BERBEDA dengan saudara-saudaraku yang bisa pulang kampung setiap tahunnya, aku tidak bisa selalu pulang kampung. Pekerjaan sebagai penjaga pintu lintasan kereta membuatku begitu. Tapi kini rasa rindu orangtua di kampung halaman sudah membuncah. Tidak bisa kutahan lagi. Aku putuskan mengambil cuti, pekerjaanku sementara digantikan teman sejawat yang lain.
Sekalipun aku tahu pandemi belum berakhir dan kembali adanya larangan mudik, tekadku sudah bulat. Aku pun merencanakan pulang kampung sebelum larangan mudik diberlakukan. Rekan sejawatku tahu itu dan berusaha mencegahku.
“Kamu tahu bahaya mudik di saat pandemi begini, bisa buat klaster baru.”
“Aku bakalan taat protokol kesehatan.” Aku lantas memakai masker. Teman sejawatku mengangguk.
“Enggak takut larangan mudik?”
“Yang dilarang kan mudik, aku ini mau pulang kampung.” Temanku tertawa mendengarnya.
“Pintar juga kamu cari alasan.”
Tidak lama kemudian, minibus travel yang aku tunggu datang. Aku bergegas naik. Didalamnya, kulihat hanya sedikit penumpang, tidak sampai lima puluh persen dari kapasitas penumpang. Hawa terasa sejuk dan wangi pengharum ruangan memenuhi bagian dalam minibus travel. Ditambah lagu-lagu dangdut kekinian mengalun riuh.
*****
Tiba di kampung halaman malam hari, aku segera menuju ke masjid untuk langsung salat Tarawih. Tapi kuperhatikan tidak ada orang-orang yang beribadah disitu. Tampak sepi, hanya ada seorang pria paruh baya sedang membersihkan teras masjid desa. Lalu kuhampiri. Aku mengenalinya, ia Pak Bim, takmir masjid.
Kuucapkan salam yang langsung dibalas Pak Bim.
“Kamu Wawan, anaknya Pak Sholeh?” Pak Bim langsung mengenali aku dari suaraku. Aku mengangguk.
“Kenapa enggak ada Tarawih di masjid, Pak?” aku bertanya tanpa melepas masker yang kukenakan.
“Iya, Mas Wawan, di sini masih zona merah jadi salat tarawihnya di rumah masing-masing,” jawabnya pelan.
“Zona merah?” Aku kaget mendengarnya.
“Sudah banyak warga di sini jadi korbannya,” jawabnya. Aku tiba-tiba teringat bapak-ibuku di rumah. Kuucapkan kembali salam kemudian mempercepat langkah.
Ketika tiba di rumah, seorang perempuan paruh baya tersenyum ramah kepadaku di depan pintu. Ia ibuku. Tanpa melepas masker, aku cium tangannya. Kami berangkulan sejenak.
“Ibu sehat, kan?” kataku setelah menurunkan masker. Ibu mengangguk. Aku lega mendengarnya.
“Bapak di mana, Bu?” Ibu tidak menjawab. Wajahnya tampak sedih. Aku diajaknya masuk ke dalam rumah. Lalu masuk ke sebuah kamar. Kulihat Bapak sedang berbaring di tempat tidur. Matanya sayu, pandangannya kosong.
“Pak…” Aku menyapanya pelan. Bapak tak menyahut, ia sepertinya tak suka aku pulang kampung.
“Di mana saudara-saudaraku yang lain, Bu?” tanyaku kepada Ibu yang duduk di pinggir tempat tidur. Ibu tidak cepat menjawab, ia menghela nafas sebentar.
“Saudara-saudaramu putuskan tidak pulang kampung tahun ini.” Ibu menjawab pertanyaanku.
“Memangnya kenapa, Bu?”
“Mereka takut membawa virus Korona dari luar masuk ke dalam rumah. Tak seperti kamu! Dasar anak tidak tahu diri. Kamu mau penyakit bapakmu ini jadi tambah parah!!” Tiba-tiba Bapak menyahut marah. Aku tertegun mendengarnya. Harapanku berlebaran bersama mereka harus kandas.
“Sekarang apa yang mau kamu lakukan?” tanya Bapak serius. Aku bingung menjawabnya. Tubuhku mendadak lemas. Aku terduduk di atas lantai kamar. Ibu memandangiku. Tatapannya tampak mengasihaniku.
“Nak, Ibu tahu niatmu baik untuk bersilaturahmi. Tapi bagusnya kalau kamu tidak pulang kampung dulu seperti saudara-saudaramu yang lain.” Perkataan lembut Ibu membuatku mengangguk pelan. Lalu bangkit, berdiri. Kuayunkan langkah keluar rumah.
Aku tidak bisa kembali lagi ke kota. Uangku sudah habis untuk biaya naik minibus travel yang naik dua kali lipat dari biasanya. Mungkin aku akan tinggal sementara di gudang belakang rumah yang lama terbengkalai selama kurang lebih empat belas hari ke depan. Tidak apa harus berjauh dulu dari Bapak dan Ibu tapi setidaknya aku masih bisa menatap wajah keduanya walaupun dari kejauhan. (*)
Posting Komentar untuk "Pulang Kampung | Cerpen Herumawan PA"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar