Iklan Atas

Blogger Jateng

Sang Teladan dan Komisarisnya | Cerpen Sunaryo Kartodiwiryo


Hanya dua orang yang tidak kenal Misdar di seluruh kecamatan paling ujung Provinsi Jawa Tengah itu. Pertama, memang tidak gaul di lingkungannya atau mereka yang merantau. Ketika di taman kanak-kanak, Misdar juara deklamasi tingkat kecamatan. Kemudian, saat di sekolah dasar, ia memenangi cerdas cermat Pancasila tiga tahun berturut-turut.

Demikian pula di sekolah menengah pertama. Nilai ijazah Misdar juara umum sekabupaten. Sebuah prestasi hebat karena ada murid dari sekolah di pelosok kabupaten memiliki nilai nyaris sempurna. Sebuah prestasi luar biasa karena nilai tertinggi selama ini selalu dipegang sekolah kota. Barangkali, karena itu pula Misdar terpilih juga menjadi anggota Paskibraka di Jakarta.

Dikala semua teman sekelasnya kebingungan mencari perguruan tinggi, Misdar tinggal memilih. Tiga perguruan tinggi kesohor menyuratinya untuk bergabung tanpa tes. Maka, diputuskanlah oleh Misdar memilih perguruan tinggi yang alumninya banyak menjadi menteri.

Usai kuliah dengan nilai nyaris sempurna, sebuah perusahaan negara menawarinya sebelum wisuda. Lulusan terbaik harus diambil terlebih dahulu sebelum tawaran perusahaan lain menggiurkan sang wisudawan terbaik dan teladan. Mobil, rumah, dan seabrek fasilitas jelas sudah di tangan hanya dalam tiga bulan.

Ibarat sebuah lukisan, jalan hidup Misdar sangatlah indah dikanvaskan. Ditutur kan kepada anak-anak bahwa orang rajin berujung kesuksesan. Rajin pangkal pandai adalah keniscayaan. Kedudukan, jabatan, ketenaran, hanya menunggu waktu direngkuhnya.

Namun ada satu puzzle yang belum tersisa hingga lukisan kehidupan Misdar sempurna di bingkai. Yah, betul. Siti namanya. Gadis berambut panjang legam di kampungnya.

Misdar tak mengerti kenapa gadis itu lebih memilih pemuda gelap dan kumal ketimbang dia yang rajin belajar, saleh, dan berkuning langsat. Apakah karena Misdar tak bermotor kala sekolah? Atau karena Misdar terlalu asyik dengan buku pelajaran dan tak pernah ndangdutan keliling kampung bersama teman sebaya? Atau ketika Ramadhan tak pernah mau Subuh keliling kampung bersama gadis-gadis kampung seusai sahur?

“Entah dukun mana yang membutakan Siti sampai menolak cinta Misdar.” Ungkapan itu paling tepat menggambarkan Siti kala Misdar mengingatnya. Ia kirimkan sepucuk surat melalui teman deket Siti usai Misdar dikukuhkan sebagai siswa teladan di sekolahnya. “Masa ndak tertarik dengan pemuda rajin dengan penuh harapan masa depan?” Ia menunggu dengan penuh keyakinan jawaban akan surat bersampul biru itu.

“Aku sudah memiliki pacar ya. Maaf banget.” Misdar tersentak begitu ia membaca surat balasan dari Siti. Tak panjang dan jelas tegas. Dibaca berulang dan dilihat tulisannya. Jangan-jangan bukan tulisan Siti. Tapi benar, hurufnya dan pulpen birunya jelas itu boxy Siti yang digunakan menulis sehari-hari.

Pahit! Pemuda teladan nan tampan bermasa depan kalah saingan dengan Sardi yang kumal, perokok, dan kusam. Apalagi di kelas, saat pelajaran matematika, Sardi adalah murid paling sering disetrap gurunya. Sekarang, siapa yang berani menolak lamaran pejabat sebuah perusahan negara? Dan benar. Sulit Siti berkata tidak, begitu Misdar meminang dan melamarnya. Siti mengabaikan Sardi yang tidak jelas maunya.

Hidup pemuda kumal itu hanya ngumpul dan ngumpul dengan organisasinya. Melamar tidak, tapi kalau pergi maunya boncengin Siti. Kampanye sana-sini dan paling-paling ketika menjelang pemilu Sardi punya beberapa lembaran merah di dompetnya. Siti baru merasakan traktiran Sardi di restoran siap saji kegemarannya.

Kini, bertahun-tahun sudah Misdar menikah dengan Siti dan dikaruniailah dua anak. Di meja makan kala sarapan selalu diungkapkan bagaimana trik dan tips mencapai sukses. Anak lelakinya diharapkan mengikuti jejaknya; rajin dan disiplin.

“Jangan jadi anak pemalas seperti mantan Mama dulu.” Misdar menyelipkan kalimat itu menyindir mantan Siti dulu. “Mau jadi apa orang pemuda yang kerjanya menjadi gedibal pengurus partai Jakarta?” Sembari menyuapkan sesendok nasinya, mulut Misdar terus mengoceh.

Jika sudah demikian, Siti hanya melihat dan tak menjawab. Dibiarkan suaminya mengeluarkan unek-uneknya. Toh itu semua motivasi gratis bagi anak-anaknya. Bukankah ia menenggelamkan cinta demi anak keturunannya?

Sesekali, ada kekesalan juga karena apa yang sebenarnya sudah dikuburkan, dibicarakan dan diungkapkan. Dan cinta pertama sulit terhapus dari kepalanya. Dikubur dan dipendam olehnya, tapi sering dibangkitkan suaminya meski bermaksud menunjukkan kehebatannya dari sang mantan Siti. “Jadi anggota dewan paling juga minta fee proyek. Bikin susah negara aja!”

Misdar meluncur dari meja sarapan dan menuju garasi. Pembantu telah siap untuk menutup gerbang begitu mobil Misdar lenyap di ujung jalan. Diciumnya kening sang istri. “Papa agak malam pulangnya, nanti ada meeting persiapan menyambut komisaris baru.”

Pintu gerbang kantor Misdar tampat megah meriah dengan bendera lembaganya di mana-mana. Para penerima tamu terlihat cantik menawan berkebaya. Mereka semua menundukkan kepala memberi hormat, meski Misdar yang didalam mobil tak tampak dari luar karena jendela mobil berkaca hitam enam puluh persen.

Tergopoh-gopoh satpam perusahaan negara itu menuju mobil sang presiden direktur yang berhenti tepat di depan pintu. Berdasi dan berarloji mewah, Misdar terlihat kian gagah. Ia menuju ke ruangannya. Dipanggilnya ketua panitia penyambutan.

“Semua sudah siap? Jangan bikin malu, nanti ada komisaris baru. Kita buat penyambutan terbaik. Ingat ya, setiap kesalahan bisa berujung dipecat!”

Semua panitia mengangguk penuh takut. Kedisiplinan dan ketegasan Misdar telah merenggut korban. Beberapa bawahannya dipecat. Ada yang sering telat waktu, ada yang melawan perintah Misdar.

“Siapa Bapak Komisaris yang baru?”

“Sardiman Sumintarjo, Pak,” jawab sang ketua panitia.

Misdar mengernyit sejenak. Ada yang menyelinap ke pikirannya. “Sardiman…” Misdar mengguman. “Sardi….” Ia kembali menyebut kata depan dari sang komisaris. “Ah, bukan…” Ia membuang sebuah kegalauan. Nama yang sering ia ceritakan kepada anak-anaknya membuat ia berpikir ke belakang. “Namanya nggak panjang.” Kembali ia meyakinkan diri sendiri.

Seluruh karyawan perusahaan negara itu berkumpul di ruang tengah. Di depan ada 50 manajer menengah. Staf ada hampir 500 orang. Meriah sekali. Lalu Misdar melihat sisi samping pengiring hiburan

“Kok ada kendangnya?” Misdar menanyakan ke wakil direkturnya.

“Komisaris baru ini sukanya ndangdut, Pak!” Jawaban wakil direktur ini makin membuat Misdar bingung.

“Oh, nggak apa. Jangankan ndangdut. Mau tari perut Lebanon kita harus siapkan.” Misdar bahkan akan memberi lebih demi sang komisaris.

“Hadirin semua dimohon berdiri.” Sang pembawa acara pun menyampaikan pengumuman. Misdar berdiri dan bergegas menuju pintu menjemput sang komisaris. Senyum semringah ia tampilkan demi komisaris baru. Ia memberi aba-aba agar seluruh bawahannya bertepuk tangan.

Tiba-tiba, raut Misdar berubah. Semula semringah, perlahan wajah putihnya memerah. Sampai menjelang salaman dan berpelukan dengan sang komisaris, tak terlihat senyum Misdar yang cerah.

“Halo Kang Misdar, piye kabare.” Sang komisaris menyapa duluan. “Ini teman saya main di sawah dulu.” Kembali sang komisaris menambahi.

Hadirin bertepuk tangan. Sang komisaris lebih aktif dan lebih bisa membawa suasana. Di saat semua bertepuk tangan dan semringah, Misdar justru terlihat kaku.

Benar. Sardi di sampingnya kini adalah Sardi dulu yang sering ia jadikan bahan cerita meski tak ia sebut namanya. Sardi menjadi bahan komparasi sehingga orang menjadikan Misdar sebagai figur ideal.

Kini, Misdar benar-benar diuji bagaimana bersikap. Meski sedikit yang tahu siapa Sardi yang membuat sang teladan itu gugup. “Ayo Kang, masuk…” Misdar memecah kebekuan situasi.

Hadirin pun seketika duduk semua. Sang pembawa acara mengawali dan memperkenalkan komisaris baru itu ke segenap karyawan perusahan negara yang mengendalikan hajat hidup orang banyak. Bagi Misdar, rangkaian acara kali ini terasa paling lama yang ia ikuti. Sambutan demi sambutan terasa menjemukan. Apalagi, perkenalan basa-basi penuh puja-puji baik untuk dirinya maupun sang komisaris, baginya membosankan.

Terlebih dengan hiburan yang kini diganti alirannya. Lain dari biasanya yang selalu bernuansa jaz. Begitu ketipung berdentum, sang komisaris baru langsung menuju panggung. Tangannya sempat menarik Misdar, tapi ditampik pelan.

“Dasar!” gumam Misdar berkomentar. Untung suara speaker ingar-bingar hingga umpatan Misdar tak terdengar.

Dua jam lebih ingar-bingar alunan dangdut—dari dangdut klasik hingga dangdut koplo ramai menggelegar. Hanya Misdar yang tak beranjak. Entah. Lantaran tak selera dengan musiknya atau masih tak percaya yang ia alami adalah nyata. Tak habis pikir. Tak masuk akal. Dunia seolah dijungkirkan di depannya Yang Mahakuasa. Tuhan Yang Mahabaik kenapa menyodorkan orang seperti Sardi? Shalat atau tidak, tidak ketahuan. Berpuasa juga demikian. Boro-boro beramal. Diminta sumbangan kelas saja ngajak duel. Huh.

Jalan saleh yang Misdar jalani kenapa tertutup oleh jalan kusam Sardi, karib kecilnya? Lalu, apa yang dimaksud jalan lurus itu selalu menuju puncak kesuksesan? Apa yang ada di benak anak buah Misdar ketika tahu Sardi adalah tokoh nyata yang sering ia ceritakan secara anonim? Misdar semakin tak mengerti. Bahwa orang pintar, belajar adalah niscaya. Orang rajin, sukses adalah pantas. Hanya itu yang ia paham dan yakini.

Wajar bagi Misdar seusai acara perkenalan komisaris baru langsung melarikan mobilnya ke sebuah hotel mewah. Dibantingnya pintu mobil berkelas idaman semua orang. Ia masuk dan naik lift tanpa melihat siapa di sekelilingnya. Rooftop yang ia tuju. Dipesannya segelas minuman. Ia marah dan tak mengerti. Kenapa Tuhan menyorongkan orang yang tak berprospek menjadi komisaris di perusahaan yang ia pimpin kerja sekarang. Apa yang diharapkan dari seorang bekas pemilik rumah bordil kampung?

Menjadi seorang yang selalu diselimuti puja-puji ternyata tak kuasa menghadapi persoalan ini. Bahwa menjadi komisaris adalah jalan panjang yang tak mudah bagi semua orang. Tetapi, kenapa orang seperti Sardi yang jadi komisaris? Tak satu pun sesi kasus semacam ini diceritakan para kiai. Sebuah pelajaran yang tak pernah Misdar dapatkan di surau tempat ia mengaji. (*)

Posting Komentar untuk "Sang Teladan dan Komisarisnya | Cerpen Sunaryo Kartodiwiryo"