Betapa tidak. Sifat rakus sang juragan sudah dimulai sejak dia tinggal di desa itu sepuluh tahun yang lalu sebagai pendatang. Pertama, dia menyedot air tanah dengan mesin berkekuatan besar untuk mengisi kolam renang keluarga. Kedua, dia mendatangkan orang-orang kampung lain sebagai tenaga kerja di perusahaannya. Ketiga, ini yang paling menyusahkan warga. Dia mengepul hasil panen kakao warga dengan harga sangat murah dengan iming-iming mendapatkan pinjaman modal usaha. Alih-alih menyejahterakan petani kakao, dia malah mencekik leher mereka dengan pinjaman berbunga tinggi.
“Apa yang kamu lihat di halaman juragan itu, Kang?” tanya Mad Karju kepada sang mata-mata.
“Begini, Ju. Di halaman juragan yang luas itu para pekerja sedang menjemur kakao. Mereka memasang sapu gerang di setiap sudut jemuran. Sapu-sapu itu dipasang terbalik menantang langit dengan diberi cabai merah dan hijau di setiap ujung lidi.”
“Kurang ajar kau, Ngabas,” gerutu Mad Karju.
“Lho, apa yang salah dengan sapu gerang yang dipasang itu, Ju?”
“Bodoh, kau Kang,” bentak Mad Karju yang masih menatap langit dengan mata nanar menahan marah.
“Bukankah itu mengusir hama dari jemuran kakao itu.”
“Ketahuilah, Kang. Sapu gerang dan cabai itu alat penangkal hujan. Dengan begitu hujan batal turun dan tanaman padi gaga kita kering seperti yang kau lihat itu.”
Dua bulan yang lalu warga melakukan salat istisqa' agar kemarau segera berakhir dan warga desa segera ngawu-awu, menebar benih padi gaga. Usaha mereka terkabul, hujan segera turun. Namun hujan pertama, kedua, dan ketiga belum cukup membasahi tanah hingga sejengkal kedalamannya, disusul terang hingga beberapa minggu. Inilah yang menyebabkan benih padi yang telanjur ditebar tidak kunjung tumbuh. Kalau pun tumbuh pasti layu dan mengering karena tak cukup air.
“Apa hubungannya hujan dengan sapu gerang dan cabai?”
“Heh, jangan ceriwis. Itu cara-cara nenek moyang kita dulu menolak hujan agar tidak turun ketika ada orang sedang punya gawe.”
Mad Karju sigap. Dikumpulkannya warga untuk diajak membuat aksi tandingan Juragan Ngabas agar aksi tolak hujannya cabar. Mereka tidak terang-terangan mengadakan rapat dengar pendapat melainkan melalui bisik-bisik. Dengan serius Mad Karju memberikan pesan rahasia kepada Kang Ranu, orang kepercayaannya. Meski menahan rasa geli dia membisikkan pesan berantai itu kepada warga yang duduk di sebelahnya. Pada akhirnya pesan berantai itu disepakati oleh seluruh warga. Meski merasakan keanehan dengan rencana Mad Karju, tetapi semua warga segera melakukan aksi rahasia itu.
Sampai pada hari yang ditentukan, Selasa Kliwon. Mereka datang dari empat penjuru dengan berbekal sapu gerang menuju kediaman Juragan Ngabas. Dipimpin Mad Karju, warga mendobrak pintu gerbang menerobos masuk halaman. Ada yang bertugas mencabuti cabai merah hijau di ujung lidi sapu gerang yang dipasang orang suruhan sang juragan. Kemudian menggantikan dengan benda rahasia yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Setelah selesai, serentak mereka membuka tabir yang tadinya menutupi sapu gerang dengan suara bergemuruh bergelombang. Kemudian muncullah pemandangan aneh. Sapu gerang yang tadinya berhiaskan cabai merah hijau kini berubah menjadi jemuran cawat dan kutang bekas pakai. Tentu ini menjadi pemandangan yang tidak lazim.
Sejam kemudian mendung bergelayut di atas tanah desa mereka. Mereka menyebutnya bregowong, tanda-tanda hujan deras segera turun. Belum sempat suruhan Juragan Ngabas menyelamatkan jemuran biji kakao, hujan deras datang disambut sorak sorai warga desa yang sudah satu setengah bulan merindukan hujan.
Sementara Juragan Ngabas merenungi jemuran biji kakao yang hanyut terbawa derasnya air. (*)
Posting Komentar untuk "Menolak Hujan | Cerpen Yonas Suharyono"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar