Iklan Atas

Blogger Jateng

Kenangan Hari Raya | Cerpen Indrian Koto


“JIKA puasamu bolong satu hari saja tanpa alasan, maka puasa-puasa lain di bulan itu tidak akan diterima,” kata ibu ketika aku kelas tiga sekolah dasar. Ajaib, untuk pertama kalinya puasaku penuh sebulan tanpa bolong sama sekali.

Kata-kata ajaib ibu itu terus menjadi motivasi buatku untuk selalu berpuasa dan tak ingin bolong satu hari pun. Namun, seiring usia, justru aku merasa puasa terasa semakin berat dan penuh godaan.

Yang sangat berat bagiku ketika kecil tentu saja bangun untuk makan sahur. Sehabis itu di minggu-minggu awal puasa, anak-anak dan para remaja, akan menghambur keluar rumah. Rasanya asyik saja sehabis Subuh jalan-jalan tak tentu arah. Mereka yang sudah mengenal asmara tentu lebih menikmati kesempatan itu. Setelahnya kami meringkuk tidur dan bangun di siang hari. Laki-laki berkumpul di pos ronda, anak gadis biasanya berkumpul di rumah teman perempuannya dengan muka penuh bedak beras.

Siang hari di bulan puasa kampung terasa sunyi-senyap. Tapi begitu sore menjelang, suasana menjadi ramai. Orang-orang sibuk mencari bahan untuk berbuka, pasar kecamatan penuh, jalanan ramai, dapur dan meja makan tak kalah ramai. Jam-jam menjelang berbuka adalah saat yang sibuk bagi semua orang. Kau tidak akan menemukan sore semacam itu di waktu yang lain. Begitu adzan Magrib berkumandang, malam menawarkan kisah yang lebih manis dan mendebarkan. Anak-anak membakar lilin, main kembang api dan mercon. Remaja lelaki membisikkan rencana di kedai kopi, anak gadis merasa bebas memilih kawan.

Menjelang Ramadhan berakhir, masjid-masjid di sekitar mengadakan acara lelang kue untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid. Para gadis yang didaulat memegang singgang (opor) ayam atau kue bolu (kali menyebutnya roda oto) pastilah merasa menjadi ratu. Tidak semua gadis yang mendapat kesempatan untuk memegang kue atau singgang, sebab harga dipengaruhi oleh gadis mana yang berdiri di samping MC.

Takbiran adalah malam yang ditunggu-tunggu. Kami, anak laki-laki ah, lelaki selalu lebih mujur ketimbang perempuan berebutan naik truk yang disediakan untuk takbir keliling. Sehabis buka, kami akan melompat dan berdesakan di dalam bak, berebut mencari tempat yang nyaman. Pilihan yang pertama-tama tentu saja bagian kepala truk.

Sepanjang jalan kami akan berpapasan dengan banyak mobil yang sama-sama takbir keliling. Kami menyiapkan pistol air yang diisi dengan pewarna. Tak jarang pula ada yang melempar batu yang kadangkala memicu perkelahian antar pemuda di malam baik itu.

Ketika aku beringsut remaja, urusan kami bukan lagi sekedar menyembunyikan sandal para jamaah, main petasan dan kerak lilin. Seiring usia, aku menemukan Ramadhan dengan ciri yang lebih manis dan elegan. Aku mulai mencari-cari celah untuk mendekati kawan perempuan. Sebelum taraweh kami bersiap-siap di luar masjid menunggu para dara masuk masjid dan duduk rapi untuk mengaji. Suara mereka yang lembut dan tenang mengalun dari toa, tersebar di sepanjang kampung.

Kami punya cara-cara sendiri untuk menarik perhatian, merayu bagai pejantan yang ingin kawin. Keberhasilan yang paling hebat tentu saja jika salah satu dari kami bisa menitipkan buku Catatan Agenda Ramadhan pada gadis pujaan.

*****

Hari istimewa lainnya tentulah saat hari raya tiba.

Lebaran telah menyelamatkan kami dari hal-hal sederhana. Kami mendapat jatah baju baru, lemari rumah penuh dengan kue, ada sirup segala di meja makan. Kampung terasa lebih ramai, apalagi orang rantau banyak yang pulang.

Lalu hari raya memiliki kesan yang lebih berbeda ketika aku remaja. Kami bermain di keramaian yang terletak di tengah desa. Kami mulai menggoda anak dara yang juga berkelompok sambil terkikik malu-malu. Sebagian yang lain tentu mulai memiliki pasangan. Sepanjang tahun kami mulai kehilangan satu-dua kawan. Mereka yang sudah memiliki pasangan punya cara berlebaran yang sedikit berbeda. Tak selalu bisa bersama-sama. Saat itu kukira mereka telah menemukan makna Lebaran yang lain pula.

Tak ada yang bisa merasa gerak waktu. Aku dan kawan-kawan berebut besar. Sebagian meneruskan sekolah hingga SMA, sebagian yang lain menghabiskan waktu di laut dan muara. Sebagian menghilang ke tanah lain. Namun kami masih merasa debar yang sama ketika Ramadhan mulai berkunjung. Tapi itu tak lama, kami tak lagi mendapat jatah baju baru, tak lagi mengantongi pistol air dan bedil-bedilan. Di pundak kami mulai dikalungkan beban hidup dan tanggung jawab menjadi orang dewasa.

Kemudian aku, dan beberapa kawan yang lain, sehabis Lebaran itu, bersama orang-orang dewasa lainnya memilih pergi dari kampung. Rantau yang menjadi pilihan tentu tanah seberang.

“Aku tak bisa pulang Lebaran ini,” kata-kata itu akan mulai terdengar dari mulut para perantau. Sekali, dua kali dan bisa jadi lebih dari tiga Lebaran kami tak pulang. Usia dewasa telah melumat hal-hal paling manis dalam hidup. Kenangan manis yang hanya bisa dirasakan di hari Lebaran.

Di hari Lebaran ini aku mengenang mereka semua; orang-orang yang pernah masuk dalam hidupku. Kami tak selalu bisa bertemu meski di hari-hari besar semacam ini. Aku merindukan lagi masa kanak yang berdebar menunggu baju baru.

Aku merindukan masa remaja yang berdebar bersama dara pujaan di pesta pantai yang rutin diadakan sehabis lebaran.

“Aku tak cukup ongkos untuk pulang, Bu,” kataku pada ibu ketika meneleponnya di hari terakhir Ramadhan.

Di seberang ibu hanya menangis.

Aku hanya bisa mengenang ibu yang terlihat selalu muda di hari raya, bapak yang beberapa hari akan tetap tinggal di rumah, kawan-kawan dengan seragam warna-warni, ruang tamu yang penuh kue dan makanan.

Aku mengenang itu semua. Hanya bisa mengenang.


Indrian Koto, lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, kampung kecil di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Menyukai sastra dan terus belajar mendalaminya. Lulusan Sosiolog UIN Sunan Kalijaga. Mengurus toko buku kecil jualbukusastra.com serta penerbitan kecil MK Books dan Penerbt JBS. Mengikuti program penulisan puisi Mastera. Buku puisi pertamanya yang sudah terbit: Pleidoi Malin Kundang (Gambang, 2017)

Posting Komentar untuk "Kenangan Hari Raya | Cerpen Indrian Koto"