Iklan Atas

Blogger Jateng

Menunggu | Cerpen Seno Gumira Ajidarma


IA sudah siap untuk mati. Ibarat kata sebelah kakinya sudah berada di liang kubur. Ia merasa tidak ada kewajiban apa-apa lagi dalam hidup ini. Istrinya sudah meninggal lima tahun yang lalu, dan semenjak pengumuman berita duka citanya di koran, ia merasa setiap orang bergunjing kapan dirinya akan menyusulnya masuk liang kubur. Ia masih ingat, dua hari setelah penguburan, berita lelayu di kelokan jalan yang ditulis dengan kapur oleh Pak RT belum dihapus. Ia sendirilah yang menghapusnya dengan tangan gemetar. Kebetulan tidak ada seorang pun yang melihatnya.

Itu hanya berarti orang yang sudah tua, terutama tua sekali seperti dirinya, sama sekali tidak penting. Seorang tua boleh mati kapan saja, kemarin, hari ini, atau besok, karena memang sudah waktunya. Seseorang tidak bisa dan tidak perlu hidup terus dan tidak kunjung meninggalkan dunia ini. Siapa pun setelah menjadi tua harus mati. Sama seperti daun suatu ketika gugur dan melayang terbawa angin.

Begitulah, orang tua itu merasa dirinya adalah selembar daun, yang siap gugur dan terbawa angin. Melayang-layang. Melayang-layang. Melayang…

*****

“Kenapa tidak cepat mati saja orang tua itu ya? Capek gue denger doi punya nasihat. Waktu doi masih muda, kan, dunianya berbeda! Jangan dibanding-bandingin dong! Kayak dienye paling jagoan aje! Gue kepret dikit ntar juga ngejoprak! Ijazah cuma SMA, gayanya kayak profesor!”

Para pemuda bergitar di ujung gang kadang membicarakannya jika ia lewat. Jika tidak sedang mabuk, tidak sedang menggoda perempuan, tidak sedang berkhayal sambil minum kopi dan memaki-maki dunia, mereka akan menyadari kehadiran orang tua itu.

“Mau ke mana, Pak?”

“Jalan-jalan sebentar.”

“Hati-hati, Pak.”

“Tenang aje!”

Kadang-kadang para pemuda itu bisa membuat dirinya merasa penting. Dengan tenangnya ia melangkah dengan tongkat, makin lama makin jauh dari rumahnya. Wajah-wajah menatapnya dengan dingin. Wajah-wajah tak dikenal yang tak mengenalnya. Wajah-wajah dan wajah-wajah yang terus-menerus berganti dan terus-menerus berganti. Kadang ada yang dirasanya seperti tersenyum kepadanya, atau tertawa kepadanya, atau dirasakannya seperti menertawakannya. Ia mencoba tidak memedulikannya, tetapi perasaannya kadang terganggu juga.

“Apakah mereka menertawakan aku karena diriku sudah tua? Apa salahnya dengan menjadi tua?”

Belum selesai dengan lamunannya, ternyata ia berada di tengah jalan raya.

“He! Orang tua goblok! Minggir lu!”

Darahnya naik. Ia ingin menunjuk lampu pengatur jalan yang menunjukkan gambar manusia berwarna merah, yang berarti dirinya tak boleh menyeberang, yang membuatnya berhenti di tengah jalan. Namun bukan saja gambar manusia itu sudah menjadi hijau, melainkan ketika berwarna hijau pun lalu lintas belum tentu berhenti. Suara klakson membahana di telinganya, ditambah suara-suara yang memaki tanpa hati.

“Pikun!”

Di tengah jalanan ia memang bingung.

“Mengapa tidak di rumah saja aku tadi?”

Ia teringat ibu-ibu berdaster yang masih selalu menghormatinya. Mungkin pula mengasihaninya. Ia tidak peduli. Pokoknya mereka sopan, pikirnya lagi.

“He! Pikun! Mau mati lu!”

Di tengah jalan raya ketika lampu pengatur lalu lintas menjadi hijau. Di bawah terik matahari, di antara jalan layang berseliweran, tidak ada yang bisa dilakukannya selain megap-megap kepanasan dengan pandangan kabur.

Bumi menderum.

“Apa yang kulakukan di sini?”

Namun seorang perempuan memegang kedua lengannya dan membimbingnya ke tepi. Parfumnya menusuk hidung, tetapi perempuan itu pun segera menghilang masuk bis kota yang segera berlalu.

Bis kota yang lain mendadak berhenti di depannya. Menumpahkan banyak penumpang, dan orang-orang yang menunggu di tepi jalan itu juga berebutan naik. Ia pun ikut masuk ke dalam bis.

Ke manakah ia pergi? Ia tidak tahu. Ia hanya merasa masih tetap berada di bumi.

***

Apakah yang bisa dilakukan seorang tua dalam bis kota? Ia terdesak ke sana dan terdesak ke sini oleh orang-orang yang berkeringat dan bau. “Generasi bau,” pikirnya.

Namun tiada bis kota pada masa mudanya, hanya trem dengan bel berkeleneng tempat ia bertemu istrinya, yang waktu itu dirasanya begitu cantik, dan baginya tiada berkurang sedikit pun kecantikannya sampai pergi meninggalkannya sebatang kara.

Waktu itu ia merasa duduk berhadapan dengan seorang perempuan tercantik di dunia. Begitu melihatnya, ia merasa ingin mempersembahkan dunia ini kepadanya. Seorang perempuan yang duduk dalam trem dengan tenang, tersenyum penuh percaya diri sambil melihat ke luar jendela. Di luar hanyalah jalanan yang terlalu lengang dibanding sekarang. Perempuan yang bersanggul dan berkain kebaya. Betapa bisa naik trem dan tersenyum ria.

“Nona….”

Ia mencoba menegurnya. Tak sia-sia. Lima tahun kemudian perempuan itu menjadi istrinya. Orang tua itu tersenyum-senyum mengingatnya. Memang lupa waktu sudah limapuluh tahun berlalu dan kini dirinya berada dalam bis kota. Terdesak ke sana, terdesak ke sini, seperti terapung dalam lautan waktu.

“Lihat orang tua itu tersenyum-senyum sendiri,” ujar seseorang, berbisik kepada teman di sebelahnya.

“Ah, itu sih gila.”

Tapi telinga tuanya ternyata mendengar juga, dan hilanglah pula senyumnya. Bersama dengan itu air matanya mengalir meski ia segera menghapusnya. Seharusnya ia mengenang semua ini tidak di dalam bis kota. Namun apakah yang masih bisa pantas dalam sebuah kota yang lingkungannya sudah rusak dan tidak peduli kenyamanan penduduknya? Tidak ada bangku di taman, tidak ada sungai tanpa sampah di atasnya, jangan pula bertanya tentang angsa dan bunga-bunga. Segalanya serba celaka.

Maka ia hanya bisa pergi ke masa lalu untuk memberi tempat kepada kenangannya. Itulah saat air matanya mengalir karena merasa sudah banyak mengecewakan istrinya.

“Nah, sekarang menangis dia,” ujar seseorang yang memperhatikannya sejak tadi.

“Pasti kebanyakan dosa!”

“Dosa apa?”

Mene ketehek!”

*****

Bis itu sudah kosong waktu ia turun pada malam hari. Jalanan juga kosong dan kini tampaknya mudah saja ia menyusuri jalan kembali ke rumah. Para pemuda bergitar memang tidak pernah beranjak dari ujung gang menuju ke rumahnya itu. Barangkali saja berganti orang, tetapi selalu ada, seolah-olah gitar memang diciptakan untuk para penganggur.

“Tumben malam-malam, Pak? Busyet! Lecek amat?”

Ia lewati saja mereka, seperti telinganya benar-bener tuli.

“He-he, budeg tuh orang….”

Namun mereka segera menyanyi kembali, mabuk dan patah hati, meskipun sama sekali belum pernah berkencan dengan seorang perempuan dalam hidup mereka yang malang itu. Memang bukanlah urusan mereka bahwa ketika membuka pintu pagar, orang tua itu melihat pintu rumahnya terbuka dan lampu bagaikan lebih terang dari biasa. Terlalu terang, sangat amat terang, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terang. Bahkan segenap langit dan bumi tampak sangat amat terang benderangnya.

Dengan tertatih ia melangkah masuk dengan tongkatnya, menyeret sepatu sandalnya, dan barulah ia sadar betapa sepanjang hari itu ia naik bis kota dan mengelilingi kota mengenakan piyama. Benaknya bertanya-tanya, dengan terang cahaya seperti itu, mengapa para tetangga seperti tidak melihatnya?

Sampai di depan pintu, terdengar suara yang menyapanya. “Dari mana saja? Enak jalan-jalannya?”

Suara itu sangat dikenalnya, seperti suara istrinya!

Ia tertegun. Sejenak. Lantas mengerti.

“Jadi aku tidak usah menunggu lagi,” pikirnya.

*****

Malam itu juga, sementara Pak RT menuliskan nama orang tua itu dengan kapur pada papan tulis, para peronda memasang bendera kertas minyak berwarna kuning di ujung gang.

“Eh, padahal baru saja doi lewat sini tadi,” kata salah seorang dari para pemuda yang berjongkok sambil merokok dan main gitar di ujung gang.

”Kalau doi baru saja lewat, emangnye lantas kenape?” Ujar salah seorang peronda, sambil menguap panjang sekali, “Busyet. Ngantuk banget euy!” ***

Posting Komentar untuk "Menunggu | Cerpen Seno Gumira Ajidarma"