Udara membakar tubuh. Suhu badan panas. Perut mual. Kadang muntah. Lengkap sudah penderitaan saya. Ini seperti neraka. Kedua mata saya juga panas, jantung saya berdebar keras. Padahal kalau bepergian, saya selalu mematuhi protokol kesehatan, cuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer dan menggunakan masker. Akhirnya istri membawa saya ke dokter, khawatir saya terpapar Corona!
“Bapak tidak terpapar Corona!” dokter yang memakai face shield mendiagnosis.
“Jadi bukan Corona?” istri saya terperanjat senang.
“Bukan.”
“Terus apa, Dok?”
“Ini gejala yang sedang tren. Tadi Bapak bercerita, kalau melihat gambar orang lagi tersenyum, mata Bapak langsung berair. Produksi air mata Bapak jadi banyak.”
“Kok bisa, dok?”
“Bisa, Bu. Kecuali jika Bapak mengambil cara seperti si Badra—si buta dari Goa Hantu, yang memilih membutakan kedua matanya dan menyerahkan segalanya kepada hatinya.”
“Jangan sampai, Dok!” Saya menggeleng kepada istri saya.
“Jadi, persoalan mual, jantung berdebar-debar itu semua disebabkan oleh informasi yang masuk lewat mata. Informasi itu semua diolah oleh saraf di otak dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Ternyata organ-organ di tubuh Bapak menolak.”
Sumpah, saya tidak percaya. Ah, ujung-ujungnya, pastiya duit.
“Rupanya Bapak ini paranoid terhadap pesta demokrasi. Sekarang memang sedang gawat. Bukan hanya Corona, tetapi juga Pilkada serentak.”
“Terus, ada obatnya nggak, Dok?” istri saya gugup.
“Ada. Kalau tidak mau matanya dibutakan seperti si Buta dari Goa Hantu, Bapak istirahat saja di rumah. Kalau pun terpaksa harus keluar rumah, kedua mata Bapak harus ditutup dengan kain hitam yang tidak transparan.”
“Ditutup kain hitam, Pah,” istri saya mengulang.
Saya diam saja.
“Pokoknya, jangan sampai melihat gambar-gambar yang ada di sepanjang jalan itu. Apakah itu gambar iklan makanan, iklan minuman, iklan HP, bendera partai, apalagi gambar para cagub, cawagub, cakot, cawakot, cabup, cawabup, atau baliho para caleg yang sedang tersenyum,” dokter menulis di resep.
Saya gemetar. Saya raih tangan istri. Saya perhatikan ruangan dokter ini bersih; tidak ada gambar apa pun.
“Lebih bagus lagi, Bapak pindah saja ke daerah suku terasing di gunung sana. Baduy Dalam di Banten Selatan, saya rasa, yang masih steril. Tidakakan ada iklan produk, iklan Pilkada, dan iklan partai.”
Wah, ini sudah keterlaluan. Masak saya harus mengasingkan diri ke Baduy! Sedangkan hidup saya sudah dibelit dunia internet!
“Kain transparan saja, Pah?”
Saya mengangguk, setuju dengan keputusan istri.
“Di mana kami bisa mendapatkan kain hitam yang tidak transparan itu, Dok?” istri saya antusias.
“Kalau Bapak tidak tertarik mengasingkan diri ke Baduy Dalam, kain hitam tidak transparan jawabannya,” dokter membuka laci dan menyerahkan kain hitam. “Saya punya banyak stok. Silakan…”
“Nggg…”
“Tidak ada makan siang yang gratis, Bu,” dokter menyodorkan kertas ke hadapan istri saya.
“Iya, Dok,” istri saya menatap kertas itu dan mengangguk.
“Bapak bukan pasien pertama. Bapak bisa bergabung dengan kami. Setiap malam Minggu, kami berkumpul di luar kota. Saya juga ke mana-mana memakai kain hitam ini. Asisten yang menuntun saya,” dokter mengakui keadaannya.
“Jadi, dokter juga…?” nada istri saya tidak percaya.
“Iya, Bu. Saya juga sama, terkena penyakit ‘PilkadaSyndrome’ seperti Bapak…”
Hah! Dokter juga manusia, rupanya! Saya pikir dokter itu kebal penyakit!
“Perkumpulan itu namanya apa, Dok?” istri saya penasaran.
“Orang-orang biasanya menyebut kami goltiblo atau golongan antinyoblos, Bu…”
Istri saya dan saya saling bertatapan.
“Berarti sama juga dengan ‘golput’, Dok? Tidak memilih?”
Dokter tertawa.
“Bagaimana, Pah? Mau gabung nggak?”
Saya tertegun. Demokrasi di Indonesia ini memakan korban para mahasiswa saat Reformasi Mei 1998 yang berdarah. Saya merasa seperti mengkhianati mereka!
“Kesehatan Papah lebih utama. Mamah nggak mau Papah mengambil cara seperti si Badra dari Goa Hantu itu. Mamah masih ingin Papah menikmati kecantikan wajah dan keindahan tubuh Mamah. Mengasingkan diri ke Baduy juga tidak mungkin, Pah. Tau sendiri, setiap detik, HP tidak pernah lepas dari tangan Papah!”
Hmmm!
“Dok, masuk ‘goltiblos’ itu gratis, nggak?” saya ingin tahu.
“Gratis, Pak. Tapi kami tidak langsung menerima. Ada proses wawancara dan tes kebohongan. Soalnya hari-hari ini, ‘goltiblos’ jadi tren. Banyak orang yang ikut-ikutan, gaya-gayaan. Kami ingin ‘goltiblos’ ini memiliki ideologi yang sama dengan ‘golput’ di era orde baru.”
“Suami saya tidak gaya-gayaan, dok!” istri saya tegas.
“Ya, sudah. Sekarang Ibu bawa pulang Bapak, ya. Pakai dulu kain hitamnya. Soalnya, sekeluar dari ruangan saya yang bersih dari gambar-gambar ini, ibu tahukan begitu banyak gambar orang tersenyum di depan klinik saya.”
Saya mengangguk. Saya langsung meminta istri memasangkan kain hitam tidak transparan, menutupi kedua mata saya. Istri menuntun saya hati-hati ke dalam mobil.
Sopir yang memakai kaca mata hitam langsung bersuara, “Tuan?” nadanya merasa aneh. “Lho, yang lain pake masker, ini kok matanya yang pake masker?” supir tertawa. “Sakit mata, Tuan?” pertanyaan bodoh keluar.
Saya dan istri masuk ke dalam mobil, duduk di jok belakang. Mesin mobil dinyalakan. AC berhembus. Tubuh yang tadi panas berangsur sejuk.
“Biasanya Tuan kalau naik mobil paling senang lihat iklan-iklan di sepanjang jalan.”
“Sekarang tidak boleh!” istri saya serius.
“Farhan! Kenapa mata kamu sehat-sehat saja? Tidak mengalami sakit seperti saya?”
“Ah, biasa saja, Tuan,” supir tertawa lagi. “Tiap pagi minum jus wortel, Tuan…”
“Istri saya selalu menyediakan jus wortel setiap sarapan.”
“Iya!” istri saya menegaskan.
“Itu sudah rutin sejak kami menikah tiga puluh tahun lalu!”
“Selain jus wortel?” saya penasaran.
Jawaban sopir sangat mengagetkan. “Saya pasrah saja, Tuan. Saya adaptasi saja. Siapa yang baik kepada saya, saya terima. Kedua mata saya yang terlindung dengan kaca mata hitam ini, masih bisa menyesuaikan.”
“Aneh!”
“Lho, kok aneh, Tuan?”
Saya menoleh kepada istri, “Kok, mata Mamah juga sehat?”
“Papah tau kan, siapa pun yang terpilih, Mamah tidak peduli. Mamah tidak pernah melibatkan perasaan. Kita semua tau kan kata Gus Dur, kalau pesta demokrasi di negeri ini bukan untuk mencari pemimpin yang baik, tapi untuk melanggengkan kekuasaan. Yang penting buat Mamah itu, Papah tetap sayang sama Mamah dan uang belanja tidak dikurangi.”
Supir kami tertawa senang. “Itu sudah melewati batas pasrah, Bu!” supir masih tertawa.
Saya mengangguk-angguk. Saya pegangi tangan istri. “Ya, mulai besok Papah akan membiasakan diri memakai kaca mata hitam saja. Jadi, Papah tidak perlu bergabung ke ‘golongan anti nyoblos tadi’, ya.”
”Iya, Tuan. Kalau pake kaca mata hitam, Tuan masih bisa melihat.”
“Iya. Kuncinya pasrah saja, Pah. Terima saja kehidupan ini apa adanya.”
“Setuju, Nyonya. Pasrah. Itu obatnya.”
Pasrah. Barangkali, iya.
“Bagaimana, Tuan?”
“Pah?”
Saya terdiam. (**)
“Bapak tidak terpapar Corona!” dokter yang memakai face shield mendiagnosis.
“Jadi bukan Corona?” istri saya terperanjat senang.
“Bukan.”
“Terus apa, Dok?”
“Ini gejala yang sedang tren. Tadi Bapak bercerita, kalau melihat gambar orang lagi tersenyum, mata Bapak langsung berair. Produksi air mata Bapak jadi banyak.”
“Kok bisa, dok?”
“Bisa, Bu. Kecuali jika Bapak mengambil cara seperti si Badra—si buta dari Goa Hantu, yang memilih membutakan kedua matanya dan menyerahkan segalanya kepada hatinya.”
“Jangan sampai, Dok!” Saya menggeleng kepada istri saya.
“Jadi, persoalan mual, jantung berdebar-debar itu semua disebabkan oleh informasi yang masuk lewat mata. Informasi itu semua diolah oleh saraf di otak dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Ternyata organ-organ di tubuh Bapak menolak.”
Sumpah, saya tidak percaya. Ah, ujung-ujungnya, pastiya duit.
“Rupanya Bapak ini paranoid terhadap pesta demokrasi. Sekarang memang sedang gawat. Bukan hanya Corona, tetapi juga Pilkada serentak.”
“Terus, ada obatnya nggak, Dok?” istri saya gugup.
“Ada. Kalau tidak mau matanya dibutakan seperti si Buta dari Goa Hantu, Bapak istirahat saja di rumah. Kalau pun terpaksa harus keluar rumah, kedua mata Bapak harus ditutup dengan kain hitam yang tidak transparan.”
“Ditutup kain hitam, Pah,” istri saya mengulang.
Saya diam saja.
“Pokoknya, jangan sampai melihat gambar-gambar yang ada di sepanjang jalan itu. Apakah itu gambar iklan makanan, iklan minuman, iklan HP, bendera partai, apalagi gambar para cagub, cawagub, cakot, cawakot, cabup, cawabup, atau baliho para caleg yang sedang tersenyum,” dokter menulis di resep.
Saya gemetar. Saya raih tangan istri. Saya perhatikan ruangan dokter ini bersih; tidak ada gambar apa pun.
“Lebih bagus lagi, Bapak pindah saja ke daerah suku terasing di gunung sana. Baduy Dalam di Banten Selatan, saya rasa, yang masih steril. Tidakakan ada iklan produk, iklan Pilkada, dan iklan partai.”
Wah, ini sudah keterlaluan. Masak saya harus mengasingkan diri ke Baduy! Sedangkan hidup saya sudah dibelit dunia internet!
“Kain transparan saja, Pah?”
Saya mengangguk, setuju dengan keputusan istri.
“Di mana kami bisa mendapatkan kain hitam yang tidak transparan itu, Dok?” istri saya antusias.
“Kalau Bapak tidak tertarik mengasingkan diri ke Baduy Dalam, kain hitam tidak transparan jawabannya,” dokter membuka laci dan menyerahkan kain hitam. “Saya punya banyak stok. Silakan…”
“Nggg…”
“Tidak ada makan siang yang gratis, Bu,” dokter menyodorkan kertas ke hadapan istri saya.
“Iya, Dok,” istri saya menatap kertas itu dan mengangguk.
“Bapak bukan pasien pertama. Bapak bisa bergabung dengan kami. Setiap malam Minggu, kami berkumpul di luar kota. Saya juga ke mana-mana memakai kain hitam ini. Asisten yang menuntun saya,” dokter mengakui keadaannya.
“Jadi, dokter juga…?” nada istri saya tidak percaya.
“Iya, Bu. Saya juga sama, terkena penyakit ‘PilkadaSyndrome’ seperti Bapak…”
Hah! Dokter juga manusia, rupanya! Saya pikir dokter itu kebal penyakit!
“Perkumpulan itu namanya apa, Dok?” istri saya penasaran.
“Orang-orang biasanya menyebut kami goltiblo atau golongan antinyoblos, Bu…”
Istri saya dan saya saling bertatapan.
“Berarti sama juga dengan ‘golput’, Dok? Tidak memilih?”
Dokter tertawa.
“Bagaimana, Pah? Mau gabung nggak?”
Saya tertegun. Demokrasi di Indonesia ini memakan korban para mahasiswa saat Reformasi Mei 1998 yang berdarah. Saya merasa seperti mengkhianati mereka!
“Kesehatan Papah lebih utama. Mamah nggak mau Papah mengambil cara seperti si Badra dari Goa Hantu itu. Mamah masih ingin Papah menikmati kecantikan wajah dan keindahan tubuh Mamah. Mengasingkan diri ke Baduy juga tidak mungkin, Pah. Tau sendiri, setiap detik, HP tidak pernah lepas dari tangan Papah!”
Hmmm!
“Dok, masuk ‘goltiblos’ itu gratis, nggak?” saya ingin tahu.
“Gratis, Pak. Tapi kami tidak langsung menerima. Ada proses wawancara dan tes kebohongan. Soalnya hari-hari ini, ‘goltiblos’ jadi tren. Banyak orang yang ikut-ikutan, gaya-gayaan. Kami ingin ‘goltiblos’ ini memiliki ideologi yang sama dengan ‘golput’ di era orde baru.”
“Suami saya tidak gaya-gayaan, dok!” istri saya tegas.
“Ya, sudah. Sekarang Ibu bawa pulang Bapak, ya. Pakai dulu kain hitamnya. Soalnya, sekeluar dari ruangan saya yang bersih dari gambar-gambar ini, ibu tahukan begitu banyak gambar orang tersenyum di depan klinik saya.”
Saya mengangguk. Saya langsung meminta istri memasangkan kain hitam tidak transparan, menutupi kedua mata saya. Istri menuntun saya hati-hati ke dalam mobil.
Sopir yang memakai kaca mata hitam langsung bersuara, “Tuan?” nadanya merasa aneh. “Lho, yang lain pake masker, ini kok matanya yang pake masker?” supir tertawa. “Sakit mata, Tuan?” pertanyaan bodoh keluar.
Saya dan istri masuk ke dalam mobil, duduk di jok belakang. Mesin mobil dinyalakan. AC berhembus. Tubuh yang tadi panas berangsur sejuk.
“Biasanya Tuan kalau naik mobil paling senang lihat iklan-iklan di sepanjang jalan.”
“Sekarang tidak boleh!” istri saya serius.
“Farhan! Kenapa mata kamu sehat-sehat saja? Tidak mengalami sakit seperti saya?”
“Ah, biasa saja, Tuan,” supir tertawa lagi. “Tiap pagi minum jus wortel, Tuan…”
“Istri saya selalu menyediakan jus wortel setiap sarapan.”
“Iya!” istri saya menegaskan.
“Itu sudah rutin sejak kami menikah tiga puluh tahun lalu!”
“Selain jus wortel?” saya penasaran.
Jawaban sopir sangat mengagetkan. “Saya pasrah saja, Tuan. Saya adaptasi saja. Siapa yang baik kepada saya, saya terima. Kedua mata saya yang terlindung dengan kaca mata hitam ini, masih bisa menyesuaikan.”
“Aneh!”
“Lho, kok aneh, Tuan?”
Saya menoleh kepada istri, “Kok, mata Mamah juga sehat?”
“Papah tau kan, siapa pun yang terpilih, Mamah tidak peduli. Mamah tidak pernah melibatkan perasaan. Kita semua tau kan kata Gus Dur, kalau pesta demokrasi di negeri ini bukan untuk mencari pemimpin yang baik, tapi untuk melanggengkan kekuasaan. Yang penting buat Mamah itu, Papah tetap sayang sama Mamah dan uang belanja tidak dikurangi.”
Supir kami tertawa senang. “Itu sudah melewati batas pasrah, Bu!” supir masih tertawa.
Saya mengangguk-angguk. Saya pegangi tangan istri. “Ya, mulai besok Papah akan membiasakan diri memakai kaca mata hitam saja. Jadi, Papah tidak perlu bergabung ke ‘golongan anti nyoblos tadi’, ya.”
”Iya, Tuan. Kalau pake kaca mata hitam, Tuan masih bisa melihat.”
“Iya. Kuncinya pasrah saja, Pah. Terima saja kehidupan ini apa adanya.”
“Setuju, Nyonya. Pasrah. Itu obatnya.”
Pasrah. Barangkali, iya.
“Bagaimana, Tuan?”
“Pah?”
Saya terdiam. (**)
Posting Komentar untuk "Alergi | Cerpen Gola Gong"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar