Beberapa waktu lalu, tempatku dan adik-adik berkumpul masih penuh pepohonan. Namun kini pohon-pohon itu tumbang, digergaji, dibakar dan dibawa oleh orang-orang entah ke mana. Cuma tertinggal sebuah pohon, yang besok pun bakal tumbang pula. Di bawah pohon itulah, aku dan adik-adikku berkumpul.
Ucup, Ujang, dan Budi sudah tiba. Kedua adikku yang lain belum datang. Mungkin mereka masih di perjalanan.
“Ucup, bagaimana koranmu? Semua terjual?” tanyaku.
“Seperti kaulihat, Kak. Aku tak membawa apa-apa. Semua habis terjual.”
“Syukurlah,” batinku. “Ujang, Budi. Koran kalian juga habis terjual?”
“Ya, Kak,” jawab Ujang.
Budi hanya diam.
“Yei, cerita belum dimulai bukan? Aku belum ketinggalan bukan?” ucap Maman, lantang, mengagetkan aku, Ucup, dan Ujang.
Aku tersenyum melihat Maman dan Ucok yang baru datang. Kini, semua adikku telah berkumpul.
Kulihat Maman dan Ucok masih membawa koran. Koran mereka tidak terjual.
“Maman, Ucok, ke mana saja kalian? Tak seperti biasa, malam ini kalian telat datang.”
“Keliling kota, Kak. Menghabiskan koran.”
“Ya, Kak. Seharian ini koran kami tak laku,” timpal Ucok.
“Baiklah, biar Kakak yang menjual koran kalian besok,” ucapku. “Mari kita mulai cerita. Malam ini, Kakak hendak bercerita tentang Abu Nawas. Adakah yang sudah tahu?”
“Aku, Kak,” sahut Maman. “Aku pernah mendengar kisah Abu Nawas dan seekor monyet.”
“Ya, lalu?”
“Lalu aku lupa ceritanya, Kak.”
“Dasar!” ucap Ucup.
“Hu…!” sahut Ujang dan Ucok.
Maman tersenyum meringis sembari menggaruk kepala.
“Baiklah, Kakak mulai cerita,” ucapku.
Abu Nawas seorang sufi dan penyair. Aku ragu menyampaikan kata “sufi” dan “penyair” kepada adik-adikku. Mereka masih kecil dan kukira belum perlu tahu makna kata-kata itu. Lagipula, apalah arti sufi dan penyair bagi adik-adikku.
Mungkin mereka juga belum perlu tahu sejarah Abu Nawas yang sering berpura-pura gila. Abu Nawas berpolah begitu agar raja tak memilih dia menjadi hakim. Abu Nawas khawatir jika harus menjadi hakim, karena merasa belum mampu bersikap adil.
“Kisah Abu Nawas dan seekor monyet,” ucapku mengawali cerita. “Kala itu suatu keramaian mengejutkan Abu Nawas yang sedang jalan-jalan. Kata orang-orang, dalam keramaian itu ada pertunjukan monyet ajaib. Monyet itu memahami percakapan orang-orang,” ucapku sembari memandang adik-adikku.
Mereka diam. Mungkin sedang mendengarkan aku atau malah melamunkan hal lain.
*****
“Siapa pun yang mampu membuat monyetku mengangguk, akan mendapat hadiah uang dariku,” begitulah ucap tuan pemilik monyet.
Abu Nawas datang dan menantang monyet itu. Ya, Abu Nawas sudah menunggu-nunggu saat itu. Sejak tadi tak ada seorang pun yang mampu membuat monyet itu mengangguk.
“Tahukah engkau siapa aku?” Abu Nawas bertanya
Si monyet menggelengkan kepala.
“Apakah engkau takut kepadaku?” Kembali Abu Nawas bertanya.
Si monyet tetap menggelengkan kepala.
“Apakah engkau takut kepada tuanmu?”
Si monyet diam.
“Bila engkau hanya diam, kuadukan engkau kepada tuanmu,” lanjut Abu Nawas mengancam si monyet.
Akhirnya monyet itu mengangguk. Dan, Abu Nawas pun mendapat hadiah uang dari tuan pemilik monyet.
Tuan itu malu sekaligus jengkel. Lalu dia pun melatih monyetnya untuk tidak menggelengkan kepala. Tuan itu bahkan mengancam si monyet bila menggelengkan kepala, apalagi kepada Abu Nawas.
Keesokan harinya, Abu Nawas datang kembali ke pertunjukan monyet. Segera dia melempar pertanyaan kepada monyet itu. “Tahukah engkau siapa aku?”
Si monyet mengangguk.
“Apakah engkau tidak takut kepadaku?”
Si monyet mengangguk.
“Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?”
Si monyet tetap mengangguk. Si monyet ternyata lebih takut menghadapi ancaman dari tuannya ketimbang menjawab pertanyaan Abu Nawas.
Abu Nawas pun mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.
“Tahukah engkau guna balsam ini?”
Si monyet mengangguk.
“Baiklah. Kugosok badanmu dengan balsam ini ya?”
Si monyet tetap mengangguk. Abu Nawas pun mengoleskan balsam ke tubuh si monyet. Monyet itu kepanasan dan panik. Namun tanpa menghiraukan si monyet, Abu Nawas membuka bungkusan balsam lebih besar.
“Maukah engkau bila semua balsam ini kuoleskan ke badanmu?”
Si monyet ketakutan. Ia berjalan mundur dan terpaksa menggelengkan kepala kepada Abu Nawas.
*****
Begitulah, aku, Ucup, dan Ujang tertawa. Maman tertawa pula , bahkan paling keras. Ucok cuma tersenyum, sedangkan Budi hanya diam.
Tawaku, Ucup, dan Ujang mereda. Namun Maman masih tertawa.
“Cerita lagi, Kak!” ucap Maman setelah berhenti tertawa.
“Baiklah,” ucapku.
Aku melanjutkan cerita. Kulihat Ucup, Ujang, Maman, dan Ucok terus tersenyum mendengar ceritaku. Sesekali Maman menyela, sembari mereka-reka lanjutan ceritaku. Rekaan Maman selalu salah dan dia selalu kena ujaran celetukan dari adik-adikku yang lain.
Gelak tawa, mulut menguap, dan pukulan adik-adikku kepada Maman meramaikan malam itu. Suara bus pinggir jalan, klakson, dan desingan suara mesin motor memaksaku bercakap lebih lantang agar suaraku terdengar oleh adik-adikku.
Malam itu, bintang-bintang mengedipkan sinar. Menghambur di langit mendampingi bulan agar tak bersinar sendirian. Angin malam yang berembus menggugurkan daun-daun kering. Angin malam berembus kembali. Kali ini lebih kencang. Aku dan adik-adikku menggigil diterpa angin malam.
Tak jauh di belakangku, kusaksikan gemerlap cahaya merah, ungu, dan putih lampu-lampu gedung. Di samping kiriku ada pula lampu di puncak tiang pinggir jalan memancarkan cahaya kuning.
Pikiranku melayang ke masa lalu. Dahulu, tempat itu tak segersang sekarang. Ada pohon dan sawah. Warga sering berkumpul pada waktu malam untuk saling sapa dan bertanya kabar.
Sore hari halaman masjid ramai oleh anak-anak kecil yang bermain bola. Selagi mereka bermain, ibu dan kakak perempuan mereka menyapu halaman rumah. Di jalanan desa, para bapak dan kakak laki-laki mereka berlalu sembari membawa ketela, dedaunan, dan bawaan lain dari sawah atau ladang.
Lalu masa itu tiba. Orang-orang asing datang dan memaksa kami pindah ke tempat lain, entah ke mana. Tentu saja semua orang menolak. Aku juga menolak pindah. Namun kami tak berdaya. Mereka mengatasnamakan hukum, undang-undang, kesejahteraan, bahkan mengancam.
Kami kalah. Tempat kami menjadi proyek perluasan wilayah kota dan pembangunan jalan.
Aku menemukan Ucup, Ujang, Maman, dan Ucok saat bersembunyi dari kejaran orang-orang pasar. Mereka sekawanan pencuri. Budi kutemukan berdiam diri berhari-hari di lahan penggusuran. Aku dan mereka sama. Sama-sama telantar dan tidak tahu mesti berbuat apa.
Malam bertambah malam. Aku dan adik-adikku larut dalam cerita.
“Sudah, Kakak kehabisan cerita Abu Nawas. Sekarang Kakak ceritakan kisah lain.”
“Apa, Kak?”
“Dengarkan saja!” ucapku membalas Maman. “Suatu hari, seorang pemburu mencari harimau di hutan. Setelah lama berkeliling, pemburu akhirnya menemukan seekor harimau. Segera pemburu itu mengambil ancang-ancang dan bersiap menembak.”
“Menembak pakai apa, Kak?”
“Senapan, Man.”
“Senapan itu apa, Kak?”
“Senapan itu semacam alat tembak yang dipakai tentara, Man.”
“Oh, ya ya ya. Aku pernah melihat di tipi pos ronda,” balas Maman.
“Ya, begitulah, Man,” sahutku.
“Kakak lanjutkan cerita!”
“Ya, Kak,” sahut Ucup, Ujang, Maman, dan Ucok serentak.
“Setelah bersiap-siap, pemburu itu melepas tembakan,” lanjutku. “Dor!” capku lantang.
Ucup, Ujang, Maman, dan Ucok tersentak. Kaget.
“Tembakan pemburu itu meleset. Harimau itu kaget, lalu bangkit dan mengejar sang pemburu. Pemburu berlari kencang hingga akhirnya sampai di ujung jurang. Pemburu yang ketakutan dan panik segera berdoa kepada Tuhan.”
“Kenapa diam, Kak?” sela Maman melihat aku menghentikan cerita.
“Kau tahu apa yang terjadi pada pemburu itu saat berdoa, Man?”
“Harimau memakannya.”
“Tidak. Harimau tidak memangsanya.”
“Kok bisa?”
“Ya, saat pemburu itu membuka mata, ternyata si harimau sedang menadahkan kedua kaki depan. Pemburu heran, lalu bertanya kepada harimau. Ternyata harimau itu sedang berdoa sebelum makan.”
Maman tertawa pingkal-pingkal. Begitu pula Ucup, Ujang, dan Ucok.
“Lagi, Kak!” ujar Maman yang masih tertawa.
“Baiklah. Ini cerita terakhir malam ini,” balasku.
*****
Suatu ketika tukang becak sedang melintasi jalan. Di ujung jalan itu ada plang bertuliskan “Becak Dilarang Masuk”. Tukang becak mengabaikan peringatan itu. Seorang polisi tahu dan menyemprit.
“Apa engkau tak melihat plang itu? Becak dilarang masuk!” Polisi itu membentak si tukang becak.
Tukang becak itu menjawab. “Oh, saya lihat, Pak. Tapi gambar becak di plang itu kosong, padahal becakku berpenumpang. Jadi boleh masuk.”
Polisi kembali membentak, “Bodoh! Apa kamu tak bisa membaca? Di bawah gambar itu ada tulisan becak dilarang masuk.”
“Tidak, Pak. Saya tak bisa membaca. Kalau bisa membaca, saya bakal jadi polisi seperti sampean. Tidak jadi tukang becak.”
*****
Ucup, Ujang, Maman, dan Ucok tertawa. Budi cuma tersenyum mendengar ceritaku.
Gelak tawa menutup malam. Tak lama usai mendengar ceritaku, Ucup, Ujang, Maman, dan Ucok tertidur. Mereka terlelap.
Budi beranjak dari duduknya, lalu mendekatiku.
“Kak, besok kita tinggal di mana?”
“Tidurlah, Budi! Besok kita pasti mendapat tempat tidur baru,” ucapku menenangkan Budi.
Nicko Fernando, lahir di Grobogan, 20 Agustus 1995, bergiat di Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS)