Langkahnya mendekat ke mesjid itu. Setelah menurunkan kayu bakar di pundak, ia masuk dan mengucap salam. Pemuda pemuda yang sedang tiduran telentang sambil asyik dengan gadjet gadjet mereka, serentak membagi tatap dan terbangun. Membalas salam.
“Ada apa Kek?” tanya salah seorang.
“Kakek yang seharusnya bertanya. Anak anak ini sedang apa di mesjid ini? Mau kemana?” si Kakek balik bertanya.
“Ohh…memangnya Kakek siapa?” salah seorang pemuda, yang pakaiannya paling rapi dari yang lain, dia sepertinya anak yang paling dominan di antara kelima orang itu. Menatap Kakek dari atas hingga ke bawah.
Sepatuya bots si Kakek dekil. Bajunya kumal dan buruk. Wajahnya penuh gurat-gurat keriput, mencirikhaskan ketuaan dan sisa sisa kelelahan.
“Anak jaman sekarang ya, ditanya kok balik nanya. Kakek yang suka mengurus mesjid ini Nak. Asli dari kampung ini. Itu…rumah Kakek di seberang Mesjid…” jawabnya sambil menunjuk rumah semi permanen yang tembok temboknya kelihatan melepuh.
Pemuda yang bertanya tadi tersenyum, mengangguk.
“Saya dari kota Kek. Datang kesini mau mengunjungi kerabat. Tapi…namanya saya lupa. Makanya, kami istirahat di sini sembari menunggu Bapak Saya menjawab telefon untuk memberitahu saya nama kerabatnya. Makanya kami memutuskan untuk menginap di mesjid ini. Sudah hampir malam juga” jawabnya detail.
Si kakek mengangguk. Ia beringsut, duduk di pinggir teras. Topi lakennya dilepas. Kakek kemudian menawarkan tumpangan menginap di rumah.
“Tidur di mesjid tak baik, apalagi untuk tamu yang asing di sini. Takut ada kesalahpahaman nanti. Sekarang kan banyak teroris Nak!” tawar si Kakek dengan aksen suaranya yang berat dan tegas.
Rupanya salah seorang anak muda tadi salah mengerti. Ia agak berang dengan prasangka Ia dan kawan kawan dikatakan teroris. Sempat terjadi adu argumen. Si Kakek menerangkan dengan penuh maklum. Anak-anak muda dengan gerjolak darah mudanya, selalu saja memakan mentah mentah omongan orangtua, tanpa dimasukkan dulu ke dalam pikiran.
Setelah diterangkan maksud omongan Kakek, mereka baru mengangguk. Lima anak itu beriringan dengan Kakek untuk beristirahat dan menginap di rumah sembari menunggu telefon orangtuanya.
Kakek di panggil Kepala Desa. Katanya ada Bapak dari salah satu anak itu yang menelepon Kades dan marah marah karena anaknya dianggap teroris. Bapak itu mengutus adiknya untuk meluruskan masalah. Nama kerabat itu ternyata Mak Nah. Diam-diam tadi, rupanya salah satu anak yang selalu ngotot itu mengadu pada Bapaknya.
*****
Kakek baru beberapa tahun saja, selepas pensiun, menetap di kampung asalnya. Ia selalu ramah menyapa setiap warga. Ia sangat bersahaja dengan keadaan hidup yang tak begitu mujur meski tidak tergolong melarat. Tak ada yang tahu lebih banyak tentang si Kakek, selain seorang lelaki ringkih yang tak banyak bicara dan senang menikmati kesendirian, menghabiskan waktunya sampai seharian di hutan. Tetangga tetangga di sekitar tempatnya tinggal hanya mengenalnya sebagai marabot mesjid, yang setiap selesai subuh melakukan aktipitas yang sama. Mencari kayu bakar ke hutan. Kegiatan itu sudah seperti pengganti kerja, setelah si kakek pensiun dari perkebunan negara.
Ia selalu berangkat selepas sholat subuh, di mesjid depan rumahnya. Setelah adzan yang selalu dikumandangkan olehnya. Selepas sholat Ia pergi membawa radio kecil, gadjet android pemberian anaknya meski sudah terlihat usang. Andriod keluaran pertama yang awet dalam penjagaannya. Golok di pinggang, mengenakan topi laken yang robek di tepiannya. Kakek menyusuri jalan desa dalam kebeningan udara pagi. Kaki-kakinya yang masih menapak kuat, kadang mengenakan sepatu bots yang sering dicopotnya saat menapakkan kaki di jalan beraspal kasar, bercampur batu koral.
***
Selepas Isya, Paman salah satu anak muda itu datang. Diantar Hansip. Mobil fortuner mengkilat di parkir di depan rumah Kakek. Laki-laki tua itu tergopoh menyambut tamu yang datang, diikuti oleh kelima anak muda yang sedang leyehan di ruang tamunya.
Seorang lelaki setengah baya menyalaminya. Mungkin sebaya dengan Kakek. Tapi laki-laki itu dengan dandanan necis, terlihat lebih muda.
Tangan-tangan bertemu. Sang Paman lama menelanjangi wajah Kakek. Tiba-tiba Ia menunjuk, merangkul pundak Kakek.
“Kang Pardi? Ya Alloh Kang. Akang sehat kan?”
Kakek terlongong beberapa saat. Matanya lekat menelisik wajah tamunya. Sudah puluhan tahun silam, satu satu wajah teman tak diingatnya lagi. Si tamu mengguncang bahu Kakek. Menyebut namanya. Wawan. Alumni siswa SMTN 14.
“Saya adik kelas Kang Pardi, beda dua tahun. Tapi saya masih hafal sama Akang. Siapa yang tak mengenal Akang. Dulu akang siswa yang aktif dan pintar. Kang Pardi sosok populer…” lalu nostalgia masa mudanya diungkap oleh Paman Wawan. Kakek menepak jidatnya. Tertawa. Mereka akhirnya berbincang akrab.
“Saya datang kesini atas utusan kakak saya. Katanya, Jordi pergi ke sini mencari Mak Nah, bibi kami, Nenek dia. Tapi disangka teroris oleh seorang Kakek. Kakak saya cemas dan marah. Makanya saya kesini…”
Kakek menerangkan hal yang sebenarnya. Sama sekali Ia tak menuduh. Hanya saja, Ia menawarkan rumahnya untuk menginap karena mesjid kurang baik untuk dijadikan tempat menginap tamu. Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan berkaitan dengan keberadaannya sebagai tempat ibadah saja.
Berulangkali Paman meminta maaf. Lama mereka berbincang. Paman baru pamit ketika malam kian beranjak tua. Ia sekali lagi memeluk Kakek dan menyalami penuh takjim.
“Kang…maaf sekali, saya tidak bermaksud menghinakan Kang Pardi. Tapi ini hanya sebagai kenang-kenangan. Ini jaket kulit yang baru saja saya beli. Tolong terima ya Kang. Untuk Akang pakai ke hutan, katanya Akang suka mencari kayu bakar. Udara di sini kan dingin Kang….” Paman itu mengangsurkan jaket yang masih dibungkus itu meski kakek menepis dengan halus.
“Suatu kehormatan bagi Saya, jika Akang mau menerimanya” Ia menepuk bahu Kakek. Kakek mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Memeluk adik kelasnya itu dengan haru yang menyesak.
Sekali lagi mereka berjabat erat. Paman menunjukkan tangannya pada si kakek, berbicara pada keponakan dan empat temannya.
“Kalian baik-baik di sini. Dan jangan memandang sebelah mata pada kakek Pardi. Kakek ini dulu seorang siswa aktif bahkan mahasiswa teladan di salah satu Universitas terkenal….”
Kelima anak muda itu terpana. Kakek hanya merunduk. Menepuk bahu adik kelasnya. Mengantarnya menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Lagi-lagi ia tak bisa menolak saat Wawan menyusupkan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop, pada saku baju Kakek.
Sisa malam, Kakek nyaris tak tidur. Kelima anak muda itu mengajaknya berbincang. Memintanya bercerita tentang masa lalu kakek yang pernah gemilang. Kakek sangat bersemangat menggelar cerita, karena baru saat itu, ada yang percaya bahwa dirinya pernah sekolah, bahkan mencapai tingkatan lumayan tinggi pada zamannya.
Selama ini Ia selalu dianggap berkhayal dan berbual jika Ia menceritakan masa lalu. Seorang Kakek kumal yang kerjanya mencari kayu bakar, mustahil jika pernah sekolah. Orang-orang kampung selalu berkomentar miring bahkan mencibir. Sejak itu Kakek tak mau banyak cerita. Ia lebih betah sendirian mengenang masa lalunya, berbicara dengan hati dan alam, sembari mencari Kayu kayu bakar di hutan. (*)
2 komentar untuk "Kakek Pencari Kayu Bakar | Cerpen Ratna Ning"
Tetep semangat dalam berkarya ya Kak Ratna.. ^_^
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar