“Awas! Dia masuk ke semak! Jaga dari depan, samping, dari mana saja. Kepung!” teriakan itu terdengar pelan, tapi sanggup membuat tubuhku terjaga.
Aku berpikir kalau ada maling ternak yang kepergok, atau mungkin kampung ini mulai tidak aman lagi setelah dua dekade yang lalu, isu Ninja ramai dan sempat membuat orang-orang di sini was-was. Dulu, periode 1999 sampai 2000, di Jawa Timur, khususnya daerah tapal kuda pernah ramai dengan maraknya represi pada tokoh-tokoh spiritual. Mereka—para tokoh itu—dituduh sebagai pemilik ilmu santet. Salah satunya di Banyuwangi, ada yang sampai terbunuh. Pelakunya sekelompok warga dan oknum misterius yang kabarnya memakai baju serba hitam, tangkas, serta bisa bergerak cepat. Orang-orang menyebutnya, Ninja.
*****
“Jancuk! Kijangnya ngeloyor lewat sel*ngkanganku! Ayo, kepung terus!”
“Apa perlu ditembak saja? Kuambilkan senapan.”
“Jangan! Nanti nyasar, kena orang.”
Aku berlari ke halaman. Kusapukan pandangan ke sekitar. Namun tidak ada seorang pun kujumpai. Belukar yang menjadi pagar alami bagi kebun depan rumahku terlihat seperti bekas tergilas sesuatu. Dari arah timur, kudengar sayup teriakkan orang-orang. Belum sempat melangkah ke jalan, ibu muncul dari pintu dapur.
“Koe mau ke mana? Ndak usah ikut ngejar! Nanti diseruduk kijang. Bangunkan Mas mu saja, biar dia yang ngejar.”
Dengan muka masam, aku melenggang menuju kamar. Kugoyangkan tubuh kakakku yang masih terbungkus sarung. Setelah beberapa goyangan, dia bangun, dan kujelaskan apa yang terjadi.
“Wah, kita bakal makan enak! Gulai kijang!” pekiknya seraya bangun, menyilangkan sarungnya di bahu, dan kemudian bergegas.
*****
Matahari sudah terik. Aku membantu ibu mencuci dan memotong daging kijang yang dibawa kakak tadi pagi. Sambil menimba air, pikiranku mencari dari mana asal kijang malang ini? Kampungku adalah dataran rendah yang dikelilingi bukit di timur, utara, dan barat. Sementara di selatan membentang Laut Selatan, Samudera Hindia. Orang-orang tua di kampungku lebih mengenal daerah ini dengan nama Ngerawan. Usut punya usut, dahulu kala kampung ini adalah rawa yang terhampar luas. Namun apakah mungkin ada hewan liar seperti kijang yang masih berkeliaran di kampung? Sedangkan dari acara televisi yang pernah kutonton, kawanan kijang biasa hidup di padang rumput atau di hutan.
“Biasanya kalau ada hewan liar, hewan dari hutan yang masuk ke kampung, tandanya habitat mereka sedang tidak baik-baik saja.” Kalimat ibu itu membuyarkan rasa ingin tahuku.
“Lantas dari mana kijang itu, bu?”
“Mungkin dari arah tenggara sana. Gunung Kursi. Di sana ada padang rumput dan hutan.” Kata ibu menjelaskan.
“Maksud ibu bukit?”
“Yo wes itu lah. Ibu ndak ngerti mana bukit, mana gunung. Almarhum kakekmu juga pernah bilang kalau ada hewan liar masuk kampung, itu pertanda akan ada bencana”.
*****
Gunung Kursi atau bukit Kursi berada di sisi tenggara kampung kami. Adalah gugusan dataran tinggi yang memanjang ke selatan. Dilihat dari kejauhan, bukit itu seperti bukit pada umumnya; dari bawah landai dan menanjak ke atas. Namun di bagian tengah seperti ada padang rumput yang bentuk tanahnya datar ke dalam, kemudian menanjak lagi sampai ke puncak. Mungkin karena adanya padang rumput itu, bentuk bukit jadi mirip kursi panjang yang mempunyai sandaran.
Aku biasa melihat bukit itu ketika sedang menjaga tanaman padi—dari gangguan burung—milik keluarga kami yang mendekati masa panen. Sebelumnya, aku tidak pernah mengamati secara detil. Buatku itu hanya bukit biasa. Namun, semenjak ibu mengatakan kalau kemungkinan kijang itu berasal dari sana, aku bergegas menuju sawah untuk melihat bukit Kursi lebih lama.
Benar saja. Dari kejauhan, di bukit Kursi kudapati semuanya menguning seperti padi yang siap panen. Bahkan di sekitarnya sudah jarang sekali pepohonan. Keadaan yang sama juga terjadi di bukit sekitarnya. Mungkin kijang malang itu nekat turun ke kampung karena sudah sulit menemukan makanan, atau mungkin terpisah dari kawanannya ketika berjalan jauh untuk mencari makan.
“Kemarau sudah separah ini.” Gumamku.
*****
“Kemasi baju-bajumu! Ibu akan membereskan surat-surat penting di lemari.” ucap ibu sambil tergopoh-gopoh membawa kantong plastik besar.
“Banjirnya sudah hampir masuk rumah, bu!” kakak berteriak dari teras.
“Makanya, cepat urus barangmu!” tukas ibu, “Kalau hujan ndak berhenti satu jam ke depan, kita ngungsi.”
“Sek, aku ke pos kamling dulu. Mukul kentongan!”
“Kok hujannya bisa sederas dan selama ini, bu? Ini kan musim kemarau dan sedari tadi mendung normal-normal saja.” Aku mengambil baju seadanya. Yang perlu kuselamatkan adalah buku-buku.
“Mungkin ini karena kijang yang ditangkap, disembelih, dan kita makan bersama-sama kemarin!”
Jawaban ibu menghentikan aktivitasku mengemasi barang. Seketika ingatan pada waktu membersihkan daging kijang terngiang di kepala. Ibu mengatakan kalau hewan liar turun ke kampung, habitatnya sedang tidak baik-baik saja. Dan juga pertanda akan ada bencana.
Hari ini tepat satu bulan yang lalu kami sekeluarga, bahkan mungkin sebagian warga kampung menikmati daging kijang malang yang masuk kampung itu. Mungkin pertanda itu benar, bencana itu berwujud banjir di musim kemarau.
“Bu! Ibu!” kakakku pulang. Tubuhnya kuyup, “kita mesti ngungsi, bu! Hujannya belum tentu reda dalam waktu dekat. Gunung Kursi juga longsor! Aku tadi dapat kabar di pos kamling!”. (*)
Posting Komentar untuk "Setelah Seekor Kijang Mati | Cerpen Mahfud Ridwan"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar