Iklan Atas

Blogger Jateng

Matinya Seorang Peladang | Cerpen Sunlie Thomas Alexander


IA tahu, ke ladang, ia harus kembali. Tentu. Meski kini ia harus menebas ladang baru, jauh di balik bukit yang dipercaya angker. Karena itu, hatinya sedikit cemas. Bukan, bukan takut pada segala mambang dan siluman yang konon bermukim di sana sejak kampung belum berdiri, atau lantaran alangkah jauh ia harus mengayuh sepeda kumbang ke sana…

Kujang mengisap tembakau lintingannya dalam-dalam. Diperhatikannya asap kelabu yang keluar dari mulut dan hidungnya itu meliuk-liuk ke luar jendela. Lenyap diterpa angin yang semilir. Langit petang sedikit mendung, walau hujan belum juga turun. Tapi ia yakin, seminggu atau dua minggu ke depan, musim hujan bakal segera bertandang, menyuburkan kembali tanah yang rekah, menghijaukan rumput dan pepohonan. Ah, betapa ia merindukan bau tanah sehabis hujan, aroma humus dan merdu kicau burung-burung di rumpun sahang! Bertahun-tahun, kerinduan itu menderanya, membuat hari-hari tuanya tak lagi sedamai dulu.

Ya, sejak ia menyerahkan ladang subur itu—kebon, ia lebih suka menyebutnya demikian sebagaimana orang-orang kampungnya yang lain—kepada anak bungsunya, dengan hati yang tak sepenuhnya ikhlas. Sepetak ladang terakhir yang ditebasnya sebelum harga lada jatuh. Tentu, tak bakal ia relakan ladang yang hijau itu kepada si Amir, kalau bukan tak sampai hati mendengar anak bungsu tersayang itu merengek-rengek. Juga karena Aminah, istrinya, ikut-ikutan terus membujuk rayu.

“Amir baru menikah,” tukas Aminah, “Apa Bapak tega melihat anak kita hidup morat-marit? Belum lagi gunjingan orang nantinya kalau anak kita tak becus menghidupi anak orang!”

Ia pun goyah, limbung, dan akhirnya, sekali lagi, tak sepenuhnya ikhlas menyerahkan ladang penghabisan itu kepada Amir untuk lokasi penambangan. Si bungsu memang memperoleh hasil yang cukup layak, pasir timah ternyata cukup tebal lapisannya di bawah ladang. Sehingga Amir kemudian bisa membangun sebuah rumah semipermanen dan membeli sepeda motor baru. Tapi, betapa tak teganya Kujang ketika menyambangi bekas ladangnya itu dan melihat tanah yang porak-poranda terbongkar, tinggal gundukan-gundukan pasir dengan lubang-lubang menganga. Hampir terisak ia mengingat batang-batang sahangnya yang hijau, yang sebentar akan berbunga. Tentu jangan ditanya betapa perih hatinya, lebih dari tertusuk duri rukem atau tersengat tawon. Meskipun Amir kemudian memberikan untuknya ganti yang pantas berupa seorang cucu perempuan yang lama ia idamkan, setelah ketiga anaknya yang lain melulu memberikan cucu laki-laki.

Aih, telah lebih empat tahun, barangkali sudah lewat tahun kelima, atau mungkin lebih?—Kujang lalai berhitung—Ia tak lagi menggarap sepetak ladang. Tubuhnya terasa kaku, urat-uratnya suka kejang dan tulang-tulang tuanya sering pula linu.

“Bapak sudah tua, wajar kalau reumatik,” begitulah Amir berkilah. Ia hanya mengangguk-angguk dengan mulut monyong. Dulu, rasanya tak pernah ia sakit. Walau umurnya sudah kepala enam lewat, hampir tujuh, tapi badannya selalu bugar berkeringat. Kini cuaca lebih panas atau dingin sedikit saja, ia sudah batuk-batuk atau masuk angin. “Itu karena Bapak terlalu banyak merokok dan ngopi, cobalah sedikit dikurangi,” komentar Aminah cerewet. Mira, putri sulungnya, kemudian membawakannya beberapa kotak susu bubuk. Bagus untuk tulang orang tua, kata Mira. Dan ia meminumnya semata-mata karena takut mengecewakan yang memberi.

Ia tahu, ia memang sudah tua, tapi itu karena kurang bergerak. Sejak ladang penghabisan itu ia serahkan, hari-harinya hanya berlangsung di rumah atau di sekitar pekarangan yang ditanaminya dengan sayur-mayur, cabe, jeruk kunci, pisang, dan sedikit singkong. Atau terkadang mengunjungi rumah anak-anaknya bergantian untuk bermain dengan para cucu.

Kujang masih memandang ke luar jendela, sesekali mendongak memandang langit petang yang mulai gelap. Dilintingnya lagi sebatang tembakau, lalu disulutnya. Beberapa anak tetangga tampak bermain di tepi jalan bertanah kuning di muka rumah. Jalan yang semakin rusak karena terus-menerus dilalui alat-alat berat dan truk sarat muatan dari dan ke lokasi-lokasi penambangan. Debu-debu mengepul pekat ketika sebuah sepeda motor melintas, melindas bebatuan dan sedikit terlompat oleh lubang. Ia menyedot tembakaunya dan menyipitkan mata, melambungkan pandangan ke arah bukit di kejauhan. Dikepulkannya asap tembakau yang bergumpal seperti menghembuskan beban. Ia tahu, keputusannya sudah bulat. Apa pun yang bakal terjadi. Meskipun Aminah akan marah atau anak-anaknya melarang. Ia harus kembali ke ladang. Tak akan dibiarkannya hari-hari tuanya yang damai dengan menggarap ladang dirampas lagi. Takkan dibiarkannya badan tuanya sakit-sakitan karena kurang bergerak. Walaupun nantinya orang-orang kampung bakal mencerca, mungkin mengecapnya tak tahu diri menyambangi rimba keramat dan tak penuhi amanah para leluhur. Atau bakal membuat para lelembut gusar dan menjatuhkan kutuk-bala kepada dirinya. Ah, sudahlah!

Kujang terus menerawang jauh ke balik bukit. Membayangkan pokok-pokok sahang hijau yang menjulurkan reranting segar, memanjang merambati tiang-tiang penyanggah hingga daun-daun melebar merebakkan bunga-bunga, lalu ranum buah-buah lada. Terus memanjang dan memanjang, seperti doa, seperti harapan. Seperti kenangan…

Ia tahu, ia memang keras hati. Tetapi, bukankah karena itu pula ia dulu berani meminang Aminah? Juga membesarkan anak-anaknya yang empat orang? Kujang sedikit limbung dihunjam kenangan. Ya, ia ingat pada masa lalu yang tak manis itu. Bapaknya yang meninggal tertimpa batang pohon nyatoh. Ibunya yang kemudian menjadi buruh cuci dan mengambil upah memetik sahang jika musim panenan. Ia sendiri, belum genap sepuluh tahun, sudah keluar-masuk hutan mencari kayu bakar untuk dijual atau mengambil upah menyadap karet para tetangga. Dengan itulah mereka bisa makan, adik-adiknya yang dua orang tak kelaparan.

Sampai ia tumbuh remaja. Meski berbadan kecil, tapi ia kuat dan ulet. Ditebasnya hutan yang tak bertuan, sendirian, bersakit-sakit membuka ladang. Uang yang diperolehnya dari menjual kayu bakar dan menyadap karet disisihkannya sedikit demi sedikit untuk membeli bibit-bibit sahang yang ketika itu masih cukup murah. Barang siapa menabur dengan daya dan air mata, ia akan menuai dengan penuh sukacita. Itulah pepatah yang pernah dilontarkan sang bapak. Dan ia percaya. Disaksikannya bibit-bibit yang ditaburnya itu mulai tumbuh oleh butiran hujan, di bawah terik ladang hingga kian memanjang dipupuk oleh doa dan ketabahan. Hingga akhirnya kesabaran dan kerja keras itu berbuah panen yang gilanggemilang bersamaan dengan melonjaknya harga lada di pasar dunia. Karena itu ia bisa memperbaiki rumah yang sudah miring, memodali sang ibu membuka warung kecil-kecilan di depan rumah, dan membayar uang sekolah dua orang adik perempuannya, Sari dan Siti.

Mata Kujang sedikit berlinang kini tatkala coba lagi berkenang.

*****

AH, di ladang jugalah dulu Kujang bertemu dengan Aminah, istrinya. Gadis berkulit sawo matang dengan tinggi semampai itu memang menggoda hati. Setiap siang, gadis itu akan selalu datang mengantar nasi untuk kedua orang tuanya yang berladang di sebelah ladang Kujang, kemudian menggantikan menjaga ladang hingga menjelang petang. Pertemuan demi pertemuan, betapa membuat jantung Kujang bakal berpacu lebih kencang setiap kali berpapasan di tengah jalan atau bertemu muka di batas ladang.

Bermula dari saling melirik, sama melempar senyum, kemudian berlanjut dengan lemparlemparan pantun. Begitulah galibnya tradisi berkenalan muda mudi di kampung kala itu. Penuh umpama, kiasan, pepatah petitih, dan peribahasa. Namun tajam menukik ke hati. Sarat maksud, terang arti, dan bikin getar hingga sepanjang badan.

Sembunyilah sahang di atas atap
Tepinya rapat jika dibungkus
Telah sedia jika ’nak hinggap
Tapi macam sarangnya tikus.


Tentu, lantaran pantun balasan Aminah itulah, Kujang akhirnya berani bertandang ke pondok ladang si dayang. Ya, masih malu-malu dan tatkala kedua orang tua gadis itu sedang balik ke kampung. Lama-lama, bisa diterka, Kujang bertandang berulang. Hingga seperti halnya bibit lada yang ditabur di tanah subur, benih cinta mereka pun tumbuh menjalar segembur ladang. Namun, Kujang tidaklah terlampau percaya diri, kendati sudah punya ladang sendiri. Tak begitu luas memang, tetapi jika dibandingkan kebanyakan pemuda kampung lain seusianya yang lebih sering nongkrong main gaple, semestinya ia boleh berbangga atas jerih payahnya seorang diri. Selain merasa kurang mampu, Kujang juga suka minder lantaran tak pernah mengenyam bangku sekolah dan tak fasih pula mengaji Alquran. Tapi, jodoh urusan Tuhan! Bukan saja Aminah yang telah berat hati padanya, tapi rupanya bapak si gadis pun sejenis orang tua yang bijak.

“Asal kau mau bekerja, tak telantarkan anakku, kuterima kau jadi mantu.” Demikian sang mertua ketika suatu hari ia beranikan diri datang ke rumah Aminah.

Maka, pada sebuah musim panenan, setelah lepas malam nyuluh belalang, orang tua si gadis pun memintanya menjatuhkan pinangan. Betapa bahagianya Kujang ketika duduk bersanding dengan gadis pujaannya bersama puluhan pasangan pengantin lainnya di depan penghulu pada pesta nikah masal di masjid besar kampung waktu itu. Aminah ternyata bukan saja perempuan yang sabar dan setia, tapi juga ulet. Berdua, mereka memulai kehidupan berumah tangga dengan menebas ladang baru. Hingga Mira si sulung lahir, menyusul anak kedua, sampai si bungsu Amir. Mengingat masa-masa itu, Kujang selalu saja terharu dan merasa kian mencintai sang istri.

Tetapi, kini ia bimbang, adakah Aminah bakal mengizinkannya kembali berladang? Adakah Aminah akan merestui niatnya? Sedangkan mencangkul di pekarangan sampai agak sore saja, Aminah suka menggerutu dan menegur, “Sudahlah, Bang, nanti kau berkeluh dan minta kerok pula!”

Hm, bukankah justru ia sering masuk angin ketika kurang berkeringat? Setelah ladang penghabisan kelekak. itu ia serahkan? Bahkan kemudian juga

Ya, juga kelekak

Padahal, tanah tak seberapa luas yang turuntemurun diwariskan dari buyutnya itu ditumbuhi beragam pohon buah, mulai duku, rambutan, rambe, manggis, sampai lima batang durian yang apabila musim buah tiba selalu berbuah lebat. Kujang ingat bagaimana semasa kecil setiap musim buah bertandang, ia akan bermalam di pondok kelekak, menunggu durian-durian jatuh. Cukup membawa senter, korek api, parang, dan ketapel. Senter untuk mencari durian, korek api untuk membakar kayu-kayu dan rumput kering sebagai api unggun, parang untuk berjaga dari binatang buas atau membelah durian, dan ketapel untuk menjepret tupai-tupai pengganggu! Dan kenyanglah perutnya setiap malam. Belasan, kadang puluhan, buah durian keesokan pagi pun dibawanya ke pasar kota kecamatan.

Kini kelekak itu juga tinggal kenangan. Tinggal hamparan pasir putih dengan lubang besar menganga serupa dengan ladang penghabisan yang lebih dulu ia serahkan. Tak cukupkah hasil penambangan di bekas ladang bagi si Amir? Tidak, sebetulnya lebih dari cukup. Ia tahu, anaknya bukanlah seorang yang serakah. Ia selalu mendidik semua anaknya dengan keras sedari mereka kecil. Tentu semuanya lantaran Rani, menantunya itu, pikirnya bimbang. Sejak awal ia sebenarnya tak begitu merestui. Kebanyakan perempuan kota memang suka silau dengan uang. Namun, bukankah semua orang kampung kini juga jadi serakah sejak pemerintah mengeluarkan izin penambangan rakyat yang lazim disebut Tambang Inkonvensional itu? Maka, demi timah, semua orang pun sepakat berlomba membongkar kebunladang! Tak peduli batang-batang lada menunggu panen. Tak peduli pohon-pohon buah penuh kenangan. Kujang bergetar.

*****

YA, ke ladang ia harus kembali. Tentu. Meski kini ia harus menebas ladang baru lagi, jauh di balik bukit yang dipercaya angker. Tak apalah ia mengayuh sepeda kumbang jauh ke balik bukit. Maka, selepas subuh, selepas menunaikan salat, Kujang pun beranjak ke sumur belakang. Diasahnya kapak dan parang hingga berkilau tajam. Mumpung istrinya sedang menginap di rumah Mira sejak dua hari lalu, menunggui seorang cucu yang sakit.

Parang bersarung papan digantung di pinggang, kapak tajam terikat di belakang boncengan sepeda dengan karet ban. Begitulah ia menyelinap keluar diam-diam sepagi itu. Disusurinya jalan bertanah kuning yang basah. Dikayuhnya pedal sepeda tua yang telah ia minyaki kemarin siang dengan riang. Tangkas menghindari kubangan demi kubangan air, meski kadang kala ia terpaksa turun karena beceknya jalan yang tak mungkin dilewati dengan kayuhan. Beberapa kali ia sempat berpapasan dengan satu–dua orang kampung yang berangkat ke lokasi tambang. Dianggukkannya kepala dengan ramah dari atas sadel sepeda. Namun, pertanyaan “Hendak ke mana, Mang?” hanya dijawabnya dengan mengangkat tangan. Siulan kecil kemudian keluar dari mulutnya, menimpali kicauan merdu burung-burung liar di lebat pepohonan. Pohon-pohon, semak belukar liar, langit yang bersih setelah hujan mengguyur semalam, seolah-olah menyambutnya di sepanjang jalan.

Tetapi, mendekati kaki bukit—oh, hutan larangan yang angker dan keramat, entahlah—sayup-sayup Kujang seperti menangkap suara-suara bising yang tak asing lagi bagi telinga tuanya. Dadanya berdebar kencang, dipercepatnya kayuhan sepeda kumbang mendaki tanjakan.

“Tidak mungkin… Tidak mungkin!” desisnya berulang-ulang. Sepagi itu, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, memercik deras di dahi. Rasa cemas, kaget, dan tak percaya bercampur baur mengimpit dada Kujang. Namun, suara deru itu tetap saja semakin kencang, semakin nyata, terdengar seperti meraung-raung di kedua telinganya. Lalu, bekas-bekas ban truk dan roda alat berat penggeruk tanah kini terlihat jelas di jalan becek yang dilaluinya, membuat kedua matanya terbelalak lebar. Lantas, terdengar suara keras pohon berderak tumbang, kembali disusul lengking gergaji mesin dan gemuruh mesin alat berat. Ah!

Saat itulah, tepat di tikungan kecil, roda belakang sepeda Kujang tiba-tiba terperosok ke dalam kubangan lumpur. Tak ampun lagi, sepeda kumbang itu bersama pengendaranya seketika tumbang. Kujang memekik… Bahunya yang ringkih terempas di atas jalanan becek penuh lubang.

Moncong sebuah truk tahu-tahu sudah berada di hadapannya. (*)