Dinding rumah itu berwarna abu-abu. Kursi kayu ada di ruang tamu dengan sebuah anggrek ungu di atas meja yang berwarna cokelat tua. Di ruang tengah ada sebuah televisi tua dan radio yang lebih sering menyala. Cahaya senja yang menawan masuk lewat jendela yang terbuka di sisi kiri ruangan. Seorang perempuan sering duduk di sana dengan secangkir teh menunggu waktu berbuka puasa. Ia-lah seorang ibu yang menunggu Restu.
Radio menyiarkan suara walikota dan jajarannya yang mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Puasa tinggal sepekan. Ibu sudah membuat kue bawang kesukaan anak sematawayang. Kue mentega akan dibeli ibu tiga hari sebelum hari raya, sebab yang menjual adalah tetangga di sebelah rumah. Jadi untuk membelinya ibu tidak perlu tergesa, sudah dipesan sejak lama.
Sementara untuk baju lebaran tidak pernah jadi soalan. Baju yang tempo lalu dibelikan almarhum suaminya masih tampak baru. Warnanya masih terang dan tentu ketika mengenakan gaun itu ibu semakin cantik dipandang. Hari raya sudah ditunggu.
Namun ada perasaan yang bertebaran, menyublim ia di udara, dan larut seperti garam di laut. Rindu di benak ibu, menjadi seperti putih helai rambutnya kini-yang tak habis dihitung satu persatu.
Ramadhan kali ini, ibu merasa begitu sunyi. Semenjak suaminya pergi, ia menyesap teh hangat dengan senyap. Apalagi semenjak Restu dimutasi ke Manokwari oleh perusahaan tempatnya bekerja lima tahun ini. Senyap begitu erat mendekap. Sering ibu menyeduh tiga cangkir teh, lalu insaf ia bahwa anak dan suaminya tidak lagi di meja makan yang sama.
Ia menikmati sisa-sisa bulan berkah dengan senyum yang ia paksakan selalu merekah. Hanya agar tetangga tak tahu bahwa hatinya gundah. Ia resah bukan main, Restu belum memberinya kabar sejak sebelum Ramadhan kemarin. Ingin ia menelepon Restu lebih dulu, tapi bagaimana menggunakan ponsel pintar ini ia tak tahu. Bertanya pada tetangga ia takut menampakkan risaunya.
“Sedang apa, Mak Ina?” tanya seorang perempuan paruh baya yang lewat di depan rumahnya. Mak Ina, begitu ibu Restu dipanggil tetangga.
Ibu menegakkan kepala dan melihat padanya. Ponsel pintar ada di kedua tangannya yang gemetar.
“Mak Ina sedang menelepon Restu?”
Ibu menggeleng pelan, “Belum,” jawabnya dengan suara yang juga pelan.
“Mak Ina mau menelepon Restu?”
Ibu hanya mengarahkan wajah pada wanita itu, matanya sudah sayu dan si perempuan menemukan sedih serta pilu. Perempuan menemukan rindu pada ruang mata ibu yang sudah tua.
“Ria bantu,” tawarnya sembari mengambil ponsel dari tangan ibu dan memanggil kontak Restu-yang hanya ada satu di situ.
Ia menekan-nekan layar sebesar telapak tangan. Sebentar kemudian terdengar olehnya suara seorang perempuan yang mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan.
Ibu tidak tahu.
Tentu mesti dijelaskan juga oleh Ria bahwa nomor Restu tidak bisa dihubungi. Hanya saja sepertinya perkataan Ria bisa menambah duka di dada. Maka berbohonglah ia pada Mak Ina, “Restu mungkin sedang sibuk, Mak Ina. Nanti dia pasti mengabari kembali,” katanya.
Ria ingin pergi segera, tapi ibu menahannya. “Ajari aku bagaimana caranya menelepon Restu. Karena dulu Restu hanya mengajarkan cara menjawab telepon padaku. Biar nanti kalau aku mau menelepon anakku, tidak perlu menunggu atau memanggilmu,” pintanya.
Ria ragu. Mengajari Mak Ina bisa membuat kebohongan terbongkar dan belum tentu Mak Ina bisa menerima keadaan dengan sabar. Tapi Mak Ina memaksa dan akhirnya Ria menjawab ‘ya’.
Operator masih menyampaikan informasi bahwa nomor Restu tidak bisa dihubungi. Ibu bertanya itu suara siapa dan Ria menjelaskan seterang-terangnya. Ibu mengerti, Restu tak bisa dihubungi. Jika masih begitu sampai hari-hari di depan nanti, barangkali rindu di dadanya hanya ia yang merasakan sendiri. Restu benar-benar telah pergi.
“Mak Ina, jangan bersedih. Restu tentu akan pulang. Kembali mengetuk pintu. Tapi sekarang mungkin ia sedang mencari uang. Kepadamu tentunya ia sayang. Sebab surga dan dunianya tinggallah Mak Ina seorang,” bujuk Ria saat melihat air mata menetes satu-satu di ujung mata ibu.
Perempuan separuh baya bernama Ria pergi. Ia pamit hendak mengurung kerbau dan sapi yang dilepas di padang rumput sejak pagi tadi. Ibu mengucap terimakasih.
Sore ini ibu memilih duduk di kursi beranda. Menikmati jalanan yang ramai oleh pemuda. Teringat ia pada suatu bulan puasa-tentang anaknya yang dulu sering juga berjalan beriringan seperti mereka, dengan kain sarung yang diikat di pinggang atau dijadikan penutup kepala seperti ninja. Tersenyum ia.
Riang Restu bermain kala itu. Sore hari menjelang maghrib tiba, sering ia memilih berbuka bersama di surau dengan pemuda lainnya. Namun sekali waktu, sering juga ia rindu teh buatan ibu. Menyeberang ia dari surau yang hanya berbatas jalan raya dari rumahnya. Ia minum teh hangat seteguk dua teguk dan kembali ke surau dengan sedikit terbatuk. Setelah shalat maghrib, suara Restu menjadi penyejuk kalbu. Terdengar lantang, di semesta kampung ia terbentang. Ibu mendengar dari rumah dengan hati tenang. Isya dan tarawih kemudian menjelang, ibu dan ayah berangkat sembahyang.
“Bagaimana kabarmu, anakku?” gumamnya.
Jalan raya di depan rumah telah sepi.
Bedug berbunyi.
Ibu membaca doa berbuka. Restu di ingatannya.
Empat hari berlalu dengan begitu cepat. Lusa sudah tidak lagi puasa. Hari raya. Ibu sudah membentang tikar di ruang tengah, menaruh toples yang penuh dengan kue di atas meja yang alasnya rajut berwarna merah. Barangkali ini terlalu terburu-buru. Tapi seandainya Restu tiba lebih awal dari yang ia duga, tentu segera anaknya merasa lebaran sudah disiapkan dan tinggal dirayakan.
Ibu masih menunggu anaknya dengan sabar. Melihat ke arah pintu dengan tatapan nanar. Setiap suara pintu diketuk terdengar, melangkah ia dan diraihnya pintu depan-kaki dan tangannya sudah gemetar, dan dadanya berdebar. Tapi tetap ia jelang dengan harapan anaknya-lah yang pulang.
Sampai pada awal Syawal yang dinanti dengan kumandang takbir yang silih berganti, tidak terdengar langkah kaki yang biasa didengar ibu dulu pagi-pagi. Suara langkah kaki yang buru-buru, menghampiri ibu dan ayah, menyalami telapak tangan dan mencium kaki dengan menaruh kepala sangat rendah. “Ibu, Ayah, Restu minta maaf atas segala kesalahan yang Restu perbuat selama ini. Restu sayang Ayah dan Ibu,” kenangnya.
Ibu menggumam kata-kata dengan mata berkaca-kaca. Di tangannya, rajutan usang yang sebelumnya terpajang. Mengalir air dari pelupuk mata lelahnya.
Suara takbir dari surau diputar lebih keras dari sebelumnya. Tangis Ibu tenggelam. Hiruk pikuk tawa tetangga di jalan tenggelam. Mesin mobil dan semua kendaraan yang lalu lalang juga tenggelam. Juga suara langkah kaki yang diidamkan selama ini pun tenggelam.
Seorang lelaki, dengan ransel besar di punggungnya, masuk ke rumah. Ditaruhnya barang-barang di samping kursi kayu terus masuk ke ruang tengah. Didapatinya seorang perempuan tua duduk di sebuah kursi, dengan jendela di sebelah kiri.
Segera dihampirinya sang ibu. Bersimpuh dan bersujud ia serendah yang ia mampu. “Ibu, Restu minta maaf atas segala kesalahan yang Restu perbuat selama ini. Restu sayang Ibu,” katanya. Air mata mengalir deras di punggung kaki ibunya.
Ada perasaan yang tak dapat digambarkan. Melebihi senang dan haru. Sosok Restu menjadi obat dari segala sakit dan pilu yang selama ini menggelayuti hati ibu. Disapunya rambut hitam Restu dengan penuh kasih dari kalbu, diangkatnya tubuh Restu dan berdirilah anaknya dengan lutut menghadap wajah sang ibu. “Restu sayang Ibu, Restu rindu Ibu,” kata anaknya sekali lagi.
Segera dipeluknya sang ibu dengan erat sebagai penyampai rindu yang sangat berat. Pecah tangisnya seketika.
“Restu selalu rindu pada ibu. Tak habis-habisnya. Maaf Restu tak memberi kabar, Bu. Semula kepulangan ingin Restu jadikan kejutan. Ponsel sengaja Restu matikan untuk menghemat daya. Perjalanan Manokwari ke Jambi jauh sekali. Tapi ternyata di jalan ponsel Restu malah kecurian. Maafkan Restu ya, Bu?”
Ibu tersenyum namun beriring sedu sedan sebab tangis yang ia telan. Sebuah perasaan kembali bertebaran, menyublim ia di udara, dan larut seperti garam di laut.
“Mendengar langkah kakimu dan suaramu memanggil ibu dari depan pintu, itu lebih dari kata rindu.”
Takbir berkumandang lebih panjang hingga Zuhur menjelang. (*)
Posting Komentar untuk "Yang Lebih Hebat dari Kata Rindu | Cerpen Maya Sandita"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar