HIRUK-PIKUK di Stasiun Manggarai seperti tak ada habisnya. Para pekerja kantoran, anak sekolah, anak kuliahan, pedagang, sejoli yang menghabiskan waktu bersama, semua bercampur baur dengan aroma parfum yang bercampur keringat.
Stasiun sepertinya tak pernah sepi akan orang yang datang dan pergi silih berganti. Aku berdiri sambil melihat beberapa postingan di layar telepon seluler milikku yang lapisan antigoresnya sudah sedikit retak bekas jatuh karena tak berhati-hati saat jalan tadi. Bangku yang tersedia di peron pun terisi penuh. Beberapa orang membaca koran harian sambil sesekali melirik jam tangan dan melihat ke arah rel kereta, mungkin menunggu kapan kereta tujuan mereka akan tiba.
Dari kejauhan, moncong kereta tujuan akhir Stasiun Bogor sudah tampak. Bapak-bapak yang membaca koran sontak melipat koran dan memasukkannya ke dalam tas kerja berwarna hitam miliknya. Pasangan sejoli menggengam erat tangan pasangannya, barangkali takut lepas atau parahnya digandeng orang lain.
Setelah kereta berhenti dengan sempurna, orang-orang mulai berdesak-desakkan di pintu masuk, tak menghiraukan peringatan agar calon penumpang mendahulukan penumpang turun terlebih dahulu. Bak kutu loncat yang tak sabaran, mereka menerobos ke dalam kereta. Berebut pun percuma, sore ini tiap gerbong sudah terisi penuh. Sesak.
Tak sedikit yang berdiri sambil menahan keseimbangan badannya dengan memegang gantungan di atas kepala. Tapi bagusnya, aku mendapat satu bangku yang kosong, sepertinya baru ditinggal penumpang, pasalnya bangkunya masih hangat pertanda bekas diduduki.
Beberapa saat kemudian, kereta bergerak perlahan. Penumpang yang berdiri di depanku terlonjak, mungkin kaget. Ada beberaapa yang terhuyung ke samping, menyenggol orang di sebelahnya, lalu meminta maaf dengan isyarat anggukan kepala.
Merasa nyaman dengan posisiku, kuputus kan untuk melihat postingan di Instagram. Siapa tahu ada yang menarik.
Kereta berhenti di stasiun selanjutnya. Ada beberapa penumpang yang turun, tapi calon penumpang baru yang masuk lebih banyak dari yang turun. Mengurangi pasokan oksigen dalam kereta saja, pikirku.
Seorang bapak yang kutaksir berumur 60-an tahun masuk ke dalam kereta bersamaan dengan beberapa penumpang lainnya. Entahlah harus kupanggil bapak atau kakek atau mungkin eyang?
Ia mengenakan celana kain berwarna hitam dengan kaus putih dan topi bak pelukis. Mengerti maksudku bukan? Terlihat seperti Eyang Sapardi Djoko Damono yang memakai topi serupa, topi pet. Mirip sekali. Sambil memperbaiki kaca mata yang melorot ke hidung, tangan yang satu lagi berusaha meraih pegangan di atas kepalanya dengan kresek hitam yang menggantung di tangan.
Sengaja tak kuberikan tempat duduk milikku untuknya karena kulihat di sampingku ada beberapa pria seumuranku yang duduk asyik dengan telepon seluler miliknya. Ya, kupikir mereka akan dengan sukarela dan sadar memberikaan tempat duduknya kepada bapak ini.
Lima menit berlalu, tak juga ada yang berdiri dan memberikan tempat duduk. Pikirku, apakah mereka tidak menyadari ada yang lebih butuh tempat duduk dibanding mereka? Masih muda, pria pula. Kalau aku kan wajar, perempuan.
Akhirnya kuputuskan untuk memberikan bangkuku kepada bapak yang menjelma seperti Eyang Sapardi Djoko Damono ini. Kubereskan barang di pangkuanku, kemudian memasukkannya ke dalam tas hitam milikku.
“Pak, silakan duduk,” ucapku sambil berdiri mempersilakannya duduk.
“Wah, terima kasih banyak, Mbak,” jawabnya.
“Beneran gapapa saya yang duduk? Nanti Mbaknya pegel loh, berdiri,” tanya bapak itu terdengar sungkan.
“Gapapa dong, Pak. Aman saya mah,” jawabku berusaha meyakinkan.
“Terima kasih lagi ya, Mbak,” ucapnya sambil duduk dengan nyaman di bangku yang kutempati tadi.
Aku hanya menganggukkan kepala perlahan sambil menampilkan senyum terbaikku walaupun wajahku sudah seperti kertas yang diremas. Kusut.
Pria di sampingku bertatapan dengan temannya sambil meringis kecil dan menggaruk tengkuknya yang kutebak tak gatal. Mungkin malu melihat hal yang kulakukan. Ya bagus jika mereka malu. Masih muda kok nggak mau ngalah sama yang lebih tua, pria pula.
Menatap ke arah luar jendela kereta yang melaju dengan cepat, terlihat rumah-rumah penduduk yang berdempetan. Saking dempetnya, kukira itu satu rumah yang panjang. Terbayang bagaimana mereka berebut oksigen tiap harinya di lingkungan padat seperti itu.
“Mbak kerja di mana?” tanya bapak tadi kepadaku.
“Saya belum kerja, Pak. Masih kuliah. Saya kebetulan dari Kwitang, cari buku bekas yang bagus,” jawabku sambil nyengir. Malu di umur segini belum kerja.
“Wah seru kayak-nya ya. Saya juga suka baca buku. Bukunya Sapardi Djoko Damono apalagi. Ngefan banget saya sama beliau, ha ha,” jawabnya membuatku tertarik.
“Wah, beneran, Pak? Saya juga suka tulisan Eyang Sapardi. Wah, nggak nyangka saya nemu fan Eyang di sini,” jawabku antusias.
Beliau terkekeh perlahan, memperlihatkan beberapa giginya yang sudah tanggal dimakan usia.
“Saya seneng kalau masih ada yang suka sama karya Sapardi, apalagi anak muda,” ujar bapak itu.
“Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” Bapak itu tiba-tiba mengucapkan sajak Eyang Sapardi yang berjudul “Kita Adalah Waktu”.
“Memungut detik demi detik,” lanjutnya sambil menatapku.
“Merangkainya seperti bunga,” sambungku pelan. Bapak itu tersenyum lebar mendengarku melanjutkan sajaknya.
“Sampai pada suatu hari,” ucapnya.
“Kita lupa untuk apa,” sambungku sambil menatap ke luar jendela.
“Kita lupa untuk apa,” lanjut dia.
“Tapi yang fana adalah waktu, bukan? Tanyamu,” ucapku sambil menatap bapak di depanku dengan kagum yang membuncah.
“Kita abadi,” ucap kami berdua bersamaan.
Kudengar satu gerbong penuh riuh dengan tepuk tangan dan siulan. Terdengar jelas menyapa gendang telinga. Pria di sampingku duduk tadi bahkan berdiri dengan tepuk tangan meriah. Aku menganggukkan kepala perlahan, sedikit malu. Tak biasanya menjadi pusat perhatian, di tempat umum seperti ini pula.
“Bapak keren banget. Oh iya, nama Bapak siapa?” tanyaku setelah reda dari suara siulan dan tepuk tangan.
“Sapardi,” jawabnya sambil memperbaiki topinya yang miring.
“Sapardi?” tanyaku balik.
Bapak itu menganggukkan kepala. “Entahlah, bagaimana dan mengapa orang tua saya dulu ngasih saya nama gini,” kekehnya perlahan.
“Mbak, mumpung masih muda, nikmatin hidupmu. Jangan sampai menyesal di masa tua. Nyesal kenapa dulu saya nggak ke sini, nggak ke sana. Kenapa dulu saya nggak ngelakuin hal ini, hal itu, dan beragam penyesalan lainnya. Jangan juga sia-siakan waktu. Waktu itu sesuatu yang berharga banget dalam perjalanan hidup manusia. Lakuin segala hal yang kamu mau, selama itu positif dan bawa kebermanfaatan bagi manusia lain di sekitarmu,” pesan Pak Sapardi dengan raut wajah serius dan menatapku sungguh.
“Saya duluan ya Mbak, sudah sampai di stasiun tujuan saya.” Pak Sapardi pamit setelah mengatakan petuahnya. “Terima kasih ya tawaran bangkunya tadi, Mbak orang baik. Tetap jadi orang yang berharga,” ucapnya sambil berdiri, bersiap pergi.
“Terima kasih banyak, Pak, saya beruntung jadi salah satu orang yang dapat petuah dari Bapak. Dan ya, omong-omong, topi Bapak sudah seperti milik Eyang Sapardi. Dan Bapak cocok dengan nama itu,” ucapku sungguh-sungguh yang ditanggapi dengan kekehan oleh Pak Sapardi.
Ia lalu keluar dari kereta sambil memperbaiki topinya yang sebenarnya sudah rapi, menjinjing kresek hitam miliknya yang sedari tadi dipegang dengan erat di pangkuannya, entah apa isinya.
Ah, sepertinya ini hari begitu indah dan tak akan kulupakan begitu saja. Terlalu indah. Bermain sajak milik Eyang sekaligus mendapat petuah gratis.
“Mbak, tadi keren banget, asli deh. Apalagi puisinya tadi, widiih mantap. Pasti viral tuh nanti,” ujar pria yang tadi duduk di sampingku.
Aku hanya tersenyum singkat sambil menganggukkan kepala. Kereta masih melaju dengan cepatnya. Stasiun selanjutnya adalah tujuan akhir dari perjalananku hari ini.
Baja rel kereta bergesekan, saling mengikis, melambat, dan tibalah aku di tujuan akhirku. Setelah memastikan barang-barangku tak ada yang tertinggal, aku berdiri, bersiap meninggalkan bangku.
“Mas, kalau nanti di kereta ada yang lebih butuh tumpangan, tolong dikasih ya, Mas kan masih muda, masih kuat. Siapa tahu ketemu Sapardi versi lain, siapa tahu viral juga nanti. Saya duluan,” pamitku yang ditanggapi dengan menggaruk tengkuknya yang aku bersumpah itu tidak gatal sama sekali.
Sambil berjalan keluar dari stasiun, senyum di wajahku tak bisa luntur. “Sepotong kata yang indah di kereta hari ini,” batinku.
Langit memerah, matahari perlahan kembali ke peraduan, anak senja sibuk memasang status galau. Sedangkan aku sibuk mencari ojek online yang kupesan dengan senyum yang tak berhenti membingkai wajahku sedari tadi. (*)
Posting Komentar untuk "Sepotong Kata di Gerbong Kereta | Cerpen Arsyifa Palan Taran"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar