Hari ini kepala bapak pusing sekali.
Bapak sudah mencoba menemui taukenya yang biasa. Namun, sebelum utang yang sebelumnya—berikut bunga—dilunasi, Bapak tidak bisa meminjam barang sepeser pun. Hendak meminjam kepada Wak Ris pun dia sudah malu, sebab utang beras bulan lalu belum dibayarkan.
Sudah dua minggu ini Bapak tidak bisa melaut, sedang musim timur, gelombang mengempas begitu kuat. Kemarin malam saja, Risman, tetangganya, hampir tenggelam. Perahunya dilempar ke udara dan kemudian terbalik ketika hendak menepi. Pun kalau Bapak tetap memaksakan diri melaut, uang untuk pembeli solar juga ia tidak punya. Jikalau pun ada, tentulah lebih didahulukannya membayar uang sekolah si bungsu.
Lama Bapak duduk termenung diatas tunggul kelapa di tepi pantai. Diamatinya laut yang sudah serupa ibunya sendiri. Sudah menghitam dan membawa minyak bersama riaknya ke pinggir pantai yang sudah menjadi tubir. Dulu, sekali melaut Bapak bisa beroleh uang jutaan rupiah. Sekarang melaut selama seminggu pun, kotak es yang digunakannya untuk menyimpan hasil tangkapan, tak terisi penuh.
*****
Malam… selepas salat Isya, Bapak pamit mau melaut—kendati cuaca kurang bagus—sembari menyalami satu demi satu anaknya. Kepada si bungsu, ia berjanji bahwa esok akan membawa ikan yang banyak untuk dijual di pasar, sehingga menghasilkan uang yang banyak. Si bungsu semringah mendengar janji Bapak. Sambil mencium punggung tangan bapaknya, ia berujar, “Hati-hati, ya, Pak,” yang dibalas Bapak dengan senyum getir. Terakhir, ia mencium kening istrinya yang sedari tadi sibuk merajut jaring dari benang nilon. Istrinya yang tidak biasa dicium sontak kaget, meski tidak diperlihatkan betul. Lalu, Bapak beranjak menuju pantai yang hanya berjarak satu lemparan batu dari halaman rumahnya.
Bapak sengaja melaut pada malam hari agar tidak membutuhkan usaha yang begitu besar mengayuh dayung. Seperti kebanyakan nelayan tradisional yang—belum mengenal mesin—memanfaatkan angin darat yang bertiup ke laut pada malam hari, menyapu gelombang dan menghanyutkan perahu hingga jarak yang dituju. Barangkali itu jua alasan kenapa Lancang Kuning berlayar malam, seperti lirik lagu pada siaran radio yang sering didengar Bapak.
Sesekali Bapak mengayuh jua—mengarahkan kemudi agar tidak melenceng terbawa arus. Ia teringat masa-masa dulu belum punya mesin diesel, laut ditujunya dengan setangkai dayung yang diayun sepasang tangan, seolah menyibak riak gelombang.
Dari jarak tiga mil dari darat, setelah melempar sauh, Bapak membentang jaring dengan cekatan. Tangannya sibuk mengulur gulungan jaring dengan busa stirofoam bekas sebagai pelampungnya. Jaring itu dihamparkan di laut serupa net pada lapangan voli yang dibentang sejauh berapa ratus depa.
Disekelilingnya tak dijumpai satu pun kapal yang tengah menjaring. Hanya saja, dari jarak jauh sana terlihat lampu suar berkedap-kedip. Dulu, nelayan ramai menjaring di sana. Namun, semenjak beberapa oknum menangkap ikan dengan bom dan racun, ikan disana sudah mulai berkurang. Bahkan, baru-baru ini terjadi konflik antara nelayan tradisional dan nelayan jaring batu yang mengakibatkan pembakaran kapal nelayan jaring batu oleh nelayan tradisional. Jika saja polisi dan petugas dari Dinas Perikanan tidak lekas datang, bisa dipastikan akan ada korban nyawa, baik dari pihak nelayan tradisional maupun nelayan batu.
Selesai melepas jaring, ia juga—mengulurkan benang nilon yang dijalin dengan beberapa kail pancing yang sudah disangkutkan umpan—memancing ikan untuk dimasak dan dimakannya malam ini hingga esok. Masing-masing kail berjarak 50 cm, total sekitar sepuluh kail. Dengan sabar ia menunggu ikan mampir dan memakan umpan yang diberikan. Jika beruntung, ia bisa dapat ikan selar. Di perahunya sudah dilengkapi dengan kompor minyak tanah, periuk, serta kuali. Biasanya, sekali melaut, ia bisa menghabiskan waktu paling cepat semalam dan paling lama dua minggu di laut—tergantung jarak tempuh dan persediaan bahan bakar.
*****
Bapak memandang ke arah langit berwarna biru pekat dengan bintik-bintik putih yang cemerlang. Diamatinya bintang yang mengelompok dan berpendar—yang jika titik-titiknya disatukan dengan sebuah garis, mewujud beberapa bentuk—dan bisa dijadikan sebagai penunjuk arah.
Sejak memperoleh perahu hibah dari pemerintah yang dilengkapi dengan GPS, ia seperti tidak pernah lagi melihat ke arah langit—selain melihat gumpalan awan kumulonimbus penanda badai akan datang.
Dahulu, ketika usianya masih teramat muda, ayahnya mengajarkan beberapa bentuk rasi bintang yang dijadikan penunjuk arah. Ada rasi biduk, atau bahasa kerennya Ursa Mayor (beruang besar) yang dalam pengamatannya tidak menyerupai biduk sama sekali, apalagi beruang—melainkan seperti layang-layang berekor yang menukik jatuh—sebagai penanda arah utara. Sebaliknya, di selatan ada rasi bintang layang-layang atau salib selatan yang juga memiliki nama lain Crux. Arah timur agak ke tenggara sedikit, ada titik bintang yang terang serupa cacing meliuk yang dikenal sebagai rasi bintang kalajengking. Sebelah barat ada rasi Orion yang menumpuk dan menyebar—yang dalam pengamatan orang Yunani dahulu tampak sebagai pemburu.
Ia ingat bagaimana dulu ia sehari-hari melaut bersama ayahnya. Bermacam hal yang dijumpainya di laut; lumba-lumba, penyu, bahkan puting beliung yang hampir membalikkan biduk ayahnya. Awalnya, ia hanya ikut ketika hari libur saja, namun, ketika dirasakannya suatu keseruan dapat melaut bersama ayahnya, ia pun mulai malas untuk bersekolah. Jadilah ia berhenti sekolah ketika menduduki kelas 4 SD. Dulu sekali melaut ayahnya dapat membawa pulang ikan sepenuh lambung perahu. Sekarang, ketika ia yang melaut, dapat satu kotak fiber saja sudah syukur.
Lewat tengah malam, pasang mulai meninggi. Biasanya akan surut ketika menjelang subuh. Bulan mati—sebagai awal penanggalan kalender hijriah—pada malam ini menjadikan pasang lebih tinggi daripada hari-hari biasa. Konon, menurut pengikut kaum bumi bundar, pada masa bulan mati dan bulan purnama; bumi, bulan, dan matahari berada pada satu garis lurus, yang mengakibatkan daya tarik menarik dan berdampak kepada semakin cembungnya permukaan laut.
Bapak menarik benang pancingnya. Umpan yang diberikan sudah habis, namun ikan tidak satu pun yang tersangkut. Mau tak mau, ia hanya makan nasi dengan sambal tanpa lauk (lagi). Semoga saja esok ketika jaring diangkat, ketidakberuntungannya berakhir dengan banyaknya ikan yang berhasil ditangkap.
*****
Lamat-lamat, didarat sana terdengar suara azan subuh. Bapak sudah bangun dari tadi. Tidurnya tak nyenyak, bahkan dalam mimpi pun ia masih ditagih uang SPP oleh si bungsu. Selepas salat subuh, Bapak tidak lekas menggulung jaring. Ditunggunya hingga matahari sedikit meninggi, berharap semakin banyak ikan yang tersangkut di sana.
Ketika matahari merangkak naik tiga kali panjang jaring, barulah ia beranjak ke arah haluan. Sambil harap-harap cemas, ia menggulung perlahan jaring perlahan-lahan. Napasnya tertahan setiap kali tangannya menggulung jaring.
Hingga jaring sudah tertarik seperempat, baru beberapa ekor ikan yang tertangkap, seperti; ikan lomek, ikan biang, ikan senangin, serta beberapa ekor ikan serai.
Bapak tidak henti-henti berdoa. Satu tarikan lagi, tiba-tiba tangannya berhenti. Matanya membeliak tak percaya melihat beberapa ekor ikan terubuk besar dan buncit menggelepar-gelepar tersangkut di jaringnya. Sepertinya baru tersangkut. Ia mempercepat tarikan jaringnya. Terbayang sudah uang SPP si bungsu dan biaya hidup selama beberapa waktu ke depan—berikut pelunasan utang kepada tauke dan di kedai Wak Ris. Seekor terubuk bertelur bisa dihargai hingga sejuta rupiah, kononlah beberapa ekor yang didapatnya.
Ah, semoga saja es batunya cukup untuk semua ikan ini, harapnya senang.
Mentari semakin terik, sedang ia belum juga selesai mengumpulkan semua ikan yang terjaring. Punggungnya sudah panas terbakar, tapi semangatnya masih berkobar. Tidak sia-sia ia tak lekas pulang selepas subuh menjelang. Semoga saja ia bisa membawa ikan sepenuh perahu.
Lagi asyik menggulung jaring dan mengumpulkan ikan ke dalam kotak styrofoam, dengan kecepatan yang tak terduga, sebuah speedboat fiber mendekati perahu Bapak dan merapat.
Kemudian seorang yang berseragam melemparkan tali sebagai tanda agar Bapak menautkan tali tersebut ke Perahunya. Beberapa lelaki gagah—lengkap dengan segala atribut di dada—turun ke perahu Bapak. Setelah basa-basi seadanya, mereka bertanya tentang surat-surat kapal. Bapak menunjukkan salinan surat yang ditandatangani oleh Syahbandar.
Ketika Bapak tengah ditanyai oleh beberapa orang, beberapa lainnya membongkar tempat penyimpanan ikan miliknya dan kemudian berteriak, “Ditemukan beberapa ekor terubuk dalam kondisi bertelur!”
Seorang laki-laki berkacamata hitam—agaknya pimpinan mereka—terlihat mengeraskan rahang. Sambil menatap tajam, ia berkata, “Bapak tahu kalau sekarang adalah musim pelarangan penangkapan ikan terubuk?”
Bapak terdiam mematung. Wajahnya pucat pasi. Terbayang keluarganya makan seadanya (lagi), dan si bungsu merengek minta uang sekolah (dan lagi). Pikirannya kalut, pandangannya sudah gelap.
Tanpa menunggu Bapak menjawab, si pimpinan tadi kembali berujar, “Bapak tahu kalau ikan terubuk dilindungi? Silakan naik ke kapal untuk kami mintai keterangan lebih lanjut.”
Bapak tak lagi mendengar mereka berkata. Saat ini, telinganya hanya mendengar teriakan pilu anak istrinya—dan pandangan matanya sibuk menjelajahi seisi perahu mencari parang berkarat miliknya.(*)
Posting Komentar untuk "Ikan untuk Bapak | Cerpen WS Djambak"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar