Widji Thukul dan Contoh Puisinya - Widji Thukul, bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963 dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pendidikan tertinggi Thukul Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang. Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal.
Namun, kemelaratan tidak serta-merta membelenggu hasratnya untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, dia semakin berapi-api untuk menuntut keadilan. Dia beberapa kali memimpin aksi massa untuk menyuarakan suaranya. Dia pernah ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Sariwarna, sebuah perusahaan tekstil asli Solo. Dia juga pernah memimpin aksi petani di Ngawi, yang kemudian berbuntut pada aksi pemukulan terhadap dirinya oleh aparat. Tidak hanya itu, Thukul juga harus mengalami luka parah di mata kanannya, karena dihajar oleh aparat ketika memprotes PT Sritex bersama para karyawannya.
Lalu muncullah peristiwa kekacauan 27 Juli 1996. Thukul, Budiman Sujatmiko, dan Pius Lustri Lanang menjadi buronan utama pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan dan kurang jelas hingga sekarang, karena Thukul sesungguhnya bukan pada 'kaliber' kedua buronan yang lain. Artinya, Budiman dan Pius sudah jadi aktivis taraf nasional, sementara Thukul hanyalah seniman lokal yang potensi ancamannya pada pemerintah tak begitu besar. Sejak itu, Budiman ditahan, diadili, dan dipenjarakan; Pius diculik orangnya Tim Mawar, Kopassus (Kopassus saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto sebagai komandan) ; sedangkan Tukul hilang – konon juga dihilangkan oleh Tim Mawar Kopassus. Secara resmi, Thukul masuk daftar orang hilang pada tahun 2000.
Namun, kemelaratan tidak serta-merta membelenggu hasratnya untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, dia semakin berapi-api untuk menuntut keadilan. Dia beberapa kali memimpin aksi massa untuk menyuarakan suaranya. Dia pernah ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Sariwarna, sebuah perusahaan tekstil asli Solo. Dia juga pernah memimpin aksi petani di Ngawi, yang kemudian berbuntut pada aksi pemukulan terhadap dirinya oleh aparat. Tidak hanya itu, Thukul juga harus mengalami luka parah di mata kanannya, karena dihajar oleh aparat ketika memprotes PT Sritex bersama para karyawannya.
Lalu muncullah peristiwa kekacauan 27 Juli 1996. Thukul, Budiman Sujatmiko, dan Pius Lustri Lanang menjadi buronan utama pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan dan kurang jelas hingga sekarang, karena Thukul sesungguhnya bukan pada 'kaliber' kedua buronan yang lain. Artinya, Budiman dan Pius sudah jadi aktivis taraf nasional, sementara Thukul hanyalah seniman lokal yang potensi ancamannya pada pemerintah tak begitu besar. Sejak itu, Budiman ditahan, diadili, dan dipenjarakan; Pius diculik orangnya Tim Mawar, Kopassus (Kopassus saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto sebagai komandan) ; sedangkan Tukul hilang – konon juga dihilangkan oleh Tim Mawar Kopassus. Secara resmi, Thukul masuk daftar orang hilang pada tahun 2000.
Berikut 20 contoh puisi yang mayoritas berisi perlawanan terhadap ketidakadilan dari Widji Thukul yang bisa Sobat sekalian simak.
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar
buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan
berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
18 juni 97
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami
sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh
bersama
dengan keyakinan: engkau harus
hancur!
di dalam keyakinan kami
di mana pun – tiran harus
tumbang!
Solo, 87-88
maumu mulutmu bicara terus
tapi tuli telingamu tak mau
mendengar
maumu aku ini jadi
pendengar terus
bisu
kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut
andai benar
ada kehidupan lagi nanti
setelah kehidupan ini
maka aku kuceritakan kepada
semua makhluk
bahwa sepanjang umurku dulu
telah kuletakkan rasa takut
itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim
24 januari 97
parit susut
tanah kerontang
langit mengkilau perak
matahari menggosongkan pipi
gentong kosong
beras segelas cuma
masak apa kita hari ini
pakis-pakis hijau
bawang putih dan garam
kepadamu kami berterima kasih
atas jawabanmu
pada sang lapar hari ini
gentong kosong
airmu kering
ciduk jatuh bergelontang
minum apa hari ini
sungai-sungai pinggir hutan
yang menolong di panas terik
dan kalian pucuk-pucuk muda
daun pohon karet
yang mendidih bersama ikan
teri di panci
jadilah tenaga hidup kami hari
ini
dengan iris-irisan ubi keladi
yang digoreng dengan minyak
persediaan terakhir kami
gentong kosong
botol kosong
marilah menyanyi
merayakan hidup ini
6 Januari 97
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya
sendiri
penguasa harus waspada dan
belajar mendengar
bila rakyat tidak berani
mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa
ditimbang
suara dibungkam kritik
dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan
mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata:
lawan!
Solo, 1986
mimpi-mimpi bagusku kubunuh dengan kenyataan
tinggal tubuh kurus kering dan
cericit tikus
ketika kuterbaring tidur di
tikar dan bantal
yang banyak bangsatnya
tak seluruh mimpi-mimpi itu sirna
tersisa juga yang sederhana:
alangkah bahagia aku andai
sudah bisa beli
minyak tanah dan menyalakan
lampu teplok
lalu membaca buku sampai malam
larut dan menulis
alangkah bahagia aku andai
sudah beli kompor
dan masak supermi ketika lapar
alangkah bahagia aku andai
sudah bisa menggaji ibu
membeli baju baru bagi
adik-adik ketika lebaran
rokok buat bapak dan lain-lain
lapar memang memalukan!
(tiba-tiba aku mendengar
jutaan nyawa saudaraku yang
karena lapar menjadi copet, lonte dan gelandangan
tiba-tiba aku merasa lebih
kaya tinimbang mereka
rumah punya, nyewa tak apa
makan bisa hutang kiri-kanan
minum tersedia air sumur
umum).
justru hari inilah
ketika aku lapar sendiri dalam
kamar 6 x 7 meter
di sini ini
aku bersyukur masih sempat
nulis puisi
aku bersyukur masih sempat
nulis puisi
ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu
biaya
masuk toko perbelanjaan
tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
kalau pengin durian
apel pisang rambutan atau
anggur
ayo
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu
biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
kalau pengin lihat orang
cantik
di kota kita banyak gedung
bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga
cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel
baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama
dari ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
kota kita memang makin megah
dan kaya
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
18 Nopember 96
siang tadi aku beli baju
harganya murah
harganya murah bojoku
di pedagang loak
di pedagang loak bojoku
pundaknya sedikit sobek
sedikit sobek bojoku
bisa dijahit tapi
nanti akan kubeli benang
akan kubeli jarum
untuk menjahit bajumu bojoku
untukmu bojoku
baju itu untukmu
tadi siang kucuci baju itu
kucuci bojoku
tapi aku bimbang
aku bimbang bojoku
kutitip ke kawan
atau kubawa sendiri
nanti kalau aku pulang
kalau aku pulang bojoku
karena sekarang aku buron
diburu penguasa
karena aku berorganisasi
karena aku berorganisasi
bojoku
baju itu kulipat bojoku
di bawah bantal
tak ada setrika bojoku
tak ada setrika
agar tak lusuh
agar tak lusuh
karena baju ini untukmu bojoku
22 Januari 96
gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki
hingga ke sendi-sendi
dalam sunyi hati menggigit
lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kiri kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu
nyenyak)
bertanya apa mereka saat
terjaga
aku tak ada (seminggu sesudah
itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang
dari yang kalian harapkan!)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah
kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit
genap ½ tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
aku pasti pulang
mungkin tengah malam dini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu
aku pasti pulang dan pasti
pergi lagi
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun
mereka masuki
muka kita sudah diinjak!
kalau kelak anak-anak bertanya
mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang dicari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya
yang dirampas dan dicuri
15 januari 97
di sini terbaring
mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya tergusur
di tanah ini
terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap
Pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya
janji
di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah!
jagalan, kalangan
solo, 25 oktober 88
Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke
mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara
mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat
pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang
pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
suara mesin kembali
menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
solo, 27 februari 88
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini datang gantinya
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
bagi-bagi tanahnya
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
siapa beli gunungnya
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini indonesia
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini siapa yang punya
solo, kalangan, april 89
* diilhami sebuah tembang
rakyat dari Madura
yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat
sekolah
karena belum membayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba
rusak
Jika nasi harus dibeli dengan
uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak
ada?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan
ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak terdesak
oleh bis kota
Kalau bis kota lebih murah
siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau ibu dijiret utang?
Kalau tetangga dijiret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau kami terdesak mendirikan
rumah
Di tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin
mahal
Kami tak mampu membeli
Salah siapa kalau kami tak
mampu beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di
rumah
Karena rumah sakit yang mahal?
Apa yang berharga dari puisiku
Yang kutulis makan waktu
berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam
kemiskinan
Yang menjiret kami?
Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi
memberi keplokan
Apa yang telah kuberikan
Apa yang telah kuberikan?
Semarang, 6 maret 86
aku nganggur lagi
semalam ibu tidur di kursi
jam dua lebih aku menulis
puisi
aku duduk menghadap meja
ibu kelap-kelip matanya
ngitung utang
jam enam sore:
bapak pulang kerja
setelah makan sepiring
lalu mandi tanpa sabun
tadi siang ibu tanya padaku:
kapan ada uang?
jam setengah tujuh malam
aku berangkat latihan teater
apakah seni bisa memperbaiki
hidup?
Solo, juni 86
kucing hitam jalan pelan
meloncat turun dari atap
tiga orang muncul dalam gelap
sembunyi menggenggam besi
kucing hitam jalan pelan-pelan
diikuti bayang-bayang
ketika sampai di mulut gang
tiga orang menggeram
melepaskan pukulan
bulan disaput awan meremang
saksikan perayaan kemiskinan
daging kucing pindah
ke perut orang!
Solo, 1987
desa yang tandus ditinggalkannya
kota yang ganas mendupak
nasibnya
tetapi dia lelaki perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki perkasa
masa remaja belum habis
direguknya
Tukini setia terlanjur jadi
bininya
kini Darman digantungi lima
nyawa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak akan
melampus hidupnya
tetapi kepada tangis
anak-anaknya
tidak bisa menulikan telinga
lelaki, ya Darman kini adalah
lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan ke dalam
penjara
Tukini setia menangisi
keperkasaannya
ya merataplah Tukini
di dalam rumah yang belum
lunas sewanya
di amben bambu wanita itu tersedu
sulungnya terbaring diserang
kolera
Tukini yang hamil buncit
perutnya
nyawa di kandungan anak kelima
di belakang gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas tidur di
mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun sewaktu
kalian mau
jika kedinginan karena gerimis
atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana ada restoran
kalian bisa tidur dekat kompor
penggorengan
bakmi ayam dan babi denting
garpu dan sepatu mengkilat
di samping sedan-sedan dan
mobil-mobil bikinan asli jepang
kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci badan dengan
limbah-limbah industri
apa belum cukup terang
benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur
di bawah langit kawan
kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok
pagar besi itu jangan!
kepada: kun
yang gelisah mengajakku pulang
aku tahu aku tak sendirian
sesenyap apa di mana pun
ada yang mengajak berhenti
ketika lari
ada yang mengajak bicara
ketika diam
ada yang mengajak terbahak
ketika bungkam
ada yang mengajak jaga ketika
tidur
aku tak tahu siapa namamu
yang mengajakku pulang
dengan suara rindu bapa pada
anaknya
yang membuatku tersedu
di tengah jalan yang panjang
dan remang
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal
nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
1989
aku dilahirkan di sebuah pesta yang tak pernah selesai
selalu saja ada yang datang
dan pergi hingga hari ini
ada bunga putih dan ungu dekat
jendela di mana
mereka dapat
memandang dan merasakan
kesedihan dan kebahagiaan
tak ada menjadi miliknya
ada potret penuh debu, potret
mereka yang pernah hadir
dalam pesta itu entah sekarang
di mana setelah mati
ada yang merindukan kubur bagi
angannya sendiri
yang melukis waktu sebagai
ular
ada yang ingin tidur sepanjang
hari bangun ketika hari
penjemputan tiba agar tidak
merasakan menit-menit
yang menekan dan berat
di sana ada meja penuh kue
aneka warna, mereka
menawarkannya
padaku, kuterima kucicipi
semua, enak!
itulah sebabnya aku selalu
lapar
sebab aku hanya punya satu,
kemungkinan!
Tuhanku aku terluka dalam
keindahan-Mu.
Posting Komentar untuk "20 Contoh Puisi Widji Thukul"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar