Iklan Atas

Blogger Jateng

Warung Padang Tetangga | Cerpen Ratna Ayu Budhiarti


Nasib memiliki rumah bertetangga dengan pemilik warung nasi padang itu ibarat perempuan yang kenyang dengan rayuan gombal.

Setiap hari, aroma rempah masakan khas nasi padang itu menyapa penciuman. Di jam-jam tertentu, aroma masakan seperti rayuan disertai ajakan untuk merelakan diri dibelai-belai sepenuh hasrat. Bahkan kadang kala hasrat itu minta dituntaskan menjadi sepiring nasi hangat yang masih mengepul, potongan rendang atau ikan, disiram kuah gulai dan rendang di atas sayur daun singkong, ditambah sambal hijau sebagai topping.

Udara panas ketika menyantap rasa pedas masakan ini berlomba dengan desahan puas, sesekali berseru: “tambo ciek!” seolah dunia milik sendiri dan diet adalah daftar terakhir dari seratus pantangan yang diingat. Begitulah imajinasiku tentang menikmati masakan padang langsung di tempatnya.

Kau tahu bagaimana rayuan maut lelaki, bukan? Sederetan julukan untuk lelaki perayu sudah banyak dikenal, mulai dari cassanova, don juan, buaya darat, hingga lelaki hidung belang. Sebutan ini tidak pernah mengenal kasta dan strata sosial. Setiap lelaki yang pandai merayu perempuan dan mengakibatkan perempuan mudah terjatuh dalam pelukan, mendapat julukan yang serupa. Dan perempuan, sering kali lupa diri ketika dimabuk rayuan.

Bagi perempuan yang kebetulan pernah berjumpa dengan beragam tipe lelaki, meskipun sudah hafal berbagai jurus rayuan, ada perasaan senang diam-diam. Itu terbukti dari rona merah di pipi yang menyemburat tiba-tiba begitu terkena rayuan yang menggetarkan. Anehnya pula, meski tahu rayuan itu hanya gombalan untuk menyenangkan hati, perempuan tidak pernah kapok menerimanya.

Begitupun yang terjadi padaku setiap hari. Hidungku sering sekali dirayu oleh aroma masakan padang dari dapur tetangga. Dan walaupun tahu tak mungkin memakan masakan padang itu setiap hari, aku tak pernah merasa keberatan perutku digombali imajinasi, mereka-reka bagaimana olahan makanan itu dikerjakan. Apakah mereka jorok atau berseka selama memasak? Pertanyaan yang mirip dengan ini: gombalan apa yang akan dia berikan berikutnya, apakah rayuan lelaki ini dilontarkan pula pada perempuan lainnya? Mirip bukan?

Jangan protes, sebaiknya kau iyakan saja perumpamaan suka-suka itu. Kerap kali aku juga merasa kenyang dengan gombalan aroma masakan padang tetangga, seperti aku merasa kenyang dengan rayuan gombal para lelaki. Walaupun tetap saja, suatu kali aku terjebak dan bagai dicucuk hidung menuruti hasrat dasar; mengenyangkan perut.

Sejak pukul enam atau setengah tujuh, dari dinding dapur tetangga yang bersebelahan dengan batas kolam, sudah terdengar suara anggota keluarga bertimpalan. Kadang terdengar sapaan sang kakek atau nenek menyapa cucu balitanya yang baru saja bangun. Tak lama suara ayah si balita itu turut pula menghangatkan suasana, mengajak sang anak bercanda. Kadang-kadang terdengar tangisan anak-anak yang berebut entah apa. Oya, anak balita itu sepasang kembar yang cantik dan ganteng. Mereka lucu dan menggemaskan sekali. Suara ibu balita jarang terdengar, mungkin karena pembawaannya yang tidak cerewet. Iya, sejauh yang kutahu sekilas, sebab aku tak pernah sempat bicara lama dengan mereka.

Pada pukul setengah delapan pagi, biasanya mulai terdengar suara desis pressure cooker atau kita biasa menyebutnya panci presto. Pasti mereka sedang merebus daging sapi. Berturutan dengan itu, aroma ikan kembung goreng menyeruak ke udara sekira pukul sembilan. Aku yakin, tanpa perlu melihat, aroma ikan yang sudah dimarinasi dengan garam dan jeruk nipis telah digulingkan dalam bumbu halus campuran bawang putih, bawang merah, dan kunyit, kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang kecoklatan.

Kau tahu, di hari-hari tertentu ketika aku berlatih yoga pada jam mereka memasak, sering kali pikiranku tak bisa fokus pada asana yang sedang dipelajari. Godaan datang terutama ketika sudah lama tak memakan masakan padang, dan lidah sedang sangat rindu pada pesona rasa yang memikat lidah. Tentu bisa kau bayangkan bagaimana aku seolah diburu menyelesaikan latihan karena ingin segera lari membeli rendang dan perkedel, meminta tambahan kuah rendang disiramkan lebih banyak di atas sayur daun singkong dengan sedikit sambal hijau.

Biasanya aku jarang sekali membeli porsi komplet dengan nasi, sebab sudah ada nasi di rumah. Aku hanya mengidamkan lauknya saja. Sesekali, ketika keengganan memasak itu tiba, walau hanya tinggal memencet tombol majic jar untuk memasak nasi, ke sanalah aku pergi, warung nasi padang tetangga. Kalau sedang beruntung bertemu Uni, sang nenek balita, sebungkus nasi putih hangat seharga lima ribu rupiah sering dibonusi potongan ayam goreng. Sering kali kutolak, karena aku memang hanya hendak membeli nasi.

“Jangan Uni, ini cuma perlu nasi aja, malas masak, tapi mau sekalian menghabiskan lauk kemarin,” kutolak halus pemberiannya. Dan sesering itu pula Uni memaksa memasukkan potongan ayam goreng itu ke dalam kertas nasi.

“Biarin, enggak apa-apa. Uni kan gak bisa kasih apa-apa sama tetangga.”

Kalau sudah begitu, rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Ibaratnya, rayuan yang tiap hari mampir ke hidung itu berbonus kegembiraan sebuah pembuktian cinta yang nyata. Kumaknai itu sebagai wujud cinta Uni, sang tetangga.

*****

Setiap hari, rutinitas memasak mereka tidak pernah berubah. Pagiku diramaikan dengan cicit burung setiap membuka jendela kamar di lantai dua, disambung suara celotehan tetangga di dapur mereka, sebelum akhirnya aku pun sibuk dengan rutinitas pagiku sendiri. Membereskan ruangan dan mulai bekerja di depan layar komputer setelahnya.

Aku memang seseorang yang sangat betah berdiam di rumah. Bisa berhari-hari hanya keluar beberapa langkah saja ke teras depan, ke samping rumah, atau kebun belakang. Jadi bisa saja, aku tidak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Dan aku kadung nyaman dengan kebiasaan tersebut.

Sudah beberapa hari ini, rayuan aroma masakan padang tak pernah mampir lagi ke hidungku. Awalnya tak terlalu kuperhatikan. Tapi lama-lama penasaran juga, kenapa pada setiap jam biasa, suara kesibukan memasak saling bertingkah antara blender yang menguarkan aroma cabai sebelum jadi sambal, suara desis panci presto, dan seruan-seruan lain, tak pernah lagi menggodaku untuk membayangkan bagaimana mereka mengolah masakan yang lezat.

Akhirnya kudatangi warung nasi tetanggaku, untuk memastikan mereka masih berjualan, sekaligus melihat apakah mereka memang berada di rumah atau sedang mudik ke kampung halaman. Kemungkinan kedua rasanya sangat tidak mungkin, sebab di masa penjarakan sosial karena virus Corona ini, semua orang dilarang bepergian.

Aktivitas masyarakat serba dibatasi. Pasar tradisional hanya dibolehkan beroperasi dari pukul lima pagi hingga pukul satu siang. Tukang ojek pangkalan menunjukkan wajah-wajah lesu, pedagang makanan keliling ragu-ragu. Semua dilanda kekhawatiran yang besar terhadap virus yang menyerang seluruh negara di dunia dengan serempak. Dan karena pada dasarnya aku jarang keluar rumah untuk hal yang tidak terlalu penting, pemberlakuan peraturan untuk diam di rumah saja rasanya tidak terlalu menyiksa.

Rasa heran masih menaungi pagiku karena rutinitas yang hilang. Ibarat seorang perempuan yang gelisah bertanya mengapa hari-hari belakangan tak pernah lagi mendapatkan rayuan gombal lelakinya. Apakah sudah pindah ke lain hati atau sedang jenuh? Rasanya tetanggaku tak mungkin pindah, karena mereka belum setahun membangun rumah di atas lahan warisan ayahku yang sudah terjual itu. Kecil kemungkinan pula mereka jenuh lalu beralih pada bisnis lainnya. Di kota kecil ini, warung nasi mereka merupakan satu-satunya yang menjual cita rasa masakan padang dengan baik. Jadi pasti tak ada saingan. Pelanggannya akan kehilangan jika mereka tutup.

Kumantapkan langkah kaki menuju warung tetangga. Tak ada aroma rempah yang gurih. “Dek, lho, buka ya ternyata,” kusapa menantu Uni yang sedang berjaga di warungnya.

“Iya Mbak, buka kok. Tapi ya begitu, tidak seramai kalau normal. Mbaknya mau cari apa?” perempuan manis ini selalu mengakhiri kalimat dengan senyum ramah.

“Gak, Dek. Lihat-lihat aja. Sudah makan tadi. Syukurlah kalau masih buka. Kalau saya malas masak, tinggal lari kemari,” aku menyembunyikan motif asliku mendatanginya. Buru-buru aku pamit dengan alasan kebetulan lupa memakai masker.

Lega rasanya menjumpai mereka masih berjualan seperti biasa. Walau aku tak berani bertanya, kapan mereka memasak dan tetap berjualan dengan menu yang sama: gulai, rendang, perkedel, ikan kembung, balado, ayam pop, telur dadar, tempe, teri terong cabai hijau, sayur nangka, sayur daun singkong, dan yang terpenting: sambal hijau. Kau mungkin bertanya bagaimana aku bisa memastikan semua menu lengkap. Kuberi tahu, setiap kubeli salah satu menu, sambil memerhatikan Uni atau siapa pun mengambil pesanan, kuamati makanan itu satu per satu. Dan karena mereka tidak pernah mengubah posisinya, aku hafal dengan sendirinya, di piring tumpukan ke berapa letak jenis-jenis makanan itu.

Pernah suatu hari aku bertanya sambil berkelakar setelah Uni lagi-lagi memberi bonus, kali itu potongan rendang. Aku pesan dua, Uni memasukkan tiga potong. “Un, selain resep turun-temurun, ada ritual khusus atau pantangankah biar masakannya terasa lezat begini?” kulontarkan pujian di ujung pertanyaan.

“Ah, Adek nih. Enggaklah, masak ya biasa aja. Harus bersih, harus hati-hati. Oya, masaknya harus gembira biar masakannya enak.” Uni menanggapi sambil tertawa.

“Yakin nih, Uni, cuma itu saja? Pakai jampi-jampi gak, Un? Kan suka ada tuh pedagang lain yang kalau pagi-pagi menciprat-cipratkan air cucian beras di sekeliling gerobak atau di halaman kedainya sambil komat-komit seperti membaca sesuatu. Atau ada pantangan gak boleh jualan hari Senin.”

Aku tetap mengejarnya dengan pertanyaan berdasarkan pengamatanku pada kedai minuman coklat di seberang jalan.

“Hahaha… Enggak lah. Ya paling Uni sih pantang masak dilihat orang lain selain orang rumah. Bukan apa-apa sih, takutnya grogi. Ini, Dek, lima belas ribu aja,” Uni menyorongkan pesanan sebagai tanda menutup percakapan.

Perbincangan itu terjadi dua minggu lalu, sebelum aku dilanda rasa penasaran luar biasa tentang isi dapur mereka, bagaimana mereka mengolah semua bahan makanan agar bisa jadi hidangan paling diburu oleh para penikmat masakan berempah.

Pagi lain lagi-lagi rayuan aroma masakan padang mengusikku. Selalu begitu, sesuai jadwal mereka memasak. Kebetulan Mang Udin baru saja membetulkan tepian kolam ikan yang berbatasan dengan dapur tetanggaku itu. Batu-batu besar disusun di atas pematang. Entah mendapat bisikan dari mana, aku mendekati dapur mereka, mencari batu yang lebih tinggi setelah menaiki pematang kolam. Ada lubang kecil yang bisa dijadikan celah untuk mengintip. Aku terbelalak melihat pemandangan di dapur itu. Saking kagetnya, aku terpeleset dan tercebur ke kolam, mengagetkan ikan-ikan. Celotehan tetanggaku langsung terhenti. Kuduga mereka sedang saling lirik dan bertanya-tanya. Ah, keisenganku itu memang bukan untuk diulang.

*****

Sudah menginjak minggu ketiga, aku masih tak bisa mencium aroma masakan tetangga. Aku rindu mendengar seruan dan celotehan mereka di dapur. Aku rindu otakku dirayu untuk memakan masakan padang. Tapi sudah terbukti, mereka masih berjualan. Baiklah, akan kuobati kerinduan itu dengan membeli saja masakan mereka. Kadang-kadang rindu memang aneh.

“Uni, saya mau perkedel tiga, ikan kembung dua ya. Minta kuah rendangnya juga.”

“Siap, Dek!” cekatan tangan Uni melayani.

“Mmm…Uni, maaf, kalau boleh tahu, Uni sekarang masak pukul berapa ya? Kok saya gak pernah dengar lagi suara ramai di dapur? Bahkan aroma rendang yang selalu menggoda itu tak pernah lagi saya cium.” Akhirnya aku tak tahan bertanya.

Uni mendadak menghentikan gerakannya. Wajahnya segera berbalik, matanya menatapku tajam.

“Adek mengintip dapur Uni?” (
-)

Posting Komentar untuk "Warung Padang Tetangga | Cerpen Ratna Ayu Budhiarti"