Iklan Atas

Blogger Jateng

Meniti Jalan ke Surga | Cerpen Rumadi


Saat kakak dan adikku pecah dalam tangis yang menggema, aku hanya diam dalam senyum yang kusembunyikan. Aku pun ikut menangis sebagaimana mereka. Namun, tangisku adalah tangis bahagia melihat ibu memejam untuk terakhir kalinya. Ia terbujur di balai depan rumah dengan senyum tersungging di bibirnya.

Bagaimana aku tidak bahagia melihat kematian yang begitu menggembirakan? Saat terang menjelang, orang-orang mulai berdatangan. Aku memilih duduk di kursi kayu yang berada di pojok ruangan. Banyak tangis memenuhi rumah ini. Rumah yang beberapa hari sebelumnya hanya sunyi belaka.

Aku mengenal ibu dengan sangat baik melebihi kakak dan adikku. Kakak menikah dengan lelaki yang berada di provinsi lain. Sementara adikku, memilih bekerja di Ibu Kota dengan harapan memiliki penghasilan yang lebih baik. Dan ibu tetap menyuruhku tetap tinggal di rumah. Tiga di antara anaknya harus ada yang tetap berada di sini.

Kepedihan ibu bermula saat enam bulan yang lalu bapak meninggal ketika Subuh. Bapak bersujud lama sekali ketika menjadi imam kami. Satu menit, dua menit, aku menunggu, dan bapak belum juga bangkit dari sujudnya. Maka, aku segera membatalkan shalatku dan menepuk pundak Bapak. Tak ada jawaban. Aku memanggilnya dan menggoyangkan badannya cukup keras. Kulihat sepintas bibir ibu tampak gemetar. Ada kekhawatiran yang cukup dalam di pelupuk matanya.

Kubaringkan bapak di atas sajadahnya. Sebagaimana yang kutahu tentang kematian orang-orang saleh, bapak damai dalam pembaringannya. Senyum terukir di wajahnya, seperti ada kelegaan yang tidak terkatakan. Dan kulihat ibu langsung menghambur memeluk bapak dengan tangis memilukan. Diciuminya pipi bapak, kening bapak, tangan bapak, dengan isak yang berusaha ditahan. Namun, aku merasakan segala kepedihan ibu. Aku mendekat, memeluk ibu dengan erat.

Dan ibu tidak pernah lagi membuka pintu kamarnya setelah kepergian bapak. Ibu berdiam diri di kamar dan kudengar ibu melantunkan kitab suci di dalam kamarnya juga menyenandungkan shalawat yang terdengar merdu dan meneduhkan. Aku hanya akan duduk di ruang makan dekat kamar ibu dan mendengarkan ibu yang senang bersenandung.

Hanya ada tiga waktu bagi ibu untuk keluar kamar. Ketika mandi, ingin buang hajat, dan mengambil makan. Namun, yang ketiga jarang ia lakukan karena aku selalu mengetuk pintu kamarnya setiap jam makan.

Adik dan kakakku langsung kembali ke daerahnya masing-masing setelah pemakaman bapak. Hanya aku yang tetap tinggal menemani ibu. Menemani kesepiannya, menemani kesehariannya.

Sawah kugarap dan memberi upah bagi tetangga yang mau membantu kami. Aku tak mungkin menggarap semuanya sendiri. Karena kebaikan ibu terhadap tetangga, tidak ada satu pun tetangga yang menolak ketika kumintai tolong mengurus sawah.

Semua berjalan hingga satu bulan lamanya. Hingga suatu hari, pintu kamar ibu terbuka di saat bukan jam makan dan bukan hendak buang hajat ataupun mandi. Aku kaget bukan kepalang dan membenarkan posisi dudukku demi menghormati kemunculan ibu. Tidak ada kemurungan di dalam wajahnya. Sebaliknya, ibu tampak sangat berbahagia.

“Antarkan ibu ke pasar. Kita akan masak. Tidak perlu beli lagi.”

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Maka, aku segera bergegas tanpa kata-kata, kukeluarkan sepeda motor ke halaman rumah, dan kunyalakan untuk dipanasi. Aku masih mengumpulkan kesadaran dan berharap ibu benar-benar baik-baik saja.

Melihat kegundahanku, ibu mendekat dan berkata. “Tidak usah risau. Ibu tidak apa-apa, Nak. Semua baik-baik saja.”

Ibu mengatakannya pelan, tetapi tetap saja aku harus waspada. Tidak ingin ibu yang merawatku sejak kecil, bersedih begitu lama.

“Pelan-pelan saja naik motornya. Kita nikmati saja perjalanan ini. Tetapi, ada baiknya kita ke makam bapakmu dulu sebelum pergi berbelanja.”

Waktu untuk memanaskan mesin motor kukira cukup, ibu segera membonceng di belakangku. Ia duduk menghadap ke samping dan kakinya sejajar. Ibu berpegangan di pinggangku.

“Akan kuceritakan kenapa ibu tidak keluar kamar begitu lama,” kata ibu. “Bapak mendahului kita dengan banyak kenangan manis bukan? Aku melihat sosok bapak dalam setiap langkah kaki di seluruh desa ini. Semua tempat ada langkah kaki bapak. Tidak ada lelaki berhati malaikat seperti bapakmu yang hampir mustahil memiliki pembenci. Aku akan bercerita banyak hal kepadamu, bahkan hingga rahasia terdalam seorang perempuan. Seorang ibu. Cerita ini belum pernah kusampaikan kepada siapa pun. Hanya bapakmu yang tahu,” lanjut ibu.

Aku hanya menajamkan telinga, demi mendengar segala yang diceritakan oleh ibu:

Tidak ada tempat untuk pulang, ibu serasa menjadi perempuan yang dikutuk. Tidak ada penduduk yang mau menerima ibu kembali. Perbuatan ibu terlalu keji untuk di maafkan. Ibu hamil di luar nikah, di tengah keluarga yang cukup terpandang dan berkecukupan. Ayah menampar pipi ibu hingga memerah. Ibu pergi dari rumah dengan cemooh, hujatan, dan sumpah serapah.

Dan Tuhan mengirimkan malaikat dalam sosok bapakmu. Ia telah mapan dan hidup sebatang kara. Ia menikahi ibu tanpa banyak tanya.


“Bagaimanapun, anak yang kau kandung harus memiliki sosok seorang bapak.” Katanya di hari ketika hendak melamar ibu.

Ibu pulang dan memberitahukannya kepada keluarga ibu. Tetap saja mereka menolak. Ibu tetap kukuh bersama bapakmu. Dengan bujuk rayu bapakmu, hati mereka luluh. Kami menikah dengan restu keluarga.

Ia membelikan ibu mukena, mengajari ibu mengaji, dan membelikan ibu kerudung. Semula, semua itu sangat sulit untuk ibu lakukan karena ibu belum pernah sama sekali memakai semuanya. Tetapi, perlahan tapi pasti, bapakmu mengajak ibu meniti jalan ke surga.

Tidak ada lelaki yang selembut bapakmu. Ia lelaki yang tidak pernah marah. Satu hal yang selalu dia lakukan ketika pulang dari sawah, ia akan langsung ke dapur jika mendapati ibu di teras atau ruang tamu. Ia kemudian menuju meja makan dan membuka penutupnya. Jika tak ada makanan, bapakmu akan mengetuk pintu pelan, dan bertanya, “Bunda sudah makan?”

Bagaimana hati ibu tidak terenyuh mendengarnya? Bukankah itu seharusnya pertanyaan yang ibu ajukan kepadanya? Jika ibu menggeleng, menahan malu karena tidak menyiapkan makanan untuk suami, ia mengajak ibu keliling kampung. Membeli lontong, jajan gorengan, atau apa saja.

Kadang, jika ibu sedang datang bulan, bapakmu tidak pernah membangunkan ibu meski matahari sudah cukup tinggi. Ketika ibu bangun, ibu telah mendapati makanan yang terhidang di meja.

Bapakmu telah terbiasa melayani dirinya sendiri dan tentu saja tidak akan sulit ketika melayani orang lain. Perempuan mana yang tidak terharu mendapat perlakuan demikian?

Ia akan masuk kamar sambil membawakan teh hangat. Ia akan mengecup kening ibu dan hal itu selalu membuat ibu terbangun, karena tahu, matahari sudah terlalu tinggi. Ibu dengan malu-malu bangkit dan menggenggam jemarinya. Ia kecup lagi kening ibu. Menyerahkan teh hangat atau malah, terkadang, ia menyodorkan cangkir ke mulut ibu.

Kadang ia membopong ibu ke meja makan saat ibu malas berjalan. Bagaimana ibu bisa bertahan di rumah yang demikian tanpa kulihat sosok bapakmu? Segala yang ada di dalam rumah ini tumbuh dan bersemi cinta bapakmu.

Bapakmulah yang paling tabah ketika anak yang ibu kandung keguguran. Ibu menjaga sebisa mungkin bayi itu akan hidup dengan bahagia, tetapi Tuhan jualah yang menentukan. Ibu terpeleset sehabis mengepel lantai saat bapakmu pergi bekerja. Perih. Sakit. Dan bapakmu tetap tabah dengan senyumnya yang tidak pernah berubah.

Ia selalu mengajak ibu keliling desa setiap sore, demi menyenangkan hati ibu, demi menghilangangkan kekecewaan dalam wajah ibu. Kadang ia berhenti hanya untuk sekadar memetik bunga di pinggir jalan dan menyelipkan bunga itu di telinga ibu. Hal yang menyenangkan dan membuat ibu tersipu-sipu.

Bapakmu juga telah menanamkan kuat tentang arti bersyukur. Di awal pernikahan, ibu tidak pernah menghabiskan sepiring nasi yang ibu ambil sendiri. Bapakmu tidak marah, hanya berkata dengan sangat lembut.

“Kasihan petani yang menanam padi-padi. Mereka tentu akan bersedih, jika ternyata beras-beras yang mereka hasilkan hanya dibuang ke tempat sampah. Kita tidak memiliki ayam sebagaimana tetangga. Maka mau tidak mau, kita yang harus menghabiskan makanan dalam setiap makanan yang kita tuang sendiri ke piring kita sendiri. Mungkin saat ini kita sedang lapang, bagaimana jika suatu saat, kita diuji dengan kelaparan? Diuji dengan kesulitan mendapatkan beras. Salah satu bentuk bersyukur adalah dengan tidak membuang-buang makanan.”

Betapa ibu malu mendengar kalimat itu. Sejak saat itu, ibu tidak pernah lagi membuang makanan yang telah ibu ambil sendiri.

Kakakmu lahir. Dan kami membesarkannya dengan penuh cinta. Saat ia harus pergi karena menikah dengan orang yang jauh, awalnya ibu sulit menerima kenyataan itu. Tapi bapakmu dengan senyum yang meneduhkan mengatakan, anak yang telah dewasa harus mampu membuat keputusan mereka sendiri.

Begitupun dengan adikmu. Ia mendapatkan pekerjaan di kota yang cukup jauh. Dan kami harus merelakan satu per satu anak kami pergi.

Hanya kau yang tertinggal menemani hari tua kami. Kau adalah wujud dari bapakmu. Kau yang paling tabah saat bapakmu dipanggil Tuhan. Ibu yang memekik dalam tangis memekakkan, karena telah kehilangan sosok malaikat yang selama ini menaungi hidup ibu.

Ibu tidak membuka pintu kamar setelah kehilangan bapakmu karena di setiap sudut rumah ini wajah bapakmu selalu ibu lihat. Ibu hanya berharap dalam angan yang tidak mungkin terjadi, bapakmu akan datang, membawakan secangkir teh hangat, kemudian ia akan membopong ibu ke meja makan.

Dan mimpi di malam itu mengubah semuanya. Ibu melihat bapakmu berjubah putih, bercahaya. “Ikhlaskanlah,” katanya. “Setidaknya berusahalah untuk ikhlas. Sebentar lagi, akan ada satu cahaya yang akan datang kepadamu, bintang itu akan membawamu terbang menyusulku.”

Bahagia bukan main hati ibu. Maka, ibu segera bangkit dari tempat tidur, membuka pintu, dan mendapatimu sedang duduk seolah selalu menunggui ibu untuk keluar dari kamar itu. Dan di hari itu, ibu sudah tidak lagi melihat sosok bapak di dalam dirimu. (***)

Posting Komentar untuk "Meniti Jalan ke Surga | Cerpen Rumadi"