Iklan Atas

Blogger Jateng

Menunggu Jumat Pagi | Cerpen Khumaid Akhyat Sulkhan


Air mata Madina menitik di atas telapak tangannya yang menengadah. Rapalan doa dari mulutnya mengalir bersama gerimis yang turun di sepertiga malam. Sementara, dari balik celah-celah jendela kamar, angin merasuk, dan menggoyang-goyangkan cahaya lilin kecil yang menyala di samping tempat dia bersimpuh. Melalui hembusan angin itu, dia seolah bisa merasakan kekuatan Tuhan mengaliri seluruh ruang-ruang jiwanya dan memberi ketenangan.

Hampir semalaman, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap kali matanya terpejam, selalu saja wajah lelaki itu membayang dan membuat dia gelisah. Madina merasa tak sabar menanti hari esok. Sebab, pada pagi hari, sebelum panggilan shalat Jumat berkumandang dari masjid-masjid, laki-laki yang dia cintai sudah berjanji akan datang membawa kabar. Dia berharap, kabar baiklah yang tiba. Yaitu bahwa orang tua si lelaki “merestui” rencana pernikahan mereka berdua.

Dalam remang cahaya lilin, Madina melaksanakan shalat tahajud di kamarnya. Listrik sedang mati karena sebab yang tidak begitu jelas. Gerimis telah turun sejak sore dan seolah abadi dalam keteraturan yang monoton. Madina menyukai keadaan semacam ini. Bahkan, dia jadi makin giat untuk shalat tahajud. Lebih-lebih, malam ini. Sebuah waktu panjang yang harus ia lewati sebelum pagi tiba dan segalanya akan berubah begitu laki-laki itu datang.

Namanya Rizal Ibnu Wathon, tapi orang-orang karib memanggilnya “Gus Ijal” saja. Mereka sama-sama kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam dan keakraban di antara kedua orang itu telah terpupuk sejak kuliah semester pertama. Gus Ijal sering membantu Madina dalam memahami materi-materi kuliah dan mereka sering satu tim jika ada tugas yang sifatnya kelompok.

Gus Ijal pemuda yang cerdas di mata Madina. Terutama, dalam urusan fikih, bahasa Arab, dan kajian-kajian sejarah Islam. Tentu saja, hal tersebut tidak mengherankan. Sebab, Gus Ijal adalah putra seorang kiai dan dia pernah mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur. Jadi, soal keilmuan agama, Gus Ijal termasuk yang paling mumpuni di kelas perkuliahan. Madina tidak tahu, apakah Gus Ijal juga memiliki semacam kekaguman terhadap dirinya.

Gus Ijal bukan tipikal pemuda yang pandai menebar pesona. Dia agak pemalu jika bicara dengan perempuan, meski tidak dalam taraf yang mengkhawatirkan. Oleh karenanya, Madina merasa terkejut bukan main ketika tiba-tiba Gus Ijal berkata ingin menikahinya setelah wisuda sarjana.

Pada mulanya, Madina agak ragu saat mempertimbangkan apakah hendak menerima ajakan Gus Ijal atau justru menolaknya. Namun, harus Madina akui, semua gambaran mengenai suami ideal ada pada sosok Gus Ijal: Lulusan pesantren, berwawasan luas, dan jago urusan agama. Sebagai perempuan yang sejak belia dididik dalam keluarga yang taat beragama, tentu sulit bagi Madina untuk menolak pesona Gus Ijal. Maka, setelah mempertimbangkannya matang-matang, Madina pun memutuskan untuk menyetujui ajakan laki-laki itu.

Sayangnya, masalah justru mendera setelah Gus Ijal dan Madina sudah sama-sama hendak mengenal lebih dalam. Masalah dimulai lantaran keluarga Gus Ijal menentang habis-habisan hubungan mereka dengan dalih keluarga Madina berbeda aliran dalam beragama Islam. Orang tua Gus Ijal berafiliasi dengan salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di negeri ini. Sedangkan, orang tua Madina, bisa dibilang, merupakan simpatisan sebuah komunitas dakwah yang agak berbeda dengan ormas tersebut.

Padahal, sebaliknya, orang tua Madina justru senang mengetahui putrinya hendak menikah dengan laki-laki yang paham agama. Meski, pada awalnya terjadi kekhawatiran juga di lingkup keluarga perempuan tersebut.

Madina memandang penolakan orang tua Gus Ijal tersebut tidak adil. Apa salahnya berbeda dalam memahami agama? Bukankah, yang terpenting, keluarga kami masih sama-sama Islam? Demikian, pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggelayuti pikiran Madina.

Bagi Madina, Tuhan adalah kebenaran sejati dan setiap orang memiliki jalur masing-masing untuk menuju kepada-Nya. Ibarat mendaki gunung, ada banyak jalur yang bisa ditempuh. Tentu, dia mengerti, bukan perkara gampang untuk mencapai puncak. Sebab, seseorang harus pintar memilih jalur agar tidak mudah tersesat dan mesti menyiapkan perbekalan yang sesuai supaya selamat sampai tujuan.

Madina melihat orang tuanya tidak sedang mengambil jalan yang sesat atau tidak beres, sehingga pantas untuk ditolak oleh keluarga Gus Ijal. Memang komunitas dakwah yang diikuti keluarganya memiliki metode berbeda dalam menyampaikan ajaran Islam. Misalnya, sebulan sekali, sang bapak harus bepergian ke suatu tempat bersama komunitas yang dia ikuti untuk berdakwah selama, minimal, tiga hari. Kadang, bisa lebih, tergantung agenda keagamaan dengan komunitasnya tersebut.

Sebelum pergi berdakwah ke suatu daerah, sang bapak akan memberi uang dengan jumlah yang sekiranya cukup untuk kebutuhan Madina dan ibunya selama ditinggalkan. Selain itu, sang bapak juga harus membebaskan dirinya dari utang atau tagihan pembayaran apa pun terlebih dahulu. Kemudian, selama pergi, dia juga tidak boleh menghubungi keluarganya sama sekali. Madina melihat kepergian sang bapak ketika mengikuti agenda komunitas itu sebagai latihan mengolah jiwa. Semacam ikhtiar menjauhkan diri dari kehidupan duniawi sebelum menuju ke haribaan Tuhan yang abadi.

Bila sang bapak pergi, ibunya yang akan mengambil alih seluruh tanggung jawab. Kadang, jika perginya agak lama, beberapa teman dari komunitas akan berkunjung ke rumah. Memberi kabar perihal keadaan sang bapak kepada Madina dan ibunya. Meski tak jarang pula, mereka membantu dalam hal keuangan. Jika ibunya ikut sang bapak berdakwah, Madina biasanya akan dititipkan ke kerabat terdekat.

Madina ingat, sang bapak pernah berkata bahwa ketika seseorang keluar di jalan Allah, maka Allah-lah yang akan menjaga dia, keluarganya, serta harta bendanya, sehingga dia tidak perlu cemas. Oleh karenanya, sang bapak tidak pernah merasa berat hati jika harus meninggalkan istri dan anaknya untuk waktu yang cukup lama.

Tidak ada yang salah dengan cara beragama keluargaku, batin Madina. Bapaknya tak pernah menghujat mereka yang berasal dari ormas yang sama dengan keluarga Gus Ijal. Meski punya amaliah berbeda, seperti tahlil dan segala macamnya. Memang, di satu sisi, sang bapak sebetulnya tidak begitu kuat pijakan ilmu agamanya. Sebab dia cuma belajar menggunakan buku dan bukan kitab dengan Arab gundul, seperti Gus Ijal. Itu pun tidak banyak referensi, hanya yang diterbitkan oleh petinggi komunitas sebagai rujukan.

Pada titik inilah, kadang-kadang, Madina merasa bapaknya belum pantas untuk berdakwah. Karena, semestinya, orang memperkuat pijakan dasar agamanya lebih dulu sebelum terjun berdakwah ke tengah masyarakat. Demikian pikir Madina. Meskipun begitu, dia tak pernah tega mematahkan semangat sang bapak yang senantiasa meluap-luap tiap kali hendak mengikuti kegiatan rutin komunitas tersebut.

Madina mengusap sisa air mata di pipinya. Lalu, dia bangun dan melepas mukena. Jarum jam sudah menunjuk pukul tiga lebih seperempat. Itu berarti, Subuh akan berlabuh sekitar satu jam lagi. Setelah melipat mukena, Madina beranjak ke kasur. Tapi, bayangan Gus Ijal masih saja belum lingsir dari pandangannya.

Ketika Madina menatap arah depan, dia melihat Gus Ijal. Ketika Madina mengalihkan pandangan ke samping kanan, dia juga melihat Gus Ijal. Bahkan, Madina pun melihat dia ketika memandang galon, tumpukan piring kotor, laptop, baju-baju, rak buku, hingga cahaya api lilin yang temaram. Pendek kata, Gus Ijal seolah hadir di mana-mana.

Madina ingat, tiga hari yang lalu Gus Ijal menemuinya dan menyampaikan soal sikap keberatan keluarganya. Kata Gus Ijal, salah seorang pamannya pernah berhaluan ke komunitas yang sama de ngan orang tua Madina. Sekarang, si paman kerap menentang tradisi amaliah yang dianut keluarga besar Gus Ijal. Mengatakan bahwa tahlilan itu bid’ah dan ziarah kubur sama dengan perbuatan syirik. Oleh karena itu, boleh dibilang kalau keluarga Gus Ijal merasa kecewa melihat perubahan si paman tersebut dan mereka menuding komunitas dakwah tempat orang tua Madina aktif berkegiatan sebagai biang keladinya.

“Tidak semua yang berada di komunitas itu jadi seperti pamanmu,” sangkal Madina. “Aku belum pernah melihat atau mendengar bapak-ibuku menghujat tradisi-tradisi amaliah ormas yang diikuti keluargamu. Selain itu, kau pun tahu sendiri, bahwa aku secara pribadi bahkan mengikuti beberapa tradisi ama liah ormas yang kau ikuti. Aku ini Islam dan bagiku semua golongan memiliki sisi kebenarannya dalam beragama. Kau sendiri juga yakin seperti itu, bukan?”

“Masalahnya,” Gus Ijal tak kuasa memandang wajah Madina, “kita mesti terima kenyataan bahwa menikah bukan hanya mempersatukan dua orang, tetapi juga mempersatukan keluarga. Mungkin bapak atau ibumu tidak begitu ketat, tapi bagaimana dengan anggota komunitas lainnya? Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Yang tak sealiran dengan kami dalam beramaliah?”

“Aku sudah meyakinkan bapak dan ibuku. Mereka bersedia menerimamu,” kata Madina, “jadi sekarang giliranmu membujuk orang tuamu agar bersedia menerimaku. Yakinkan mereka bahwa bapak dan ibuku memang ikut komunitas itu, tapi mereka tidak suka menyalahkan atau bahkan mengkafirkan kelompok lain. Anggota komunitas itu banyak dan orangnya beragam. Tapi, bapak dan ibu termasuk rukun dengan tetangga-tetanggaku yang sebagian besar ikut dalam ormas, seperti keluargamu. Maka, kau mesti membuat bapak-ibumu yakin. Itu jika kau memang betul-betul ingin menikah denganku.”

“Baiklah, beri aku waktu,” kata Gus Ijal, “akan kutemui lagi orang tuaku.”

“Sampai kapan aku harus menunggu?”

“Jumat pagi, aku akan datang dengan membawa kabar. Aku janji.”

Demikianlah perbincangan antara Gus Ijal dengan Madina. Kini, Madina mesti bersiap menerima apa pun kabar yang Gus Ijal bawa besok.

Madina berusaha memejamkan matanya yang masih sembap. Sembari menanti Jumat pagi tiba, dia memikirkan kenapa antar golongan saling mempertikaikan kebenaran menurut mereka ke berbagai lini kehidupan, bukan malah meyakini kebenaran itu dalam sunyi dan perlahan mewujudkannya dalam cinta, rasa kasih sayang kepada sesama, atau minimal menyediakan ruang-ruang untuk melebur perbedaan.(*)

Posting Komentar untuk "Menunggu Jumat Pagi | Cerpen Khumaid Akhyat Sulkhan"