Seorang lelaki tua, kurus, rambut kusut tak terurus, berkaus lusuh dan kadang robek pada beberapa bagian adalah tamu paling menjengkelkan sejak Supri sekeluarga pindah ke rumah yang sekarang. Datang semaunya. Berlama-lama pula.
Pada kedatangannya yang pertama kali, di waktu yang mendua antara senja dan petang, Supri masih menerimanya dengan wajah dimanis-maniskan. Sedari pagi menata barang-barang pindahan dari rumah lama, sangat menguras tenaga. Belum lagi, urusan surat-menyurat dengan RT setempat. Namun, sebagai warga baru, ia merasa perlu untuk menanam kesan baik di mata setiap orang. Termasuk lelaki tua itu, yang mengaku sebagai calon tetangga. Rumahnya berjarak beberapa rumah dari rumah Supri.
“Main-mainlah kalau kau sempat,” tawar lelaki itu sebelum kemudian tertawa. Awalnya Supri kira karena ada sesuatu yang lucu dan ia berusaha mencarinya. Keringatnya bak bau cucian direndam seminggu lamanya.
Ketika tidak menemukan sisi lucu, Supri nyaris tersinggung dengan tawa lelaki tua itu. Namun, dengan segera ia ingat pada kepentingan menanam kesan. Maka ia berusaha mengimbangi dengan senyum saja, agar terlihat berkaitan.
Hari-hari berikutnya ketika lelaki tua itu datang dan nyaris memberi ujung pada semua perkataannya dengan tertawa, Supri mendapat pemahaman baru. Tawa tidak lagi sebatas urusan bahagia atau sindiran yang diperhalus saja. Ia juga bisa menjadi penopang kata yang dipandang perlu keberadaannya.
Pada kedatangannya yang pertama kali, Supri memberikan pemaknaan yang terburu-buru pada lelaki tua itu sebagai tetangga yang ringan tangan. Tentu, karena lelaki tua yang disuguhi kopi dan risoles tersebut belum menampakkan bibit-bibit menjengkelkan ketika itu. Ia membantu Supri membawa beberapa barang yang masih tertinggal di mobil pikap. Ditolak Supri pada awalnya. Karena ia tidak mau merepotkan. Lagi pula lelaki itu sudah tua.
“Dulunya aku kuat manol gabah sekuintal.” Lalu disambung tawa lagi.
Sampai malam, tamu itu belum pulang. Istri Supri menawarinya ikut makan malam dan diterimanya. Hitung-hitung sebagai imbalan karena telah membantu. Pengganti terima kasih yang lebih sopan daripada memberinya uang. Anak Supri bahkan ikut tertawa ketika ia tertawa karena menganggap lelaki itu sedang melucu.
Di ujung kepulangan sang tamu, istri Supri memberi basa-basi permintaan mampir jika kebetulan sedang lewat. Kekhasan orang Jawa di mana-mana. Namun, oleh lelaki tua itu dianggapnya serupa harapan dan menuntut pemenuhan.
Benar saja, pagi buta lelaki tua itu sudah muncul di ambang pintu dapur. Membuat air bekas cucian yang hendak dibuang istri Supri di tanah kosong belakang rumah terjatuh dari ember di tangannya. Tumpah dan mengenai apa-apa di dekatnya. Daster yang dikenakannya, tungku menyala, tapi untung tidak sampai padam apinya, pun terpercik di muka. Siapa yang tidak mengira sosok di tempat gelap pasti punya maksud jahat. Hantu yang mengganggu atau maling yang mencari lena penghuni rumah.
“Simbah ngagetin saja,” omel istri Supri ketika sebagian lampu tertimpa di wajah lelaki tua itu lewat pintu dapur yang terbuka. Sambil mengibas-ngibaskan ujung dasternya.
Lebih dulu tertawa sebelum menjawab dengan, “Tanah di situ dulu bekas kolam lele. Semalam aku lupa memberi tahu. Takut kalau kamu bangun pagi sekali dan pergi ke belakang rumah. Nanti cilaka. Sekalian aku jalan-jalan habis subuhan di mushala.”
Supri yang mendengar ribut-ribut lewat suara ember yang beradu dengan lantai semen ikut-ikut bangun. Memutus rantai mimpi dengan terpaksa. Dalam selintas pikirnya pasti ada sesuatu yang buruk sedang terjadi di dapur yang merupakan bagian rumah paling belakang. Setelahnya hanya ada rerumputan liar yang berakrab ria dengan tanaman semak.
Kembali kepada lelaki tua tadi, akhirnya mereka kembali makan pagi alias sarapan bersama. Lalu Supri berangkat kerja. Sepulangnya di ambang senja, istri menyambutnya dengan bibir mengumpul di muka. Sebuah keluhan panjang mengiringi secangkir kopi yang disuguhnya.
“Kau tahu, Pak. Risih aku. Mengiris bawang dikomentari. Membuang sampah diikuti.”
“Kau tidak menyuruhnya pulang, Bu?” tanya Supri sembari melepas kaus kaki.
“Sudah. Memang tidak terang-terangan. Kukatakan bahwa aku mau ke pasar. Coba Bapak tebak apa yang dikatakannya?” jedanya, tentu saja dijawab Supri dengan gelengan kepala. Lagi pula perempuan itu ada-ada saja. Bukankah mereka tengah dalam konsep bercerita, bukan bermain tebak-tebakan. Istrinya yang bercerita dan Supri yang mendengarkan sambil sesekali menimpali. “Dia malah bilang akan menjagai rumah kita selama aku pergi. Biar aman katanya.”
Dari anaknya, Supri mendapat aduan yang tak kalah menjengkelkan. Lelaki tua itu datang ketika teman-teman kuliahnya bertandang ke rumah. Ada saja yang dinilai. Laki-laki kok rambutnya gondrong. Perempuan kok merokok. Sampai mereka tak nyaman dan memilih pulang.
Jika sedang libur kerja dan memutuskan tidak ke mana-mana, Suprilah yang tertimpa giliran dijengkeli oleh lelaki tua itu. Tangkai cangkul yang diayunnya dikatai kurang tenaga. Ia lalu menggantikan Supri melakukannya. Supri tinggal menaruh butir-butir benih ke dalam lubang galian yang dibuat lelaki itu di tanah kosong belakang rumah.
Dari makelar rumah ini dulu, Supri mendapat informasi bahwa pemilik rumah lama sering bepergian keluar kota. Beberapa hari sekali ia baru kembali. Alangkah sepelenya sebuah tanah tak seberapa luas baginya, apalagi jika letaknya paling ujung. Baru saja tiba, kepala Supri bahkan sudah diisi beberapa rencana terhadap tanah kosong di belakang rumah itu. Bayam, tomat, juga toge, hendak ditanamnya di sana.
Kalau saja semua dilakukan tanpa bicara, akan lain cerita. Namun, masalahnya, dari mulut lelaki tua itu meluncur apa saja dan tidak bisa tidak Supri harus mendengarkannya. Laksana magma yang tersimpan lama di perut bumi dan mendapat kesem atan meletuskannya.
“Dulu kau bilang mau dolan ke rumahku?”
“Simbah kan tahu aku sibuk. Pulangku setiap hari hampir selalu malam.”
“Ya, Minggu kemarin kulihat kau lari pagi. Lewat depan rumah. Kupanggil-panggil, kusuruh mampir, eeeh, malah bablas.”
Aku dengar, Mbah, tapi malas. Kayak mau dikasih warisan saja kok disuruh mampir segala, batin Supri. Namun, yang terlisan, “Tidak dengar aku, Mbah. Barengan bunyi klakson, mungkin.”
Seperti biasa, lelaki tua itu tertawa. Lalu kembali mengayunkan cangkulnya. Sambil bicara apa saja.
Namun, lelaki tua itu kini tidak pernah lagi bertamu ke rumah Supri. Sudah bertahun-tahun lamanya. Anak Supri sudah lulus kuliah, menikah, dan mendapat pekerjaan di luar kota. Supri sudah pensiun dan tinggal bersama anaknya. Dulu, kepindahannya ke kampung lelaki tua itu karena alasan pekerjaan. Mendapat pemutasian dan mencari rumah yang dekat dengan tempat kerja.
Anak dan menantu Supri baru saja mendapat promosi jabatan. Seharusnya ia senang, tapi ketika mereka pulang pada malam yang terlalu larut, Supri selalu sudah tidur. Padahal ia hendak menanyakan apakah besok bersedia mengantarnya periksa ke dokter. Selama ini Supri selalu ditemani sopir ke mana-mana.
Supri bilang ke istrinya, “Bu, anak kita sudah jadi orang sukses.” Lalu istrinya tersenyum. Tapi tidak menimpali, tidak bertanya, pun tidak mengajaknya bermain tebak-tebakan seperti kebiasaannya dulu. Karena yang diajak bicara Supri hanyalah foto perempuan itu. Penyakit jantung koroner menyudahi kehidupannya di dunia ini lima tahun lalu.
Tiba-tiba Supri merindukan lelaki tua itu, tamu menjengkelkan yang selalu mengunjungi rumahnya di waktu-waktu tak tentu. Yang selalu menertawai apa saja, pun kebohongan yang dilakukan Supri sekeluarga. Supri pernah beralasan sedang sakit dan tidak ingin diganggu. Lalu lelaki tua itu tergopoh-gopoh pulang ke rumahnya dan kembali ke rumah Supri sambil membawa umbi kunyit dan temulawak.
Ia juga bilang akan meminta kesembuhan pada doa yang dipanjatkan selepas shalat. Lalu lelaki tua itu benar-benar pulang tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan Supri sekeluarga yang kemudian sibuk bersenda gurau di depan televisi. Menertawai lelaki tua yang kakinya menginjak kotoran kerbau dalam drama komedi di layar kaca.
Seperti apa Simbah sekarang, tanya Supri dalam batin selama perjalanan. Ia pasti senang aku akhirnya main juga ke rumahnya, seperti yang dulu sering dipintanya. Aku yang berbalik membutuhkannya sekarang. Ada banyak yang ingin kuceritakan.
Sopir membawa mobil dengan kecepatan sedang. Tiga jam kemudian mereka sampai di tujuan. Namun, alangkah terkejutnya Supri, rumah kayu dipadu bambu lelaki itu sudah tidak ada lagi. Berganti kebun jagung subur yang entah empunya siapa.
Beberapa anak muda cangkruk di pos ronda. Ke sanalah Supri bertanya.
“Sudah dibawa Izrail,” jawab salah satu pemuda. Pemuda yang lain menimpalinya dengan tawa. Lalu pemuda yang menjawab tadi segera memalingkan muka dari Supri dan kembali bercanda dengan sesamanya.
Dada Supri bergemuruh. Ia melihat dirinya kini serupa lelaki tua itu pada masa lalu. Dan melihat dirinya pada masa lalu dalam diri anak-anak muda itu kini. Supri mendongak. Lelaki tua itu sedang tertawa di langit indah sana. (***)
Pada kedatangannya yang pertama kali, di waktu yang mendua antara senja dan petang, Supri masih menerimanya dengan wajah dimanis-maniskan. Sedari pagi menata barang-barang pindahan dari rumah lama, sangat menguras tenaga. Belum lagi, urusan surat-menyurat dengan RT setempat. Namun, sebagai warga baru, ia merasa perlu untuk menanam kesan baik di mata setiap orang. Termasuk lelaki tua itu, yang mengaku sebagai calon tetangga. Rumahnya berjarak beberapa rumah dari rumah Supri.
“Main-mainlah kalau kau sempat,” tawar lelaki itu sebelum kemudian tertawa. Awalnya Supri kira karena ada sesuatu yang lucu dan ia berusaha mencarinya. Keringatnya bak bau cucian direndam seminggu lamanya.
Ketika tidak menemukan sisi lucu, Supri nyaris tersinggung dengan tawa lelaki tua itu. Namun, dengan segera ia ingat pada kepentingan menanam kesan. Maka ia berusaha mengimbangi dengan senyum saja, agar terlihat berkaitan.
Hari-hari berikutnya ketika lelaki tua itu datang dan nyaris memberi ujung pada semua perkataannya dengan tertawa, Supri mendapat pemahaman baru. Tawa tidak lagi sebatas urusan bahagia atau sindiran yang diperhalus saja. Ia juga bisa menjadi penopang kata yang dipandang perlu keberadaannya.
Pada kedatangannya yang pertama kali, Supri memberikan pemaknaan yang terburu-buru pada lelaki tua itu sebagai tetangga yang ringan tangan. Tentu, karena lelaki tua yang disuguhi kopi dan risoles tersebut belum menampakkan bibit-bibit menjengkelkan ketika itu. Ia membantu Supri membawa beberapa barang yang masih tertinggal di mobil pikap. Ditolak Supri pada awalnya. Karena ia tidak mau merepotkan. Lagi pula lelaki itu sudah tua.
“Dulunya aku kuat manol gabah sekuintal.” Lalu disambung tawa lagi.
Sampai malam, tamu itu belum pulang. Istri Supri menawarinya ikut makan malam dan diterimanya. Hitung-hitung sebagai imbalan karena telah membantu. Pengganti terima kasih yang lebih sopan daripada memberinya uang. Anak Supri bahkan ikut tertawa ketika ia tertawa karena menganggap lelaki itu sedang melucu.
Di ujung kepulangan sang tamu, istri Supri memberi basa-basi permintaan mampir jika kebetulan sedang lewat. Kekhasan orang Jawa di mana-mana. Namun, oleh lelaki tua itu dianggapnya serupa harapan dan menuntut pemenuhan.
Benar saja, pagi buta lelaki tua itu sudah muncul di ambang pintu dapur. Membuat air bekas cucian yang hendak dibuang istri Supri di tanah kosong belakang rumah terjatuh dari ember di tangannya. Tumpah dan mengenai apa-apa di dekatnya. Daster yang dikenakannya, tungku menyala, tapi untung tidak sampai padam apinya, pun terpercik di muka. Siapa yang tidak mengira sosok di tempat gelap pasti punya maksud jahat. Hantu yang mengganggu atau maling yang mencari lena penghuni rumah.
“Simbah ngagetin saja,” omel istri Supri ketika sebagian lampu tertimpa di wajah lelaki tua itu lewat pintu dapur yang terbuka. Sambil mengibas-ngibaskan ujung dasternya.
Lebih dulu tertawa sebelum menjawab dengan, “Tanah di situ dulu bekas kolam lele. Semalam aku lupa memberi tahu. Takut kalau kamu bangun pagi sekali dan pergi ke belakang rumah. Nanti cilaka. Sekalian aku jalan-jalan habis subuhan di mushala.”
Supri yang mendengar ribut-ribut lewat suara ember yang beradu dengan lantai semen ikut-ikut bangun. Memutus rantai mimpi dengan terpaksa. Dalam selintas pikirnya pasti ada sesuatu yang buruk sedang terjadi di dapur yang merupakan bagian rumah paling belakang. Setelahnya hanya ada rerumputan liar yang berakrab ria dengan tanaman semak.
Kembali kepada lelaki tua tadi, akhirnya mereka kembali makan pagi alias sarapan bersama. Lalu Supri berangkat kerja. Sepulangnya di ambang senja, istri menyambutnya dengan bibir mengumpul di muka. Sebuah keluhan panjang mengiringi secangkir kopi yang disuguhnya.
“Kau tahu, Pak. Risih aku. Mengiris bawang dikomentari. Membuang sampah diikuti.”
“Kau tidak menyuruhnya pulang, Bu?” tanya Supri sembari melepas kaus kaki.
“Sudah. Memang tidak terang-terangan. Kukatakan bahwa aku mau ke pasar. Coba Bapak tebak apa yang dikatakannya?” jedanya, tentu saja dijawab Supri dengan gelengan kepala. Lagi pula perempuan itu ada-ada saja. Bukankah mereka tengah dalam konsep bercerita, bukan bermain tebak-tebakan. Istrinya yang bercerita dan Supri yang mendengarkan sambil sesekali menimpali. “Dia malah bilang akan menjagai rumah kita selama aku pergi. Biar aman katanya.”
Dari anaknya, Supri mendapat aduan yang tak kalah menjengkelkan. Lelaki tua itu datang ketika teman-teman kuliahnya bertandang ke rumah. Ada saja yang dinilai. Laki-laki kok rambutnya gondrong. Perempuan kok merokok. Sampai mereka tak nyaman dan memilih pulang.
Jika sedang libur kerja dan memutuskan tidak ke mana-mana, Suprilah yang tertimpa giliran dijengkeli oleh lelaki tua itu. Tangkai cangkul yang diayunnya dikatai kurang tenaga. Ia lalu menggantikan Supri melakukannya. Supri tinggal menaruh butir-butir benih ke dalam lubang galian yang dibuat lelaki itu di tanah kosong belakang rumah.
Dari makelar rumah ini dulu, Supri mendapat informasi bahwa pemilik rumah lama sering bepergian keluar kota. Beberapa hari sekali ia baru kembali. Alangkah sepelenya sebuah tanah tak seberapa luas baginya, apalagi jika letaknya paling ujung. Baru saja tiba, kepala Supri bahkan sudah diisi beberapa rencana terhadap tanah kosong di belakang rumah itu. Bayam, tomat, juga toge, hendak ditanamnya di sana.
Kalau saja semua dilakukan tanpa bicara, akan lain cerita. Namun, masalahnya, dari mulut lelaki tua itu meluncur apa saja dan tidak bisa tidak Supri harus mendengarkannya. Laksana magma yang tersimpan lama di perut bumi dan mendapat kesem atan meletuskannya.
“Dulu kau bilang mau dolan ke rumahku?”
“Simbah kan tahu aku sibuk. Pulangku setiap hari hampir selalu malam.”
“Ya, Minggu kemarin kulihat kau lari pagi. Lewat depan rumah. Kupanggil-panggil, kusuruh mampir, eeeh, malah bablas.”
Aku dengar, Mbah, tapi malas. Kayak mau dikasih warisan saja kok disuruh mampir segala, batin Supri. Namun, yang terlisan, “Tidak dengar aku, Mbah. Barengan bunyi klakson, mungkin.”
Seperti biasa, lelaki tua itu tertawa. Lalu kembali mengayunkan cangkulnya. Sambil bicara apa saja.
*****
Namun, lelaki tua itu kini tidak pernah lagi bertamu ke rumah Supri. Sudah bertahun-tahun lamanya. Anak Supri sudah lulus kuliah, menikah, dan mendapat pekerjaan di luar kota. Supri sudah pensiun dan tinggal bersama anaknya. Dulu, kepindahannya ke kampung lelaki tua itu karena alasan pekerjaan. Mendapat pemutasian dan mencari rumah yang dekat dengan tempat kerja.
Anak dan menantu Supri baru saja mendapat promosi jabatan. Seharusnya ia senang, tapi ketika mereka pulang pada malam yang terlalu larut, Supri selalu sudah tidur. Padahal ia hendak menanyakan apakah besok bersedia mengantarnya periksa ke dokter. Selama ini Supri selalu ditemani sopir ke mana-mana.
Supri bilang ke istrinya, “Bu, anak kita sudah jadi orang sukses.” Lalu istrinya tersenyum. Tapi tidak menimpali, tidak bertanya, pun tidak mengajaknya bermain tebak-tebakan seperti kebiasaannya dulu. Karena yang diajak bicara Supri hanyalah foto perempuan itu. Penyakit jantung koroner menyudahi kehidupannya di dunia ini lima tahun lalu.
Tiba-tiba Supri merindukan lelaki tua itu, tamu menjengkelkan yang selalu mengunjungi rumahnya di waktu-waktu tak tentu. Yang selalu menertawai apa saja, pun kebohongan yang dilakukan Supri sekeluarga. Supri pernah beralasan sedang sakit dan tidak ingin diganggu. Lalu lelaki tua itu tergopoh-gopoh pulang ke rumahnya dan kembali ke rumah Supri sambil membawa umbi kunyit dan temulawak.
Ia juga bilang akan meminta kesembuhan pada doa yang dipanjatkan selepas shalat. Lalu lelaki tua itu benar-benar pulang tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan Supri sekeluarga yang kemudian sibuk bersenda gurau di depan televisi. Menertawai lelaki tua yang kakinya menginjak kotoran kerbau dalam drama komedi di layar kaca.
Seperti apa Simbah sekarang, tanya Supri dalam batin selama perjalanan. Ia pasti senang aku akhirnya main juga ke rumahnya, seperti yang dulu sering dipintanya. Aku yang berbalik membutuhkannya sekarang. Ada banyak yang ingin kuceritakan.
Sopir membawa mobil dengan kecepatan sedang. Tiga jam kemudian mereka sampai di tujuan. Namun, alangkah terkejutnya Supri, rumah kayu dipadu bambu lelaki itu sudah tidak ada lagi. Berganti kebun jagung subur yang entah empunya siapa.
Beberapa anak muda cangkruk di pos ronda. Ke sanalah Supri bertanya.
“Sudah dibawa Izrail,” jawab salah satu pemuda. Pemuda yang lain menimpalinya dengan tawa. Lalu pemuda yang menjawab tadi segera memalingkan muka dari Supri dan kembali bercanda dengan sesamanya.
Dada Supri bergemuruh. Ia melihat dirinya kini serupa lelaki tua itu pada masa lalu. Dan melihat dirinya pada masa lalu dalam diri anak-anak muda itu kini. Supri mendongak. Lelaki tua itu sedang tertawa di langit indah sana. (***)
Posting Komentar untuk "Supri dan Tamu yang Menjengkelkan | Cerpen Pasini"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar