Iklan Atas

Blogger Jateng

Bir Pletok | Cerpen Zainul Mutaqin


Langit sudah merah, Rojali baru datang. Lelah melingkar di wajahnya, berat ia bernapas. Duduk pada sebuah kursi kayu bercat kuning, Rojali menuang air ke dalam gelas. Cepat ia meraihnya dan meneguk sampai habis. Sesaat kemudian, ia membuka lembar demi lembar kertas dalam map yang sejak semula dilemparkannya ke atas meja. Gigi Rojali bergemerutuk, kesal sedang mendera hati lelaki muda itu.

Rojali memukul meja, disertai desah yang kasar dari mulutnya. Kedua tangannya memegang kepala, diremas-remas rambutnya. Rojali berserapah yang entah ditujukan kepada siapa. Haji Usin, babenya yang mendengar dari tempat salat, langsung turun. Kewajiban salat Magrib selesai dikerjakan, sunah salat tak ditunaikan karena Rojali memaki-maki tidak jelas. Teriakannya mengganggu Haji Usin.

“Lekas salat. Jangan banyak menggerutu!” Haji Usin berdiri di dekat anaknya. Lelaki bertubuh kurus serupa batang lidi itu berkacak pinggang. Rojali bergeming.

Hampir lima menit, Rojali tak menanggapi ucapan babenya. Ia tetap pada posisinya, duduk terdiam, menundukkan wajah. Terpaksa Haji Usin menggebrak meja. Kaget, Rojali langsung mendongak dan melihat mata babenya yang melotot. Lambat Rojali bangkit dari duduknya, lesu seharian mencari kerja di kota.

“Apa dengan salat saya bisa dapat pekerjaan?” Pertanyaan yang dilontarkan Rojali kepada babenya itu hampir saja membuat Haji Usin menamparnya.

“Kau sendiri yang cari rumit. Sudah saya bilang, kau tak perlu cari kerja. Urus warung saja.” Haji Usin sedikit mengeraskan suaranya.

“Jual bir pletok? Malu lah saya pada gelar sarjana yang saya dapat.” Rojali tersenyum meledek. Haji Usin diam sambil menggelengkan kepalanya.

Rojali tergesa-gesa menuju kamar mandi, mengambil wudu, kemudian mengerjakan salat. Setelah selesai melaksanakan kewajiban sorenya, Rojali keluar rumah, menuju ke halaman, pada balai-balai bambu di bawah pohon kecapi. Telentang Rojali merebahkan tubuh, beralas tikar daun pandan, ke langit matanya memandang.

Sinar bulan menerpa tubuh lelaki muda itu, angin datang mengecup daun kecapi. Pikiran Rojali bercabang-cabang. Satu cabang memikirkan, apakah ia harus meneruskan usaha babenya sebagai penjual bir pletok. Satu cabang lagi memikirkan, Rojali berhasrat sekali bekerja pada sebuah perusahaan di kota, kerja dalam ruangan berpendingin, memakai dasi setiap hari, pergi sejak matahari muncul hingga tenggelam di ujung barat. Rojali mendesah merenungkannya.

Haji Usin menyusul anaknya, duduk bersandar pada pohon kecapi yang sudah ratusan tahun tumbuh di halaman rumahnya. Rojali bangun, duduk menghadap ke arah babenya. Haji Usin menyalakan sebatang rokok, menari-nari asapnya di atas kepala. Rojali masih menekuri pikirannya sendiri, tak menggubris panggilan babenya dari tadi.

Haji Usin, pemilik warung kopi di pinggir jalan besar, lebih dikenal sebagai penjual bir pletok ketimbang penjual kopi. Di warungnya, Haji Usin memang menyediakan kopi bagi para sopir maupun pembeli dari desa seberang. Tetapi, mereka lebih suka dengan bir pletok racikan Haji Usin yang sudah terkenal sejak puluhan tahun lalu. Cerita orang-orang, bir pletok Haji Usin lezatnya luar biasa.

Orang-orang sudah datang sebelum Haji Usin membuka warungnya, setia mereka menunggu demi menikmati bir pletok yang tak mereka dapatkan dimana pun. Tak ada yang membantu pekerjaan Haji Usin di warung, semuanya dikerjakan seorang diri setelah istrinya meninggal. Hal ini kadang memunculkan pertanyaan dari para pelanggan perihal mengapa Haji Usin tak mengajak serta anak lelakinya untuk membantu atau mengambil pembantu dari tetangga.

Haji Usin menjawab pertanyaan itu, samar-samar suaranya mengucap, “Saya sudah terbiasa sendiri.”

Sungguh jawaban Haji Usin tak dapat memuaskan mereka. Kepala mereka menggeleng. Tak ada lagi pertanyaan macam-macam dari para pelanggannya. Haji Usin selalu gesit melayani pelanggan warungnya, meskipun waktu sudah hampir menghabiskan usianya. Haji Usin menebar senyum kepada semua pelanggan, sebuah keramahan yang tak dibuat-buat, itulah salah satu alasan warungnya ramai dikunjungi.

Sebagai satu-satunya warung yang menjual bir pletok sampai saat ini, Haji Usin mewarisi ilmu meracik bir pletok yang terdiri atas campuran beberapa rempah, jahe, daun pandan wangi, dan serai dari leluhurnya. Karena kelezatan bir pletoknya, warung Haji Usin ramai dikunjungi semua orang dari semua kalangan.

Semula orang-orang yang baru mendengar bir pletok terkejut karena mengira seorang haji menjual minuman beralkohol. Mereka menyangka, minum bir pletok akan membuat mereka mabuk. Haji Usin menjelaskan apa sesungguhnya bir pletok. Khawatir bikin mabuk, mereka mencoba segelas bir pletok terlebih dahulu. Mereka mengangguk, mengakui bir pletok Haji Usin sangat nikmat sekaligus menyegarkan badan.

Sebelum Haji Usin meninggal, mengingat usia sudah senja, tak ada yang dia harapkan kecuali Rojali meneruskan usahanya sebagai penjual bir pletok. Tetapi, apalah daya, Haji Usin tak sanggup membujuk anak lelaki semata wayangnya untuk menggantikan posisinya kelak apabila Izrail datang menjemput.

“Apa kau tak mau melihat babe meninggal bahagia?” Pertanyaan Haji Usin membuat Rojali langsung mengalihkan pandangan ke babenya. Berkerut kening Rojali seperti garis terombang-ambing, jantungnya terasa akan lepas dari tangkainya mendengar pertanyan itu dilontarkan tiba-tiba. Rojali mengerti apa maksud babenya.

Rojali malah balik menyerang, “Apa Babe tak mau melihat anaknya sukses?”

Keduanya sama-sama tidak memberikan jawaban. Rojali teringat kepada Dahlia, perempuan yang ditaksirnya dan siap menjadi istrinya dengan syarat Rojali bekerja di perusahaan, bukan sebagai tukang warung. Sudah lama Rojali mengincar Dahlia, sejak perempuan itu duduk di bangku semester akhir.

Kesempatan mendapatkan Dahlia tak disia-siakan oleh Rojali. Berhari-hari Rojali mencari pekerjaan di kota. Namun, nasib buruk mencengkeramnya. Tak dapat pekerjaan, bayangan buruk menghantui Rojali. Pastilah Dahlia akan mencampakkan dirinya bagai pecundang. Haji Usin mulai membaca gelagat yang ditunjukkan Rojali, jatuh cinta menjadi salah satu alasan Rojali tak ingin menjual bir pletok.

Sebagai lelaki yang pernah muda, Haji Usin berkata tiba-tiba kepada anaknya, “Sia-sialah lelaki yang mendambakan perempuan yang memberikan syarat untuk cintanya.”

Rojali melotot tak percaya, bertanya dalam hatinya, bagaimana mungkin babe mengetahuinya? Rupanya, sebulan lalu Haji Usin mendengar anaknya berbicara sendiri sambil memandang foto perempuan. Meskipun sudah uzur, telinga Haji Usin tetap sempurna mendengar suara sekecil apa pun. Bahkan dari jarak yang jauh. Dari dalam kamar Rojali, Haji Usin mendengar anaknya tersebut berkata bahwa ia akan melakukan apa pun untuk Dahlia, termasuk menjadi pekerja kantoran.

Rojali seperti memiliki ratusan cara untuk balik menyerang babenya. Ia berujar dengan menekan suaranya, “Sia-sia seorang lelaki yang hanya mementingkan pekerjaannya dibanding istrinya.”

Mendengar ucapan anaknya, Haji Usin teringat almarhumah istrinya. Tak sanggup Haji Usin membendung air dari dalam mata cekungnya. Istrinya meninggal satu tahun lalu. Haji Usin tak ada di sampingnya ketika sang istri mengembuskan napas terakhir. Istrinya meninggal dalam rangkulan Rojali. Saat itu Haji Usin sedang melayani para pembeli bir pletok di warungnya. Kematian istrinya baru diketahui setelah ia menutup warung dan pulang ke rumah. Matanya langsung tertuju pada istrinya yang terbujur ditutupi kain.

Kini kesedihan itu tumbuh lagi, Haji Usin melihat wajah anaknya yang baru saja membuatnya membuka ingatan satu tahun lalu itu. Rojali mendekati babenya, ia merangkul lelaki berpeci putih itu. Haji Usin berdiri, tangannya memegang pohon kecapi. Berjalan ia masuk ke dalam rumah, disusul derai batuk mengguncang dadanya. Menyesal Rojali telah mengatakan itu kepada babenya.

Sudah tidak terlihat bulan di permukaan langit. Rojali merentangkan kedua tangannya di atas balai-balai bambu, di bawah pohon kecapi. Gerimis jatuh tiba-tiba, Rojali bangun dan masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke dalam kamar, Rojali sempat melihat babe duduk di atas ranjang memandangi foto istrinya. Semakin bersalah Rojali dibuatnya. Gontai Rojali memasuki kamar, segera ia rebahkan tubuhnya di atas kasur. Rojali memejamkan mata, besok harus kembali mencari kerja ke kota.

*****

Dua bulan berlalu, Rojali belum diterima di perusahaan mana pun. Letih sudah Rojali mencari. Pasrah sudah Rojali menerimanya. Haji Usin mulai diserang sakit. Oleh dokter yang memeriksanya, Haji Usin disarankan untuk beristirahat selama beberapa hari semata-mata agar pulih seperti sediakala.

Keras Haji Usin menentang saran dokter. Ia memilih tetap berjualan di warung miliknya di pinggir jalan besar. Berjalan kaki sekitar lima belas menit untuk sampai di warungnya, Haji Usin memegang dada sepanjang perjalanan. Matahari pagi menerpa tubuh ringkih Haji Usin. Rojali tak memikirkan babenya, diam tercenung di teras rumah, memikirkan nasibnya sendiri. Kerosak sandal dan suara batuk babenya tak dihiraukannya, abai Rojali meresponsnya.

Tepat satu jam kemudian, Haji Usin dikabarkan meninggal di warung sehabis melayani pembeli. Kabar itu sampai ke telinga Rojali setelah seseorang datang menghampirinya. Semula Rojali tidak benar-benar percaya dengan kabar yang disampaikan oleh salah seorang pelanggan Haji Usin itu. Tidak mungkin, kata Rojali dalam hati. Rojali tergesa-gesa membawa langkahnya ke warung babenya.

Tiba di sana, Rojali menyaksikan orang-orang berkerumun. Rojali menguak kerumunan itu, tertuju mata Rojali pada seorang lelaki tua berpeci putih terbaring, terpejam matanya tanpa embus napas. Rojali memegang pergelangan tangan Haji Usin, memastikan detak nadi sang babe. Tak ada denyut yang dirasakan Rojali. Meledak tangis Rojali. Orang-orang membawanya ke rumah, Rojali duduk tertunduk di dekat jasad babenya.

Seluruh tetangga datang, bersalaman dengan Rojali. Jenazah Haji Usin sudah selesai dimandikan. Pemakaman dilakukan sore nanti. Kubur digali di samping makam istrinya. Semasa hidup, Haji Usin memang berpesan kepada Rojali supaya disandingkan kuburannya dengan sang istri. Rojali memenuhi permintaan itu. Satu permintaan lain dari Haji Usin yang entah Rojali bisa memenuhinya atau tidak ialah wajib bagi Rojali meneruskan usaha babenya, menjual bir pletok.

Langit ditutupi awan, orang-orang berkumpul di pemakaman. Rojali berdiri di dekat liang lahad, matanya bergerimis melihat jenazah babenya dimasukkan ke dalam liang kubur. Orang-orang pulang, Rojali duduk bersimpuh di samping pusara babenya. Bunga-bunga ditabur di atasnya, lebur perasaan Rojali.

*****

Waktu berjalan cepat, satu tahun sudah berlalu. Sejak Haji Usin meninggal, warung miliknya tak pernah buka lagi. Tak ada tanda-tanda warung yang dulu ramai dikunjungi itu akan buka lagi. Rojali selalu gagal meracik bir pletok selezat buatan babenya. Kegagalan yang berulang-ulang membuat Rojali menyerah. Ia memilih menutup warung babenya dan tak ada lagi bir pletok terkenal racikan Haji Usin.

Kegagalan Rojali meracik bir pletok lantaran ia memang tak pernah mau melihat, apalagi belajar meracik bir pletok dari Haji Usin semasa hidup. Setiap kali babenya meminta Rojali mengamatinya, tegas Rojali menolak. Haji Usin melihat percikan api dari mata Rojali.

Dan pada suatu pagi, matahari baru muncul separo, Rojali datang melihat warung babenya yang sudah hampir roboh, kayu-kayunya dimakan rayap. Dinding-dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu berantakan tak terurus, gentengnya berjatuhan. Berdiri Rojali memandang warung itu, terbelah dadanya mengingat dari bir pletok itulah Rojali meraih gelar sarjana.

Lama sekali Rojali berdiri. Ia selalu mendapat pertanyaan dari para pelanggan warung Haji Usin yang datang ke warung. Pertanyan mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian. Semakin lebar dada Rojali terbelah, tersiksa ia mendengar pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya.

“Apa kau masih jual bir pletok?”

“Kenapa kau tutup warung ini?”

“Warung ini punya banyak pelanggan yang datang dari mana-mana. Kenapa tak kau teruskan?”

“Apa masih ada warung yang jual bir pletok?”

“Saya sudah lama tidak ke warung ini. Ternyata sudah tutup. Di mana saya bisa beli bir pletok selain di sini?”

“Apa tak ada lagi warung yang jual bir pletok selain di sini?”

“Apa ada bir pletok selezat racikan Haji Usin?”

Rojali tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyan itu. Terseok-seok ia berjalan pulang seraya mencangkuli dirinya sendiri. (*)

Posting Komentar untuk "Bir Pletok | Cerpen Zainul Mutaqin"