Amara kembali duduk ke sudut kafe. Wajahnya tampak lebih ceria. Tangan-tangannya mulai mengetik dengan cepat. Sampai akhirnya, salah satu jemarinya dengan semangat menekan keyboard laptop, lalu dia tersenyum puas dan bibirnya mengucapkan kata ‘selesai’ tanpa suara. Kemudian temannya bernama Sagara datang dan duduk di depannya.
“Hai. Udah lama di sini?” Tanya Sagara dengan ramah.
“Udah dari tadi. Dari aku masih bab 19 sekarang udah bab 27. Udah selesai.” Amara begitu ceria.
“Jadi novel kamu udah siap?”
“Udah dong. Aku ini Amara Vanesa. Menulis adalah hal yang sudah menjadi kebiasaanku.”
“Iya deh, paham. Sastra adalah jiwamu, sastra takdirmu, dan dengan sastra kamu dan dunia ini menyatu. Ceritanya tentang apa?” Sagara terlihat antusias sehingga Amara menjawabnya dengan semangat.
“Tentang perempuan yang sangat ingin menjadi atlet lari, tetapi mengalami kecelakaan yang mengakibat dia harus kehilangan kakinya.”
“Oh, eh iya, ngomong-ngomong…” Sagara melihat kanan kiri dan mendekatkan bibirnya ke telinga Amara, “Kamu masih pakai barang itu?”
“Sagara, aku nggak akan mungkin ninggalin barang itu. Karena barang itu, aku bisa dapatkan inspirasi dan imajinasi. Kamu tahu sendiri, sebelum menulis, pastikan daerah sekitar bertekut lutut dengan imajinasi yang kita miliki. Ini bukan merusak masa depan, tapi cara untuk menggapai impianku menjadi penulis best seller. Ini adalah cara yang paling jitu untuk menyadari inspirasi dan menemukan imajinasi.”
“Tapi Amara, itu nggak boleh. Mengertilah, Ra, kamu ini sudah kecanduan. Masa depanmu bisa hancur.”
Amara mulai kesal dengan Sagara, “Eh, Sagara, kalau mau ceramah, sana tuh di masjid. Cari deh! Jangan ceramahi aku. Pusing dengerinnya.”
Amara menutup laptop lalu memasukkan ke tas dan bangkit dari kursi. Sagara menahan lengan pergelangan tangan Amara agar tidak pergi, tetapi langsung ditangkis Amara.
“Kamu mau kemana, Ra?”
“Mau ngeprint naskah dan mengantarnya ke penerbit.” Amara masih kesal, dia memandang Sagara dengan jutek.
“Lho? Bukannya lewat email ya biasanya?”
“Penerbitan ini beda. Kita harus antar langsung dan dengar-dengar peluang naskah diterima itu 90 persen. Ya udah deh, aku duluan ya, da!”
Sagara mengantar kepergian Amara dengan tatapan yang serius sekaligus kasihan.
*****
Amara sampai di lobi penerbitan dan menemui seorang perempuan di meja resepsionis,.
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya resepsionis itu dengan ramah.
“Mbak, begini, saya mau mengajukan naskah.”
“Oh sebentar ya, masih ada penulis yang juga sedang mengajukan naskah ke editor kami. Silakan menunggu di sana.” Resepsionis itu menunjuk bangku panjang yang ada di pinggir lobi. Kemudian Amara tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan ke arah bangku yang ada.
Amara mengambil naskah dari dalam tasnya dan membukanya. Lalu, tidak lama kemudian, seorang perempuan keluar dari salah satu ruangan dengan ekspresi senang. Amara berdiri ketika Jasmin lewat di depannya.
“Mbak, baru mengajukan naskah ya?” Tanya Amara penasaran.
Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum ceria, “Iya, dan naskah saya diterima.”
“Oh ya? Apa aja Mbak yang ditanya di dalam.” Amara semakin antusias.
“O, hanya seputar naskah saja, tetapi tadi saya ada juga di tes …” Belum selesai perrmpuan itu berbicara, resepsionis tadi datang mempersilakan Amara untuk menuju ke ruangan Editor.
“Editor sudah bisa langsung ditemui, mari.”
Amara berjalan mengikuti resepsionis. Mereka berhenti di sebuang ruangan. Lalu, resepsionis mempersilakan Amara masuk sambil tersenyum, Amara membalas senyumannya dan masuk.
“Ya, silakan duduk.” Sapa editor dalam ruangan ketika Amara sudah ada di dalam. Amara pun menarik bangku di depan editor yang ternyata adalah perempuan.
“Hmm, siapa namanya?” Tanya editor itu.
“Amara Vanesa.”
“Baik, Amara. Saya Manda, Staf Editor di penerbitan ini. Kamu ingin mengajukan naskah, bukan?”
“Iya. Ini naskahnya.” Amara memberikan naskanya pada Manda.
“Sinopsisnya mana, ya?”
“Ada di halaman paling belakang, Mbak.”
Manda melihat ke lembar paling belakang dan membaca sinopsisnya dengan teliti. Lalu dibalik-balik lagi naskah tersebut sambil bertanya-tanya pada Amara.
“Apa premis dari cerita ini?”
“Seorang perempuan yang sangat ingin menjadi atlet lari, tetapi mengalami kecelakaan yang membuatnya harus kehilangan kakinya.”
“Apa kelebihan dari naskah ini?” Tanya Manda lagi.
“Naskah ini menceritakan perjuangan seseorang menggapai impiannya dengan berat sehingga diharapkan pembaca juga ikut semangat dalam meraih impian. Di sisi lain, ada juga pengetahuan dunia kedokteran, dan juga olahraga yang dibahas dengan lebih mendalam agar pembaca bukan hanya larut dalam cerita, tetapi juga mendapatkan pengetahuan.”
“Ok, baik. Saya suka sama ide ceritanya. Sebentar ya!” Manda meraih telepon di mejanya dan menghubungi seseorang. “Minta Ariska ke ruangan saya lagi. Oke.” Manda menutup teleponnya, lalu tidak lama kemudian ada seorang perempuan yang masuk, Ariska. “Ariska. Kenalkan, ini Amara. Naskahnya akan kita terbitkan. Jadi, silakan antar untuk melakukan tes.”
“Tes?” Amara merasa bingung.
“Iya, ada sedikit tes untuk penulis yang naskahnya akan diterbitkan karena kami hanya akan menerbitkan naskah dari penulis-penulis yang memang layak untuk diorbitkan menjadi penulis.”
Amara hanya mengangguk lalu dia bangkit dan berjalan mengikuti Ariska
*****
Amara dan Ariska berjalan di jalanan depan toilet. Suasana hening, Mara memulai percakapan lebih dulu.
“Maaf Mbak, saya tidak ada persiapan alat tulis. Gimana, ya mbak?”
“Itu nggak perlu kok. Tenang aja.” Jawab Ariska ramah.
“Oh, gitu ya, Mbak.”
Ariska berhenti di depan toilet. Amara terlihat bingung, lalu Ariska memberikannya sebuah wadah kecil sambil tersenyum. Hal itu membuat Amara semakin merasa bingung.
Seakan mengerti dengan ekspresi bingung Amara, Ariska mulai menjelaskan. “Tesnya tes urine. Sekarang ini banyak sekali penulis yang menggunakan narkoba untuk mendapatkan inspirasi ataupun imajinasi. Jadi, penerbitan ini menerapkan tes kepada penulis yang naskahnya akan kami terbitkan.”
Amara seketika panik, wajahnya jadi terlihat tegang dan dia dengan ragu masuk ke dalam toilet.
Amara terduduk di kamar mandi. Disisir rambutnya kasar dengan jemarinya, mengusap wajahnya dengan frustrasi. Dia menatap wadah di tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan berkata dalam hati.
“Eggak. Apa yang harus kulakukan? Aku nggak bisa melakukan tes ini. Aku nggak mau di penjara. Tapi, hanya tinggal sedikit lagi saja, aku akan berhasil menjadi penulis. Apa ini? Aku menggunakan barang itu untuk tulisanku menjadi lebih bagus sehingga impianku tercapai, tapi kenapa sekarang barang itu yang akan menghancurkan impianku. Tes ini akan membuktikan bahwa aku adalah pemakai, bukan hanya naskahku ditolak, tetapi aku juga akan di penjara. Enggak, aku enggak mau itu terjadi. Apa yang harus aku lakukan?”
Amara memegangi kepalanya dan terduduk lemas. Pelan-pelan air matanya jatuh.
***
Ariska di depan pintu toilet merasa curiga karena Amara terlalu lama di kamar mandi. Ariska melihat arlojinya. Lalu mengetok pintu, tetapi tidak ada jawaban. Ariska mengirim pesan kepada Manda.
Sepertinya ini mencurigakan. Dia terlalu lama di dalam toilet.
Setelah mengirim pesan, Ariskan lagi-lagi mengetok pintu toilet memanggil Amara Sedangkan di dalam kamar mandi, Amara berusaha menghapus air matanya yang berjatuhan. Dia ketakutan. Dia panik dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Dia melihat ke atas, tetapi tidak ada jalan untuk keluar. Amara mendengar pintu toilet diketuk. Amara tidak berani menjawab. Amara kebingungan.
Di luar toilet, Manda datang bersama polisi menghampiri Ariska.
“Coba kita panggil lagi.”
“Mbak! Ayo keluar Mbak!”
“Keluarlah. Apa yang kamu lakukan di dalam? Hei!”
Tidak ada jawaban, Ariska dan Manda bertatapan. Lalu, Manda mempersilakan polisi bertindak.
“Keluar atau kami akan mendobrak pintu ini.” Teriak polisi perempuan.
“1, 2, 3!” Polisi laki-laki itu mendobrak pintu. Tampak Amara yang sedang ketakutan dan berusaha lari, tetapi langsung ditangkap dengan sigap oleh polisi perempuan. Amara berusaha melepaskan diri. Namun, hal itu membuat polisi merasakan ada sebuah benda di saku celana Amara. Polisi perempuan itu mengambil benda yang ternyata adalah sebuah bungkusan berisi narkoba.
“Itu bukan punya saya. Bukan. Bukan!” Teriak Amara.
“Bawa dia!” Kata polisi laki-laki dengan tegas.
Amara menjerit-jerit dan memberontak berusaha melepaskan diri. Lalu berkata dengan nada lirih, “Aku hanya ingin menjadi penulis terkenal.”
Manda dan Ariska menatap kasihan pada Amara yang meronta-ronta saat di bawa polisi. Manda memperhatikan Amara dengan seksama, “Impian harus diusahakan tercapai dengan cara apapun, tetapi cara yang salah justru bisa membuat kita kehilangan impian itu.”
Ariska mengangguk mendengar apa yang dikatakan Manda, pandangan keduanya mengantar Amara yang kini terlihat seperti orang kerasukan yang tidak bisa dikendalikan.(*)
Posting Komentar untuk "Penulis dalam Elegi | Cerpen Manna Wassalwa"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar