Iklan Atas

Blogger Jateng

Mister Masbuk | Cerpen Zaenal Radar T.


Saya dan teman-teman yang masih menganggur berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi, sudah melamar ke sana kemari, pekerjaan itu belum juga didapat. Haji Markum, salah satu tokoh sekaligus imam masjid yang saya dan teman-teman kagumi memberikan petunjuk, agar kami sering-sering shalat di masjid. Akhirnya saya dan ketiga teman saya rajin shalat berjamaah di masjid. Kami selalu tepat waktu dan kompak.

Setiap waktu shalat, setelah selesai berdoa minta dikabulkan cepat dapat pekerjaan, saya dan ketiga teman saya duduk-duduk di beranda masjid. Karena tidak ada kerjaan, tak jarang kami jadi ngelantur dan ngobrol sana-sini yang tidak jelas. Dan, obrolan kami sampai pada salah satu jamaah. Dia adalah jamaah yang selalu tertinggal saat shalat. Memang sih bukan hanya dia yang tertinggal dalam shalat berjamaah, jamaah lain juga pernah melakukannya. Tapi, tidak seperti dia. Dia selalu saja tertinggal, dalam setiap waktu shalat berjamaah.

Sebelumnya, saya dan teman-teman tidak pernah mengenal namanya. Kami juga tidak mengetahui di mana ia tinggal dan apa pekerjaannya. Karena setiap kali shalat, lelaki setengah baya itu selalu tertinggal beberapa rakaat. Terutama saat shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Sehingga, kami memberi julukan lelaki itu: Mister Masbuk!

Suatu hari sewaktu salat ashar berjamaah di masjid, Mister Masbuk tertinggal tiga rakaat. Saya dan teman-teman mengetahui dari rakaat yang tertinggal, yang harus dilakukan lelaki itu sendirian. Salah satu teman saya sempat menyinggung masalah ini, saat semua jamaah bubar.

“Eh, tadi lihat sendiri kan … Mister Masbuk tertinggal tiga rakaat,” ucap salah satu teman itu.

“Iya, yah … aku heran, apa dia nggak denger azan..?!” yang lain menimpali.

“Orang sibuk, kali?” saya menyela.

“Apa mungkin rumahnya jauh dari masjid?”

“Atau jangan-jangan … lelaki itu memang sudah hobi salatnya tertinggal. Masak setiap shalat selalu tertinggal? Cuma shalat Subuh aja dia kadang nggak ketinggalan. Kalau shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, atau Isya, perhatiin deh. Pasti ketinggalan!”

“Yaa, namanya juga Mister Masbuk.”

“Hahahaha …” kami semua, si pengangguran sejati, tertawa.

“Ssst…! Tapi kayanya masih mending dia, daripada orang yang nggak pernah ke masjid sama sekali.” ucap saya tiba-tiba, membuat yang lain terdiam.

“Jangan-jangan dia emang sengaja terlambat, supaya shalatnya nggak lama. Kan tau sendiri, Haji Markum kalau jadi imam suka lama banget.”

“Heheh … bisa saja kamu.”

“Eh, dosa nih kita ngomongin orang!”

“Astaghfirullah…! Iya, ya … habis sih, Mister Masbuk itu yang bikin kita jadi penasaran”

“Kok menyalahkan Mister Masbuk?”

“Ya, karena dia selalu ketinggalan jamaah, dia jadi perhatian kita semua.”

Demikianlah. Mister Masbuk memang menjadi perhatian saya dan teman-teman di masjid.

*****

Sejak teman-teman membicarakan kebiasaan Mister Masbuk, saya pun jadi ikut-ikutan memperhatikannya. Mister Masbuk saya kira seseorang yang cekatan dan gesit. Cara dia berdoa pun berbeda dari kebanyakan jamaah. Tak jarang Mister Masbuk hanya duduk beberapa saat saja setelah selesai shalat, lalu tergopoh-gopoh keluar masjid. Gerakannya sungguh cepat sekali. Kalau sudah begitu, saya dan teman-teman yang sedang berdoa kadang saling lirik karena sikapnya.

“Eh, tadi lihat nggak Mister Masbuk. Kayak dikejar-kejar setan, ya?”

“Mungkin dia emang nggak betahan kali lama-lama di masjid?”

“Udah shalatnya ketinggalan, setelah selesai buru-buru gitu, ya…?”

“Atau jangan-jangan, menurut dia shalat ketinggalan itu lebih mulia daripada shalat tepat waktu?!”

“Aeh, ngaco kamu!”

“Sssttt … istighfar! Mending kita selidiki aja deh. Siapa sih Mister Masbuk? Biar kita nggak penasaran. Kalau kita tanyakan langsung, takutnya tersinggung.”

“Setuju…!”

Akhirnya, saya dan ketiga teman saya sepakat untuk menyelidiki siapa Mister Masbuk. Kami hanya ingin tahu kenapa dia selalu datang terlambat ke masjid. Dan kenapa selalu tergesa-gesa setelah beberapa saat duduk berdoa sewaktu salat selesai, tidak seperti kebanyakan jamaah lainnya.

Penyelidikan pun kami lakukan. Kami berencana mengikuti Mister Masbuk, seperti intel atau polisi yang hendak memata-matai penjahat. Selepas shalat Zhuhur, kami akan mengendus siapa sebenarnya Mister Masbuk itu. Kami sempat mendiskusikannya, sebelum melakukan penyelidikan.

“Saya yakin, Mr Masbuk pasti orang sibuk.”

“Jangan-jangan pimpinan perusahaan kali?”

“Ah, nggak ada potongan! Liat aja penampilannya.”

“Sudah, sudah … nanti saja kita lihat sama-sama.”

*****

Shalat Zhuhur telah selesai. Para jamaah pun berdoa. Seperti biasa, seperti pada shalat berjamaah di waktu-waktu sebelumnya, hanya Mister Masbuk yang masih menyisakan rakaat yang tertinggal. Kami kira bukan Mister Masbuk namanya, kalau tidak ketinggalan.

Ketika selesai berdoa, Mister Masbuk masih belum menyelesaikan shalatnya yang tertinggal. Kali ini doa imam masjid Haji Markum memang tidak terlalu lama seperti biasanya. Beberapa teman mulai berkumpul di sudut masjid. Sementara jamaah lainnya membubarkan diri dan beberapa diantaranya melakukan shalat sunah setelah Zhuhur.

“Eh, lihat tuh Mr Masbuk … masih belum selesai.”

“Kita tunggu saja. Nanti pas dia keluar, kita ikuti dia.”

“Oke, deh….”

Setelah menyelesaikan shalatnya, Mister Masbuk berdoa sebentar, lalu tergopoh-gopoh keluar dari masjid. Saya dan ketiga teman segera menghambur keluar. Kami yang sudah mempersiapkan rencana ini segera mengikuti ke mana Mister Masbuk melangkah.

“Jangan sampai mencurigakannya,” bisik salah satu teman saya.

Kami pun mengikuti ke mana Mister Masbuk berjalan. Mister Masbuk memasuki kompleks perumahan dengan langkah tergesa-gesa. Pada salah satu gang, kami terpaksa menghentikan langkah karena Mister Masbuk berhenti di tengah jalan. Mister Masbuk bertemu dengan seseorang dan keduanya mengobrol sebentar. Beberapa saat kemudian, orang itu terlihat tersenyum dan mohon diri untuk berpisah. Mister Masbuk melanjutkan langkah. Kami pun segera mengejarnya. Kami sudah layaknya detektif betulan yang tengah memata-matai penjahat.

Cukup lama kami mengikuti langkah Mister Masbuk. Dan terkadang kami merasa Mister Masbuk berjalan dengan langkah-langkah pelan, seperti curiga kalau dirinya kami ikuti. Namun begitu, Mister Masbuk terus berjalan menuju gang paling ujung. Kami terus mengikutinya, sampai benar-benar mengetahui di mana Mister Masbuk tinggal. Dan, kami pastikan Mister Masbuk menetap di gang kompleks paling ujung karena ia melangkah ke sana. Namun, rupanya perkiraan kami meleset. Mister Masbuk masih terus melangkah ketika kami sudah berada di ujung gang kompleks perumahan. Mister Masbuk justru hendak melintasi perbatasan kompleks.

“Dia bukan penghuni kompleks ini,” bisik salah satu teman saya.

“Pantas kalau salat ketinggalan, rumahnya jauh.”

“Sudahlah … kita ikuti terus!”

Dan, tibalah Mister Masbuk pada salah satu rumah sederhana. Rumah itu sekaligus toko kelontong. Seorang anak berusia sekitar delapan tahun menggendong balita yang sedang menangis, lalu menyerahkannya pada Mister Masbuk. Seorang bocah yang lebih kecil lagi ikut mendekati Mister Masbuk. Mister Masbuk segera menggendong balita tersebut dan menciumnya. Sementara si anak tadi segera melayani salah satu pembeli yang datang ke warung itu, diikuti anak yang lebih kecil. Saya dan teman-teman saling tatap melihat kejadian itu. Karena sudah terlanjur terlihat oleh Mister Masbuk, kami pun segera berpura-pura menjadi pembeli di warung kelontongnya agar tidak mencurigakannya.

*****

Ternyata ketika kami mengikuti Mister Masbuk pulang, Mister Masbuk mengaku tahu apa yang kami lakukan. Mister Masbuk, yang akhirnya kami ketahui bernama Pak Markim itu, di waktu berikutnya akrab dengan saya dan teman-teman. Oh ya, kenapa Pak Markim sering menjadi masbuk, karena beliau memang sibuk sekali. Sejak istrinya meninggal dunia, Mister Masbuk aeh, Pak Markim … yang belum kuat menggaji pembantu itu mengurusi empat anaknya yang masih kecil-kecil, sambil menunggui warung kelontongnya yang lumayan mulai ramai pembeli. Pak Markim bilang, kedua anaknya yang paling kecil suka menangis kalau ia hendak ke masjid. Sementara itu, ia tak mungkin membawa keduanya. Dan, ia harus meyakinkan kedua anaknya tersebut agar tidak ikut sebelum berangkat ke masjid. Hal itulah yang membuat ia selalu ketinggalan.

“Sekarang kami mengerti, Pak. Kalau kami jadi Pak Markim, kami belum tentu bisa menyempatkan diri shalat di masjid.”

“Sesibuk apa pun, kita harus menyempatkan diri shalat berjamaah di masjid. Bukankah shalat berjamaah di masjid itu lebih utama daripada shalat sendirian di rumah? Dan, insya Allah, kalau sudah dapat pembantu saya tidak akan menjadi masbuk lagi,” janji Pak Markim, sambil menyunggingkan senyum.

Sejak kejadian itu, kami sepakat untuk tidak berburuk sangka pada seorang masbuk di masjid. Kami kira shalat berjamaah tertinggal oleh imam bukan merupakan hal yang buruk, daripada tidak shalat sama sekali. Dan, kalau pada hari berikutnya ada Mister Masbuk seperti Pak Markim, kami belum tentu sempat lagi menyelidikinya karena kami semua baru saja mendapatkan pekerjaan. Kami tidak akan lagi melakukan hal-hal seperti orang kurang kerjaan itu.

Tangerang Selatan, 2019

Catatan:

- Masbuk: Sebutan bagi makmum yang tertinggal dalam shalat berjamaah.

Posting Komentar untuk "Mister Masbuk | Cerpen Zaenal Radar T."