam.

Satu jam setelahnya. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Lima jam. Ia telah bagai orang yang sedang bersemedi di sungai itu. Tak ada tanda-tanda ikan bergerak-gerak sembari memberikan kejutan-kejutan kecil pada joran yang dipegangnya. Bahkan, seluruh alat pancing yang telah disebarnya di situ pun hanya bergeming.

Kini ia benar-benar tak tahu, entah di mana posisi matahari. Apakah telah tepat berada di atas kepalanya? Atau bahkan telah pamit permisi dan melewatinya? Ia benar-benar tak tahu. Sebab, hutan belantara telah melindunginya dari terang cahaya matahari siang itu. Tetapi, ia segera tahu, waktu itu ada yang sedang bergemuruh di perutnya. Dan ia telah tahu jawabannya.

***

Hukoo mengangkat joran pancing yang memang dipegangnya. Ia lalu memeriksa umpan yang tak kunjung disambar ikan. ”Aneh sekali. Masih utuh. Benar-benar tak ada bekas gigitan ikan,” gumamnya. Ia meletakkan joran pancing itu ke dalam perahu. Kemudian, ia tepikan perahu kecil itu ke arah pohon besar di dekatnya. Sembari memegang bekal untuk makan siang, ia beringsut naik ke atas daratan. Kemudian berjalan ke arah pohon yang dianggapnya paling rimbun.

Makan siang selesai. Tetapi kemudian, ia tak tidur dan tak mendengkur. Matanya menatap tajam ke arah puluhan alat pancing yang teronggok mematung di sungai itu. ”Tampaknya tak ada ikan di sini,” keluhnya dalam hati.

Ia lalu mengambil ketapel dari dalam perahunya. Kemudian berjalan kaki memasuki hutan belantara. Sebuah burung yang bertengger di dahan pohon paling ujung mengganggu pikirannya. Dengan ketapel yang dipegangnya, ia membidik burung itu. Meleset. Burung itu terbang ke udara sebelum akhirnya bertengger lagi pada salah satu ujung dahan tertinggi di pohon sebelahnya. Hukoo masih terus berjalan memasuki hutan belantara hingga mentok dan bertemu sebuah lahan yang dikelilingi pagar seng, bertulisan: Kawasan Kebun Sawit Milik Perusahaan.

Di situ, hutan belantara telah terbuka. Cahaya matahari bisa menerobos masuk. Panasnya terasa membakar. Setidaknya bagi Hukoo. Dan bagi beberapa buruh sawit yang sedang bekerja siang itu. Barangkali.

****

Hukoo memanjat sebuah pohon besar yang masih tersisa. Siang itu ia melihat dengan mata kepalanya sendiri aktivitas buruh di kebun yang dikelilingi pagar seng itu. Kebanyakan buruh itu adalah kawan-kawannya di kampung.

Dari atas pohon, ia melihat Lamijo dan Reben, tetangganya, sedang membersihkan lahan. ”Hai, Lamijo. Hai, Reben.” Hukoo berteriak, tapi Lamijo dan Reben bergeming. Barangkali suara Hukoo tak sampai ke telinga mereka berdua yang sedang sibuk bekerja.

”Lamijo. Reben,” ulangnya berkali-kali. Tetapi, masih juga tak ada jawaban.

Sebulan yang lalu Lamijo dan Reben memutuskan untuk pensiun jadi nelayan. Menurut mereka, meski nenek moyang mereka adalah nelayan, kini zaman telah berubah. Barangkali sungai besar dan panjang yang seharusnya memberikan manfaat bagi warga yang menjalani hidup sebagai nelayan tak lagi menunjukkan berkahnya. Ikan-ikan sepertinya enggan untuk menetap di situ. Barangkali telah pergi. Entah ke sungai mana.

Kendati begitu, tidak pernah ada hasil penelitian yang memberikan kesimpulan secara serius bahwa aktivitas lalu-lalang tongkang batu bara dan pembukaan lahan sawit di daerah itu berdampak pada ekosistem dan keanekaragaman hayati ikan-ikan di sungai tersebut.

Dan karena itulah, Hukoo belum menyerah jadi nelayan. Meski pada hari itu, lagi-lagi, ia pulang ke rumah tanpa ikan. Beruntung, saat perjalanan pulang menyusuri hutan belantara, ketapelnya berhasil mengenai seekor burung, yang dalam pikirannya akan dijadikan sebagai lauk untuk menandaskan beras terakhir di rumah.

*****

Malam begitu lirih. Nyanyian binatang malam telah bagai irama keroncong di zaman kolonial. Pada sebuah rumah yang reyot, ada sepasang manusia. Meski, tentu saja, mereka tak akan lupa jika beras tak lagi bersisa di dapur. Karena itu, mereka pun tahu dan mengerti, tak ada makan pagi esok hari.

Keringat berleleran dari dua tubuh yang menyatu itu.

”Ading,” sapa Hukoo kepada istrinya. Ia melepaskan pelukannya dari perempuan yang telah ia nikahi selama sepuluh tahun itu sembari bangkit untuk duduk di tubir dipan.

”Betapa kini jadi nelayan tak lagi menjanjikan. Rasanya aku ingin berhenti. Aku ingin mengikuti jejak Lamijo dan Reben yang bekerja di perusahaan kelapa sawit sebagai buruh. Untuk apa lagi aku mempertahankan tradisi keluarga kita menjalani hidup sebagai nelayan? Toh, pada akhirnya, tak ada lagi nelayan di kampung kita. Tentu kau tahu, satu per satu tetangga kita sudah tak lagi jadi nelayan.”

”Segalanya kusandarkan kepadamu, Kaka. Kau adalah suamiku. Kau adalah kepala keluarga. Tentu aku harus mendukungmu. Meski kau memutuskan berhenti dan pensiun jadi nelayan.”

Perempuan itu menatap mata suaminya. Wajahnya begitu datar, nyaris tanpa makna.

Malam menjadi semakin ringkih. Sementara keduanya terlelap di jantung mimpi. Hanya mimpi.

***

Pagi bagai sebuah perpisahan. Hukoo berjanji kepada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari terakhir ia berprofesi sebagai nelayan. Besok dan selanjutnya, ia akan mengikuti jejak tetangganya, Lamijo dan Reben, jadi buruh perusahaan kelapa sawit.

Berat memang rasanya, tapi tampaknya Hukoo tak punya pilihan. Barangkali batinnya berkata, ia telah lelah jadi nelayan, sehingga pada akhirnya harus menyerah.

Hari ini Hukoo memilih mencari ikan di sungai yang menjadi saksi bisu aktivitas tongkang batu bara. Betapa kapal-kapal penarik tongkang yang berlalu-lalang itu serupa parade kapal perang, yang mengangkut miliaran rupiah.

Namun, ia tak habis pikir. Semenjak ia tiba di lokasi dan memasang jala, ikan-ikan seolah-olah datang menyerahkan diri kepadanya. Tak heran, betapa sibuknya Hukoo menjemput beragam jenis ikan yang menjadi keistimewaan sungai itu. Puluhan ikan begitu cepat terperangkap di dalam jalanya. Maka, meski matahari belum tepat berada di atas kepala, kini perahu miliknya sudah hampir penuh oleh ikan patin, lawang, pipih, lais, seluang, dan beberapa udang galah. Semua masih segar dan berlompatan.

”Benar-benar ramai seperti dulu lagi,” Hukoo tersenyum semringah.

Hukoo masih sibuk menjemput ikan-ikan yang terperangkap di dalam jalanya. Tampaknya ia tak memedulikan suara klakson kapal penarik tongkang batu bara yang telah menjerit-jerit semenjak tadi. Bukan cuma menjerit, bahkan telah meraung-raung layaknya suara trompet akhir zaman. Setidaknya, akhir bagi laki-laki itu. (*)

Posting Komentar untuk "Nelayan Pensiun | Cerpen M. Amin Mustika Muda"