Hari-hari di pengujung semester ini, ia harus menghitung semua jenis penilaian untuk mendapatkan nilai akhir. Nilai yang menjadi nilai laporan pendidikan. Menjadi wali kelas, lalu menulis nilai akhir rapor di kelas terakhir SMP, itu berarti sangat mempertimbangkan berbagai aspek. Tidak saja aspek pengetahuan dan keterampilan, juga aspek sikap sosial dan spiritual.
Terhadap aspek yang terakhir ini, Daniel harus melengkapi data kesiswaan pada hampir tiga puluhan siswa di kelasnya. Daniel kembali meneguk secangkir kopi di meja kerjanya.
Pagi ini masih sepi. Elisabet, rekan guru seruangan, belum juga tiba. Ia sebenarnya ingin menanyakan catatan tentang siswa-siswi satu per satu karena Elisabet, guru bahasa Indonesia itu, sebelumnya menjadi wali kelas dari siswa-siswinya sekarang. Sejak beberapa hari ini, pesoalan mendeskripsikan nilai sikap, entah spiritual maupun sosial, menjadi pekerjaan yang sungguh berat karena tak ada satu pun catatan tentang kepribadian siswa-siswinya.
“Apakah dideskripisikan seadanya?” gumamnya dalam hati, “Tentu tidak mungkin.”
Ia coba menghubungi Elisabet via gawai, tetapi tidak tersambung. Daniel hanya bersabar, semoga saja hari ini ibu guru itu segera datang. Semua nilai siswa telah dikalkulasikan hingga diperoleh nilai akhir, selanjutnya disampaikan ke panitia ujian.
Daniel meneliti daftar nilai. Masih tersisa empat siswa. Keempatnya belum memiliki nilai. Ia pernah menghubungi keempat siswa tersebut. Tiga siswa lainnya tersambung ke nomor teleponnya masing-masing.
“Siap, Pak!” terdengar suara orang tua saat Daniel menghubungi salah satu siswanya.
Orang tua itu mengabarkan jika anaknya akan mengirimkan tugas-tugas yang diberikan guru. Daniel lalu mengecek beberapa guru mata pelajaran. Alhasil, siswa-siswa itu hanya mengirimkan dua tugas untuk dua mata pelajaran.
“Pantas saja, belum semua kolom terisi,” sungut Daniel.
Setelah menghubungi yang satu, Daniel kembali menghubungi siswa lainnya. Siswa itu adalah Emanuel. Ia ingat betul sangat sulit menghubungi siswa ini. Ia kemudian baru mengetahui dari Ibu Elisabet jika siswa ini memiliki catatan khusus.
“Siswa ini sering absen,” jelas Elisabet sambil merapikan buku-bukunya.
“Bukan saja sehari, malah berminggu,” tegasnya.
Elisabet mengamati beberapa catatan wali kelas yang disimpannya.
“Karena itu pula nilainya sangat merosot,” jelasnya lebih lanjut.
“Apakah mungkin ada persolan yang lebih berat?” potong Daniel mencermati penjelasan Elisabet.
“Itu yang hendak kusampaikan, Pak!” terang Elisabet.
Emanuel itu seorang yatim piatu yang diampu saudara sepupunya. Kehidupan saudara sepupunya juga cukup memprihatinkan karena pekerjaannya serabutan. Kebiasaan kumpul-kumpul dengan teman-temanya menyebabkan ia jarang di rumah. Hal ini menyebabkan ia sering berseteru dengan pengampunya. Ketidakharmonisan itu menyebabkan Emanuel sering berpindah-pindah rumah. Dari teman yang satu, ke teman lain. Kepahitan hidup itu dialaminya selama dua tahun belakangan.
Daniel terus mendengarkan kisah Emanuel dari Elisabet, wali kelasnya terdahulu.
“Tetapi, ia sendiri mau menyelesaikan pendidikannya!” tegas Elisabet.
Daniel tafakur di meja kerjanya. Ia baru memahami jika wali Emanuel sulit dihubungi karena kesulitan Emanuel, siswa di kelasnya. Ia mendengar kabar dari teman-temannya jika Emanuel berlibur ke pulau seberang bersama temannya. Mereka pun hilang kabar tentangnya semenjak kepergiannya.
Ibu Elisabet pun berkisah lebih lanjut jika ia pernah melakukan kunjungan rumah, tetapi tidak menemui Emanuel. Ia baru bertemu Emanuel tiga hari kemudian di rumah temannya. Saat ia tiba di rumah temannya, Emanuel baru kembali dari pasar. Ia berjualan kemasan plastik. Ia menawarkan jasanya kepada pembeli sayur juga ikan. Uang yang terkumpul kadang dijadikan uang jajan. Di rumah temannya itu, ia menumpang tidur. Walaupun demikian, orang tua temannya ini juga merasa bersyukur atas keberadaan Emanuel. Bersama Emanuel, anaknya memiliki teman. Mereka kadang belajar atau berdiskusi bersama.
“Miris memang nasib Emanuel, Pak,” kata Elisabet. “Tetapi, niatnya untuk bersekolah itu mungkin menjadi pertimbangan tersendiri.”
Emanuel anak tunggal keluarga dari negara tetangga. Ia diselamatkan salah seorang tetangga ketika orang tuanya meninggal karena perang saudara. Ketika tinggal di kota ini, ia semula bersama saudaranya.
Penjelasan Elisabet ini melengkapi pengetahuan Daniel tentang kehidupan Emanuel. Daniel kembali melihat daftar nilai yang masih ada di atas mejanya. Tidak satu pun nilai, entah tugas, penilaian harian, penilaian tengah semester, juga penilaian akhir semester.
“Apalagi untuk nilai keterampilan. Bagaimana pula dengan mata pelajaran lainnya?” Daniel membatin.
Pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ini membuat Daniel mengalami kesulitan melakukan kunjungan rumah. Belum lagi, tak satu pun identitas anak ini diketahuinya karena sebelumnya ia tidak pernah mengajar siswa-siswi ini. Ia baru akan bertemu dengan mereka pada pembelajaran tahun ini, tetapi pandemi Covid-19 mengharuskan mereka melakukan pembelajaran secara daring.
Sedikit keterangan Elisabet membuka titik terang tentang siswanya yang satu ini. Daniel memasuki ruang rapat guru. Beberapa menit lalu, rapat dimulai dengan agenda rapat mendengarkan laporan penilaian. Kini, saatnya pembahasan nilai untuk siswa-siswi di kelasnya. Emanuel satu siswa yang diperbincangkan. Beberapa guru mengetahui perihal siswa yang satu ini sehingga mereka menyampaikan persoalan utama yang dihadapi Emanuel. Karena kealpaannya, pada beberapa mata pelajaran belum satu pun nilai yang tertulis di daftar nilai.
“Bagaimana wali kelas?” kepala sekolah bertanya kepada Daniel.
“Sampai sejauh ini, sudah dihubungi berkali-kali tetapi belum juga mendapatkan jawaban,” jawab Daniel. “Informasi terakhir, ia berlibur ke pulau seberang bersama temannya.”
Situasi rapat hening sejenak. Guru-guru yang pernah bertatap muka dengan Emanuel sangat mengetahui kondisi Emanuel. Mereka juga sangat prihatin, bahkan peduli dengan niatnya menamatkan pendidikannya. Ia memang sering absen, tetapi jika bersekolah ia termasuk anak yang rajin. Ia juga rendah hati walau tidak terlalu cerdas.
Persoalan pribadi yang dialaminya bukanlah penghalang baginya untuk berteman dengan siapa saja. Hidup sebatang kara tidak menjadi momok bagi Emanuel menjadi seorang humanis. Ia bahkan bisa berlama-lama bercerita dengan bapak ibu gurunya di sekolah saat senggang atau jeda sekolah. Baginya, orang yang lebih dewasa darinya itu adalah orang tuanya. Oleh karenanya, kepada bapak ibu guru ia tak sungkan bercerita atau berkeluh-kesah.
Hal itulah yang menyebabkan guru-guru juga merindukan kehadirannya di sekolah. Masa pandemi Covid-19 menjadi masa penantian, tetapi sejauh itu pula Emanuel belum kelihatan batang hidungnya.
“Saya bertemu Emnuel di jalanan beberapa hari lalu,” ujar guru IPS tiba-tiba menginformasikan keberadaan Emanuel.
Semua mata guru tertuju kepada guru IPS tersebut, seolah ingin mendengarkan apa gerangan cerita tentang Emanuel.
“Memang saya sempat bertanya tentang kelalaiannya mengirimkan tugas, tetapi ia hanya terdiam,” jelas guru IPS itu lebih lanjut. Guru IPS yang itu pun menyampaikan jika Emanuel itu berlalu darinya setelah ia melihat matanya berlinang. Emanuel tidak mengabarkan sesuatu pun kepada guru IPS-nya itu dan segera pergi.
Guru IPS itu sangat merasakan persoalan yang dialami Emanuel, tetapi sejauh itu pula Emanuel memendam perasaannya. Tidak seperti Emanuel yang ia kenal sebelumnya. Belajar dari rumah beberapa bulan sepertinya mengubah Emanuel menjadi orang yang tertutup.
Daniel tidak mendapatkan jawaban apa pun tentang Emanuel. Ia hanya berupaya memahami pernyataan pimpinan rapat bahwa anak tersebut harus dibantu. Daniel bagai menghadapi pilihan yang memberatkan. Bagai menghadapi buah simalakama, dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah. Ia masih melihat kolom-kolom pada daftar nilai yang belum terisi angka-angka sebagai perolehan nilai.
Menuliskan nilai pengetahuan dan keterampilan dalam daftar nilai tanpa data sedikit pun tentang perkembangan belajar Emanuel atau harus menuliskannya karena keprihatinan? Sungguh sebuah tanggung jawab moral dipertaruhkan. Belum lagi, di akhir semester ini akan ada pembagian rapor. Itu artinya, sebagai wali kelas sudah harus menuliskan nilai-nilai itu ke dalam rapor tersebut.
Kegerahan setelah gerimis di tanah kering bebatuan ini tidak menyurutkan niat Daniel untuk menemui Emanuel. Informasi dari guru IPS belumlah lengkap.
Ia selalu berharap keikhlasan hati menemui Emanuel mendapatkan jalan terbuka. Paling tidak, ia bisa menghapus warna kuning pada kolom-kolom daftar nilai. Kolom-kolom itu bagi guru Daniel, akan terisi nilai jika siswa-siswinya telah mengerjakan tugas-tugas guru. Ia pun sempat berencana memberi warna merah jika siswa-siswinya tetap membangkang atau sangat tidak mengindahkan tugas-tugas guru. Walaupun demikian, hal tersebut tidak bagi Emanuel.
Musim hujan bulan ini tak henti-hentinya menurunkan gerimis. Seolah mengademkan bumi dan hati gerah ketika ikhtiar belum terjawab. Tatapan Dainel masih mendua pada kolom-kolom berwarna kuning. Pada hati nelangsa dari hidup seorang yatim piatu di suatu negara yang bukan tanah airnya atau pada kinerja dari otak dan otot tak pernah lelah menopang hidup.
Hingga pagi subuh ini, sang guru telah menetapkan pilihan tentang kolom-kolom yang berwarna kuning. Ia belum memberi warna merah karena kendala dan persoalan siswanya pada masa-masa pandemi Covid tentu beragam. Ia sematkan dalam litani doa agar hati tak pernah berdosa jika harus menyelamatkan si yatim piatu yang masih memiliki sejumput asa.
Harapan akan secercah sukses yang menopang sejumput hidup, walau kini seorang Emanuel bak gabus terombang-ambing diempas gelombang laut pantai. Atau bahkan mungkin bagai burung-burung pipit yang bertengger pada ranting-ranting rapuh di batas kota. Sebentar-sebentar harus berpindah ke ranting lainnya bila ranting tersebur patah. Guru Daniel tak hendak melihat kerapuhan ranting itu pada seorang Emanuel. (*)
Terhadap aspek yang terakhir ini, Daniel harus melengkapi data kesiswaan pada hampir tiga puluhan siswa di kelasnya. Daniel kembali meneguk secangkir kopi di meja kerjanya.
Pagi ini masih sepi. Elisabet, rekan guru seruangan, belum juga tiba. Ia sebenarnya ingin menanyakan catatan tentang siswa-siswi satu per satu karena Elisabet, guru bahasa Indonesia itu, sebelumnya menjadi wali kelas dari siswa-siswinya sekarang. Sejak beberapa hari ini, pesoalan mendeskripsikan nilai sikap, entah spiritual maupun sosial, menjadi pekerjaan yang sungguh berat karena tak ada satu pun catatan tentang kepribadian siswa-siswinya.
“Apakah dideskripisikan seadanya?” gumamnya dalam hati, “Tentu tidak mungkin.”
Ia coba menghubungi Elisabet via gawai, tetapi tidak tersambung. Daniel hanya bersabar, semoga saja hari ini ibu guru itu segera datang. Semua nilai siswa telah dikalkulasikan hingga diperoleh nilai akhir, selanjutnya disampaikan ke panitia ujian.
Daniel meneliti daftar nilai. Masih tersisa empat siswa. Keempatnya belum memiliki nilai. Ia pernah menghubungi keempat siswa tersebut. Tiga siswa lainnya tersambung ke nomor teleponnya masing-masing.
“Siap, Pak!” terdengar suara orang tua saat Daniel menghubungi salah satu siswanya.
Orang tua itu mengabarkan jika anaknya akan mengirimkan tugas-tugas yang diberikan guru. Daniel lalu mengecek beberapa guru mata pelajaran. Alhasil, siswa-siswa itu hanya mengirimkan dua tugas untuk dua mata pelajaran.
“Pantas saja, belum semua kolom terisi,” sungut Daniel.
Setelah menghubungi yang satu, Daniel kembali menghubungi siswa lainnya. Siswa itu adalah Emanuel. Ia ingat betul sangat sulit menghubungi siswa ini. Ia kemudian baru mengetahui dari Ibu Elisabet jika siswa ini memiliki catatan khusus.
“Siswa ini sering absen,” jelas Elisabet sambil merapikan buku-bukunya.
“Bukan saja sehari, malah berminggu,” tegasnya.
Elisabet mengamati beberapa catatan wali kelas yang disimpannya.
“Karena itu pula nilainya sangat merosot,” jelasnya lebih lanjut.
“Apakah mungkin ada persolan yang lebih berat?” potong Daniel mencermati penjelasan Elisabet.
“Itu yang hendak kusampaikan, Pak!” terang Elisabet.
Emanuel itu seorang yatim piatu yang diampu saudara sepupunya. Kehidupan saudara sepupunya juga cukup memprihatinkan karena pekerjaannya serabutan. Kebiasaan kumpul-kumpul dengan teman-temanya menyebabkan ia jarang di rumah. Hal ini menyebabkan ia sering berseteru dengan pengampunya. Ketidakharmonisan itu menyebabkan Emanuel sering berpindah-pindah rumah. Dari teman yang satu, ke teman lain. Kepahitan hidup itu dialaminya selama dua tahun belakangan.
Daniel terus mendengarkan kisah Emanuel dari Elisabet, wali kelasnya terdahulu.
“Tetapi, ia sendiri mau menyelesaikan pendidikannya!” tegas Elisabet.
Daniel tafakur di meja kerjanya. Ia baru memahami jika wali Emanuel sulit dihubungi karena kesulitan Emanuel, siswa di kelasnya. Ia mendengar kabar dari teman-temannya jika Emanuel berlibur ke pulau seberang bersama temannya. Mereka pun hilang kabar tentangnya semenjak kepergiannya.
Ibu Elisabet pun berkisah lebih lanjut jika ia pernah melakukan kunjungan rumah, tetapi tidak menemui Emanuel. Ia baru bertemu Emanuel tiga hari kemudian di rumah temannya. Saat ia tiba di rumah temannya, Emanuel baru kembali dari pasar. Ia berjualan kemasan plastik. Ia menawarkan jasanya kepada pembeli sayur juga ikan. Uang yang terkumpul kadang dijadikan uang jajan. Di rumah temannya itu, ia menumpang tidur. Walaupun demikian, orang tua temannya ini juga merasa bersyukur atas keberadaan Emanuel. Bersama Emanuel, anaknya memiliki teman. Mereka kadang belajar atau berdiskusi bersama.
“Miris memang nasib Emanuel, Pak,” kata Elisabet. “Tetapi, niatnya untuk bersekolah itu mungkin menjadi pertimbangan tersendiri.”
Emanuel anak tunggal keluarga dari negara tetangga. Ia diselamatkan salah seorang tetangga ketika orang tuanya meninggal karena perang saudara. Ketika tinggal di kota ini, ia semula bersama saudaranya.
Penjelasan Elisabet ini melengkapi pengetahuan Daniel tentang kehidupan Emanuel. Daniel kembali melihat daftar nilai yang masih ada di atas mejanya. Tidak satu pun nilai, entah tugas, penilaian harian, penilaian tengah semester, juga penilaian akhir semester.
“Apalagi untuk nilai keterampilan. Bagaimana pula dengan mata pelajaran lainnya?” Daniel membatin.
Pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ini membuat Daniel mengalami kesulitan melakukan kunjungan rumah. Belum lagi, tak satu pun identitas anak ini diketahuinya karena sebelumnya ia tidak pernah mengajar siswa-siswi ini. Ia baru akan bertemu dengan mereka pada pembelajaran tahun ini, tetapi pandemi Covid-19 mengharuskan mereka melakukan pembelajaran secara daring.
Sedikit keterangan Elisabet membuka titik terang tentang siswanya yang satu ini. Daniel memasuki ruang rapat guru. Beberapa menit lalu, rapat dimulai dengan agenda rapat mendengarkan laporan penilaian. Kini, saatnya pembahasan nilai untuk siswa-siswi di kelasnya. Emanuel satu siswa yang diperbincangkan. Beberapa guru mengetahui perihal siswa yang satu ini sehingga mereka menyampaikan persoalan utama yang dihadapi Emanuel. Karena kealpaannya, pada beberapa mata pelajaran belum satu pun nilai yang tertulis di daftar nilai.
“Bagaimana wali kelas?” kepala sekolah bertanya kepada Daniel.
“Sampai sejauh ini, sudah dihubungi berkali-kali tetapi belum juga mendapatkan jawaban,” jawab Daniel. “Informasi terakhir, ia berlibur ke pulau seberang bersama temannya.”
Situasi rapat hening sejenak. Guru-guru yang pernah bertatap muka dengan Emanuel sangat mengetahui kondisi Emanuel. Mereka juga sangat prihatin, bahkan peduli dengan niatnya menamatkan pendidikannya. Ia memang sering absen, tetapi jika bersekolah ia termasuk anak yang rajin. Ia juga rendah hati walau tidak terlalu cerdas.
Persoalan pribadi yang dialaminya bukanlah penghalang baginya untuk berteman dengan siapa saja. Hidup sebatang kara tidak menjadi momok bagi Emanuel menjadi seorang humanis. Ia bahkan bisa berlama-lama bercerita dengan bapak ibu gurunya di sekolah saat senggang atau jeda sekolah. Baginya, orang yang lebih dewasa darinya itu adalah orang tuanya. Oleh karenanya, kepada bapak ibu guru ia tak sungkan bercerita atau berkeluh-kesah.
Hal itulah yang menyebabkan guru-guru juga merindukan kehadirannya di sekolah. Masa pandemi Covid-19 menjadi masa penantian, tetapi sejauh itu pula Emanuel belum kelihatan batang hidungnya.
“Saya bertemu Emnuel di jalanan beberapa hari lalu,” ujar guru IPS tiba-tiba menginformasikan keberadaan Emanuel.
Semua mata guru tertuju kepada guru IPS tersebut, seolah ingin mendengarkan apa gerangan cerita tentang Emanuel.
“Memang saya sempat bertanya tentang kelalaiannya mengirimkan tugas, tetapi ia hanya terdiam,” jelas guru IPS itu lebih lanjut. Guru IPS yang itu pun menyampaikan jika Emanuel itu berlalu darinya setelah ia melihat matanya berlinang. Emanuel tidak mengabarkan sesuatu pun kepada guru IPS-nya itu dan segera pergi.
Guru IPS itu sangat merasakan persoalan yang dialami Emanuel, tetapi sejauh itu pula Emanuel memendam perasaannya. Tidak seperti Emanuel yang ia kenal sebelumnya. Belajar dari rumah beberapa bulan sepertinya mengubah Emanuel menjadi orang yang tertutup.
Daniel tidak mendapatkan jawaban apa pun tentang Emanuel. Ia hanya berupaya memahami pernyataan pimpinan rapat bahwa anak tersebut harus dibantu. Daniel bagai menghadapi pilihan yang memberatkan. Bagai menghadapi buah simalakama, dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah. Ia masih melihat kolom-kolom pada daftar nilai yang belum terisi angka-angka sebagai perolehan nilai.
Menuliskan nilai pengetahuan dan keterampilan dalam daftar nilai tanpa data sedikit pun tentang perkembangan belajar Emanuel atau harus menuliskannya karena keprihatinan? Sungguh sebuah tanggung jawab moral dipertaruhkan. Belum lagi, di akhir semester ini akan ada pembagian rapor. Itu artinya, sebagai wali kelas sudah harus menuliskan nilai-nilai itu ke dalam rapor tersebut.
Kegerahan setelah gerimis di tanah kering bebatuan ini tidak menyurutkan niat Daniel untuk menemui Emanuel. Informasi dari guru IPS belumlah lengkap.
Ia selalu berharap keikhlasan hati menemui Emanuel mendapatkan jalan terbuka. Paling tidak, ia bisa menghapus warna kuning pada kolom-kolom daftar nilai. Kolom-kolom itu bagi guru Daniel, akan terisi nilai jika siswa-siswinya telah mengerjakan tugas-tugas guru. Ia pun sempat berencana memberi warna merah jika siswa-siswinya tetap membangkang atau sangat tidak mengindahkan tugas-tugas guru. Walaupun demikian, hal tersebut tidak bagi Emanuel.
Musim hujan bulan ini tak henti-hentinya menurunkan gerimis. Seolah mengademkan bumi dan hati gerah ketika ikhtiar belum terjawab. Tatapan Dainel masih mendua pada kolom-kolom berwarna kuning. Pada hati nelangsa dari hidup seorang yatim piatu di suatu negara yang bukan tanah airnya atau pada kinerja dari otak dan otot tak pernah lelah menopang hidup.
Hingga pagi subuh ini, sang guru telah menetapkan pilihan tentang kolom-kolom yang berwarna kuning. Ia belum memberi warna merah karena kendala dan persoalan siswanya pada masa-masa pandemi Covid tentu beragam. Ia sematkan dalam litani doa agar hati tak pernah berdosa jika harus menyelamatkan si yatim piatu yang masih memiliki sejumput asa.
Harapan akan secercah sukses yang menopang sejumput hidup, walau kini seorang Emanuel bak gabus terombang-ambing diempas gelombang laut pantai. Atau bahkan mungkin bagai burung-burung pipit yang bertengger pada ranting-ranting rapuh di batas kota. Sebentar-sebentar harus berpindah ke ranting lainnya bila ranting tersebur patah. Guru Daniel tak hendak melihat kerapuhan ranting itu pada seorang Emanuel. (*)
Posting Komentar untuk "Ranting Itu Belum Rapuh | Cerpen Yohanes Joni Liwu "
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar