Sudah dua minggu aku kembali merasakan nikmatnya bekerja. Alhamdulillah, tidak begitu sulit beradaptasi di sana. Ditambah, Mas Abi, suamiku, selalu menenangkanku, bercerita mengenai kehidupan di tempat kerja. Memang benar, dukungan orang terdekat menjadi vitamin pendongkrak semangat yang paling manjur.
Sudah lama aku tidak bekerja, semenjak menikah. Sekarang, setelah anak sudah cukup besar, Mas Abi mengizinkanku kembali bekerja.
Masih ingat pesan ibu mertua agar tak segan menolong teman kerja yang membutuhkan. Maka, berbekal hal itu, saat hari Jumat Lastri meminjam uang, langsung kuberikan kepadanya. Apalagi, alasannya untuk biaya pengobatan saudaranya. Dia berjanji akan mengembalikannya saat gajian bulan depan.
Untung, aku masih punya tabungan dana darurat yang kukumpulkan sejak masih sendiri. Kebiasaan ‘mengepos-poskan’ uang memang sangat menguntungkan. Jadi, saat-saat mendesak, tidak kelimpungan cari utangan.
Jika kuceritakan, pasti Mas Abi menyetujui keputusanku untuk membantu Lastri. Tadinya, aku akan memberitahu hari itu juga, tetapi lupa. Rencananya, hari ini baru akan memberitahu suamiku. Tentu sepulang kerja.
Lastri baru saja masuk ruangan. Dari wajah semringahnya, sepertinya dia membawa cerita bahagia. Mungkin keadaan saudaranya sudah mulai membaik. Tentu aku sangat senang bila memang itu yang terjadi. Tiba-tiba mataku terpaku pada slim bag yang dipakai Lastri. Terlihat baru dan mewah. Makdeg. Entah kenapa, suuzonku seperti ingin men-dusel keluar. Aku berusaha menyingkirkan hal itu dari kepalaku.
“Eh, Lastri. Tas baru lagi, nih,” sapa Bu Tutik yang meja kerjanya berada di sampingku.
Kedengarannya bukan sedang menyanjung. Intonasi suara dan mimiknya menunjukkan hal yang sebaliknya. Lastri menanggapi ucapan Bu Tutik dengan senyuman. Owalah, ternyata slim bag itu yang menjadi sumber kebahagiaan hati Lastri.
“Iya, Bu Tutik. Karena kemarin pacarku habis transfer.”
“Wah, pacarnya baik ya, Mbak Lastri. Kapan-kapan ajak ke sini, dong. Dikenalkan ke kita,” timpal Bu Dinda sambil melengkungkan bibirnya. Kearah bawah. Lantas melirik ke arah Bu Tutik.
Sepertinya, ada yang janggal. Tetapi, aku menahan diri untuk tidak ikut berkomentar. Cari aman sebagai orang baru. Lagi pula, aku belum tahu betul karakter mereka. Dan, itu bukan urusanku.
Namun, slim bag itu terus menggangguku. Apalagi, jika kukaitkan dengan uang pinjaman kemarin. Makin bertumpuk-tumpuk resahku rasanya. Astaghfirullah, ikhlaskan, Sin! Jangan diungkit-ungkit. Sudah bukan urusanmu lagi, dia pakai buat apa. Anggap semua yang diucapkan Lastri adalah fakta.
“Hehe. Pacarku tinggal dan dinas di luar kota, Bu. Sibuk. Dia kan, PNS Bea Cukai,” sahut Lastri enteng.
Aku mengamatinya. Lalu, pandanganku beralih ke slim bag yang ditaruh di atas meja. Seperti sengaja dipamerkan. Meja kerjanya berada tepat di depanku. Ada rasa sesak yang menggumpal.
“Bagus, ya, Mbak Sinta?” Lastri menyungging senyum kepadaku. Dia sadar aku mengamatinya sejak tadi.
Allahu Akbar. Semoga benar apa yang dia ucapkan. Semoga benar, tas itu dari pacarnya. Semoga uang yang kupinjamkan memang benar-benar dia gunakan untuk bapaknya yang sakit. Mendadak, hatiku diliputi keraguan akan ucapannya. Aku pun kembali memfokuskan perhatianku ke arah PC di depanku. Menghilangkan perasaan-perasaan buruk yang mengimpit dada.
Tiba jam makan siang. Aku memilih bergabung dengan Bu Tutik dan Bu Dinda yang duduk bersama dua perempuan lain seusiaku. Ingin mencari tahu tentang Lastri. Dilihat dari gelagatnya, ada yang tidak beres. Aku sudah mencoba untuk tidak bersuuzon kepada Lastri dengan berbagai cara. Tetapi, tetap tidak bisa menggusur sepenuhnya dari pikiranku.
“Boleh bergabung, Bu, Ibu?” tanyaku meminta izin. Aku menyunggingkan senyum tulus kepada keempat perempuan berbeda generasi tersebut. Mereka menyambutku ramah. Aku pun duduk di kursi sebelah Bu Dinda yang masih kosong.
“Sedang nggak puasa ya, Mbak Sinta?” tanya Bu Tutik kepadaku. Aku mengangguk.
Dari masih sendiri, aku sudah terbiasa puasa Nabi Daud. Tetapi, sejak bersuami, kebiasaan itu kutinggalkan. Sebagai gantinya puasa Senin-Kamis, itu pun jika suami mengizinkan.
“Iya, Bu. Sedang berhalangan,” jawabku singkat.
“Oh. Kayak gini, nih, yang perlu ditiru. Sudah rajin kerjanya, salehah pula,” sahut Bu Tutik.
Aku berusaha bersikap biasa saja setelah mengucapkan terima kasih atas penilaiannya.
“Nggak kaya itu, tuh.” Bu Dinda menunjuk dengan dagunya ke arah seseorang yang tengah berdiri di depan dispenser. Lastri. Perempuan lajang ter-glowing di seantero kantor.
“Coba saja hatinya secantik wajahnya,” sahut perempuan seusiaku yang duduk di samping Bu Tutik.
Aku langsung berhenti mengunyah. Mendadak rasa laparku hilang, berganti menjadi rasa penasaran menggelegak. Belum juga aku bertanya apa sebabnya dia bicara begitu, Bu Tutik sudah mendahuluiku, “Dia itu suka utang. Ada saja alasannya. Bapaknya sakitlah, saudaralah kena musibah. Besok-besok mungkin tetangganya. Padahal, tujuan sebenarnya buat foya-foya.”
Ucapan Bu Tutik disambut gelak tawa yang berderai. Aku hanya tersenyum. Hatiku mencelus sebenarnya.
“Semoga saja kamu tidak menjadi korbannya, ya Nduk,” sahut Bu Dinda dengan nada simpati.
Aku mengangguk saja. Demi ketenteraman hati yang sebenarnya sudah mulai bergolak.
“Sudah, Bu. Jangan bahas dia terus. Keenakan dia. Kita yang dosa, dia dapat pahala.”
“Iya, Bu. Lagi pula sayang makanannya. Keburu selera makanku habis,” timpal yang lainnya.
Akhirnya, kami melanjutkan makan yang tadi sempat terjeda. Sebenarnya, selera makanku sudah lenyap dari tadi. Tetapi, daripada membuang makanan, lebih baik menghabiskan makanan yang sudah terhidang meski tanpa selera.
“Dihabiskan makannya, Dik. Barangkali berkah yang ada di makanan itu berada di suapan terakhir.” Ucapan suamiku itu yang sampai sekarang melekat erat di ingatan. Agar menghargai makanan dan tidak menjadikan diri sebagai saudara setan yang senang akan perbuatan mubazir.
Aku menghempaskan diri dengan keras. Tepat di samping suamiku duduk. Kopi yang tengah diseruputnya dikembalikan ke meja. Kemudian, badannya dihadapkan kepadaku. Mas Abi sangat hafal istrinya ini. Tanpa mengucap sepatah kata pun, dia sudah merasakan isi hatiku.
“Kamu marah, ya?” konfirmasi Mas Abi.
Aku diam saja. Lalu, beranjak begitu saja dari sisiku.
“Ini. Tadi Mas mampir minimarket buat beli pulsa. Tiba-tiba kepingin beliin kamu cokelat. Ternyata, kamu pulang cemberut begitu.” Mas Abi menyodorkan sebatang cokelat kepadaku. Rasa marahku meleleh berganti dengan sayang. Aku menyenderkan kepala ke bahunya.
“Mas, aku kesal sekali tadi. Temanku membohongi aku, Mas.”
“Membohongi bagaimana?”
“Dia pinjam uang, bilangnya buat biaya pengobatan ibunya. Eh, malah buat foya-foya beli tas mewah. Bagaimana aku tidak mangkel, Mas?”
“Kamu sudah tabayun dulu, Dik? Jangan asal nuduh. Nanti kalau tidak terbukti, jatuhnya fitnah lho, Dik.” Mas Abi mulai berceramah.
Sebelum berkepanjangan, aku buru-buru memotong dengan lanjutan ceritaku. Kuhabiskan jatah ceramah Mas Abi dengan melaporkan kronologi penyebab rasa dongkolku. Termasuk kejadian pada saat makan siang tadi.
“Walau bagaimana pun, tetap harus berhati-hati, Dik. Selama Adik belum menyaksikan sendiri, semuanya masih praduga. Alangkah baiknya Adik tetap berbuat baik kepadanya seperti kepada yang lain. Justru ini menjadi ladang pahala buat Adik.”
Tadinya aku senang karena merasa dibela.
“Maksudnya bagaimana, Mas?” Kutekan rasa kesalku yang ternyata masih ada.
“Kamu tetap berteman dengan dia. Jangan malah dijauhi. Kalau dia sudah nyaman, baru Adik nasihati dia baik-baik. Urusan dia bakal berubah atau tidak, jangan dipikirkan. Itu bagian Allah, bagian kita hanya mengingatkan saja. Wa tawa shoubil haqqi, wa tawa shoubish shobr,” lanjut Mas Abi sambil menukil sebuah ayat di akhir ceramahnya.
Aku menghela napas. Setelah dipikir-pikir, ucapan Mas Abi ada benarnya juga, sih. Memang, Mas Abi kebanyakan benar daripada salahnya. Sandaran idaman pokoknya, apalagi saat dilanda lemah iman. Beruntungnya aku bersuamikan Mas Abi. Jadi, semakin betah bergelayut manja di lengannya. Saat begini, lebih afdal jika urusan Lastri dipikirkan belakangan. Momen yang patut diabadikan dalam memori kepala dan hati tak boleh diusik. Seharusnya.
Sedang asyik-asyiknya menikmati momen romantis, tiba-tiba ponsel Mas Abi berbunyi. Aku mengerutkan bibir, tanda tak suka keasyikan kami diganggu. Mas Abi malah terkekeh dan melanjutkan teleponan di teras.
Aku mengangsurkan badanku ke sofa. Mengambil ponsel yang kuabaikan sejak sesi curhat bersama Mas Abi. Dengan agak malas kubuka-buka story WA teman-te manku. Yang kadang isinya menghibur, bikin haru, kadang. Mataku terbelalak ketika jariku berhenti pada story WA bernama Dik Lastri itu. Bukan hanya gambarnya saja yang membuat darahku tiba-tiba mendidih, tetapi caption di dalamnya juga, yang ngalah-ngalahi pedasnya cabai rawit sebaskom. Gambar slim bag berwarna pink peach itu menantang pandanganku.
Sirik tanda tak mampu. Kalau mampu beli, Ciiin. Jangan pelototin aja. Suaminya kartap BUMN kok medit. Buat sendiri aja perhitungan.
Aku jelas sangat geram. Meski tak ada nama Sinta dalam story WA itu, aku merasa yakin sindiran tajam itu sengaja ditujukan kepadaku. Aku teringat akan suamiku yang merupakan karyawan tetap sebuah BUMN ternama di negeri ini. Ditambah, aku memang tidak terlalu suka menghambur-hamburkan uang membeli barang mewah.
Cukup sudah. Aku tak akan menjadikan Lastri sebagai ladang pahala seperti yang dikatakan Mas Abi. Akan kubuat perhitungan mulut tajam perempuan itu. Ini perang antarperempuan. Jadi, dalam hal ini Mas Abi tidak perlu dilibatkan.
“Loh, mau ke mana, Dik? Kok keliatan marah, gitu?” tanya Mas Abi setelah selesai bertelepon.
Mungkin dia kaget, baru ditinggal sebentar saja, ekspresi wajahku sudah seperti, entahlah. Kujawab dengan gusar, “Mau ngulek cabai sebaskom!” Lalu, berlalu begitu saja tanpa menghiraukan Mas Abi yang makin bingung. (*)
Jika kuceritakan, pasti Mas Abi menyetujui keputusanku untuk membantu Lastri. Tadinya, aku akan memberitahu hari itu juga, tetapi lupa. Rencananya, hari ini baru akan memberitahu suamiku. Tentu sepulang kerja.
*****
Lastri baru saja masuk ruangan. Dari wajah semringahnya, sepertinya dia membawa cerita bahagia. Mungkin keadaan saudaranya sudah mulai membaik. Tentu aku sangat senang bila memang itu yang terjadi. Tiba-tiba mataku terpaku pada slim bag yang dipakai Lastri. Terlihat baru dan mewah. Makdeg. Entah kenapa, suuzonku seperti ingin men-dusel keluar. Aku berusaha menyingkirkan hal itu dari kepalaku.
“Eh, Lastri. Tas baru lagi, nih,” sapa Bu Tutik yang meja kerjanya berada di sampingku.
Kedengarannya bukan sedang menyanjung. Intonasi suara dan mimiknya menunjukkan hal yang sebaliknya. Lastri menanggapi ucapan Bu Tutik dengan senyuman. Owalah, ternyata slim bag itu yang menjadi sumber kebahagiaan hati Lastri.
“Iya, Bu Tutik. Karena kemarin pacarku habis transfer.”
“Wah, pacarnya baik ya, Mbak Lastri. Kapan-kapan ajak ke sini, dong. Dikenalkan ke kita,” timpal Bu Dinda sambil melengkungkan bibirnya. Kearah bawah. Lantas melirik ke arah Bu Tutik.
Sepertinya, ada yang janggal. Tetapi, aku menahan diri untuk tidak ikut berkomentar. Cari aman sebagai orang baru. Lagi pula, aku belum tahu betul karakter mereka. Dan, itu bukan urusanku.
Namun, slim bag itu terus menggangguku. Apalagi, jika kukaitkan dengan uang pinjaman kemarin. Makin bertumpuk-tumpuk resahku rasanya. Astaghfirullah, ikhlaskan, Sin! Jangan diungkit-ungkit. Sudah bukan urusanmu lagi, dia pakai buat apa. Anggap semua yang diucapkan Lastri adalah fakta.
“Hehe. Pacarku tinggal dan dinas di luar kota, Bu. Sibuk. Dia kan, PNS Bea Cukai,” sahut Lastri enteng.
Aku mengamatinya. Lalu, pandanganku beralih ke slim bag yang ditaruh di atas meja. Seperti sengaja dipamerkan. Meja kerjanya berada tepat di depanku. Ada rasa sesak yang menggumpal.
“Bagus, ya, Mbak Sinta?” Lastri menyungging senyum kepadaku. Dia sadar aku mengamatinya sejak tadi.
Allahu Akbar. Semoga benar apa yang dia ucapkan. Semoga benar, tas itu dari pacarnya. Semoga uang yang kupinjamkan memang benar-benar dia gunakan untuk bapaknya yang sakit. Mendadak, hatiku diliputi keraguan akan ucapannya. Aku pun kembali memfokuskan perhatianku ke arah PC di depanku. Menghilangkan perasaan-perasaan buruk yang mengimpit dada.
*****
Tiba jam makan siang. Aku memilih bergabung dengan Bu Tutik dan Bu Dinda yang duduk bersama dua perempuan lain seusiaku. Ingin mencari tahu tentang Lastri. Dilihat dari gelagatnya, ada yang tidak beres. Aku sudah mencoba untuk tidak bersuuzon kepada Lastri dengan berbagai cara. Tetapi, tetap tidak bisa menggusur sepenuhnya dari pikiranku.
“Boleh bergabung, Bu, Ibu?” tanyaku meminta izin. Aku menyunggingkan senyum tulus kepada keempat perempuan berbeda generasi tersebut. Mereka menyambutku ramah. Aku pun duduk di kursi sebelah Bu Dinda yang masih kosong.
“Sedang nggak puasa ya, Mbak Sinta?” tanya Bu Tutik kepadaku. Aku mengangguk.
Dari masih sendiri, aku sudah terbiasa puasa Nabi Daud. Tetapi, sejak bersuami, kebiasaan itu kutinggalkan. Sebagai gantinya puasa Senin-Kamis, itu pun jika suami mengizinkan.
“Iya, Bu. Sedang berhalangan,” jawabku singkat.
“Oh. Kayak gini, nih, yang perlu ditiru. Sudah rajin kerjanya, salehah pula,” sahut Bu Tutik.
Aku berusaha bersikap biasa saja setelah mengucapkan terima kasih atas penilaiannya.
“Nggak kaya itu, tuh.” Bu Dinda menunjuk dengan dagunya ke arah seseorang yang tengah berdiri di depan dispenser. Lastri. Perempuan lajang ter-glowing di seantero kantor.
“Coba saja hatinya secantik wajahnya,” sahut perempuan seusiaku yang duduk di samping Bu Tutik.
Aku langsung berhenti mengunyah. Mendadak rasa laparku hilang, berganti menjadi rasa penasaran menggelegak. Belum juga aku bertanya apa sebabnya dia bicara begitu, Bu Tutik sudah mendahuluiku, “Dia itu suka utang. Ada saja alasannya. Bapaknya sakitlah, saudaralah kena musibah. Besok-besok mungkin tetangganya. Padahal, tujuan sebenarnya buat foya-foya.”
Ucapan Bu Tutik disambut gelak tawa yang berderai. Aku hanya tersenyum. Hatiku mencelus sebenarnya.
“Semoga saja kamu tidak menjadi korbannya, ya Nduk,” sahut Bu Dinda dengan nada simpati.
Aku mengangguk saja. Demi ketenteraman hati yang sebenarnya sudah mulai bergolak.
“Sudah, Bu. Jangan bahas dia terus. Keenakan dia. Kita yang dosa, dia dapat pahala.”
“Iya, Bu. Lagi pula sayang makanannya. Keburu selera makanku habis,” timpal yang lainnya.
Akhirnya, kami melanjutkan makan yang tadi sempat terjeda. Sebenarnya, selera makanku sudah lenyap dari tadi. Tetapi, daripada membuang makanan, lebih baik menghabiskan makanan yang sudah terhidang meski tanpa selera.
“Dihabiskan makannya, Dik. Barangkali berkah yang ada di makanan itu berada di suapan terakhir.” Ucapan suamiku itu yang sampai sekarang melekat erat di ingatan. Agar menghargai makanan dan tidak menjadikan diri sebagai saudara setan yang senang akan perbuatan mubazir.
*****
Aku menghempaskan diri dengan keras. Tepat di samping suamiku duduk. Kopi yang tengah diseruputnya dikembalikan ke meja. Kemudian, badannya dihadapkan kepadaku. Mas Abi sangat hafal istrinya ini. Tanpa mengucap sepatah kata pun, dia sudah merasakan isi hatiku.
“Kamu marah, ya?” konfirmasi Mas Abi.
Aku diam saja. Lalu, beranjak begitu saja dari sisiku.
“Ini. Tadi Mas mampir minimarket buat beli pulsa. Tiba-tiba kepingin beliin kamu cokelat. Ternyata, kamu pulang cemberut begitu.” Mas Abi menyodorkan sebatang cokelat kepadaku. Rasa marahku meleleh berganti dengan sayang. Aku menyenderkan kepala ke bahunya.
“Mas, aku kesal sekali tadi. Temanku membohongi aku, Mas.”
“Membohongi bagaimana?”
“Dia pinjam uang, bilangnya buat biaya pengobatan ibunya. Eh, malah buat foya-foya beli tas mewah. Bagaimana aku tidak mangkel, Mas?”
“Kamu sudah tabayun dulu, Dik? Jangan asal nuduh. Nanti kalau tidak terbukti, jatuhnya fitnah lho, Dik.” Mas Abi mulai berceramah.
Sebelum berkepanjangan, aku buru-buru memotong dengan lanjutan ceritaku. Kuhabiskan jatah ceramah Mas Abi dengan melaporkan kronologi penyebab rasa dongkolku. Termasuk kejadian pada saat makan siang tadi.
“Walau bagaimana pun, tetap harus berhati-hati, Dik. Selama Adik belum menyaksikan sendiri, semuanya masih praduga. Alangkah baiknya Adik tetap berbuat baik kepadanya seperti kepada yang lain. Justru ini menjadi ladang pahala buat Adik.”
Tadinya aku senang karena merasa dibela.
“Maksudnya bagaimana, Mas?” Kutekan rasa kesalku yang ternyata masih ada.
“Kamu tetap berteman dengan dia. Jangan malah dijauhi. Kalau dia sudah nyaman, baru Adik nasihati dia baik-baik. Urusan dia bakal berubah atau tidak, jangan dipikirkan. Itu bagian Allah, bagian kita hanya mengingatkan saja. Wa tawa shoubil haqqi, wa tawa shoubish shobr,” lanjut Mas Abi sambil menukil sebuah ayat di akhir ceramahnya.
Aku menghela napas. Setelah dipikir-pikir, ucapan Mas Abi ada benarnya juga, sih. Memang, Mas Abi kebanyakan benar daripada salahnya. Sandaran idaman pokoknya, apalagi saat dilanda lemah iman. Beruntungnya aku bersuamikan Mas Abi. Jadi, semakin betah bergelayut manja di lengannya. Saat begini, lebih afdal jika urusan Lastri dipikirkan belakangan. Momen yang patut diabadikan dalam memori kepala dan hati tak boleh diusik. Seharusnya.
Sedang asyik-asyiknya menikmati momen romantis, tiba-tiba ponsel Mas Abi berbunyi. Aku mengerutkan bibir, tanda tak suka keasyikan kami diganggu. Mas Abi malah terkekeh dan melanjutkan teleponan di teras.
Aku mengangsurkan badanku ke sofa. Mengambil ponsel yang kuabaikan sejak sesi curhat bersama Mas Abi. Dengan agak malas kubuka-buka story WA teman-te manku. Yang kadang isinya menghibur, bikin haru, kadang. Mataku terbelalak ketika jariku berhenti pada story WA bernama Dik Lastri itu. Bukan hanya gambarnya saja yang membuat darahku tiba-tiba mendidih, tetapi caption di dalamnya juga, yang ngalah-ngalahi pedasnya cabai rawit sebaskom. Gambar slim bag berwarna pink peach itu menantang pandanganku.
Sirik tanda tak mampu. Kalau mampu beli, Ciiin. Jangan pelototin aja. Suaminya kartap BUMN kok medit. Buat sendiri aja perhitungan.
Aku jelas sangat geram. Meski tak ada nama Sinta dalam story WA itu, aku merasa yakin sindiran tajam itu sengaja ditujukan kepadaku. Aku teringat akan suamiku yang merupakan karyawan tetap sebuah BUMN ternama di negeri ini. Ditambah, aku memang tidak terlalu suka menghambur-hamburkan uang membeli barang mewah.
Cukup sudah. Aku tak akan menjadikan Lastri sebagai ladang pahala seperti yang dikatakan Mas Abi. Akan kubuat perhitungan mulut tajam perempuan itu. Ini perang antarperempuan. Jadi, dalam hal ini Mas Abi tidak perlu dilibatkan.
“Loh, mau ke mana, Dik? Kok keliatan marah, gitu?” tanya Mas Abi setelah selesai bertelepon.
Mungkin dia kaget, baru ditinggal sebentar saja, ekspresi wajahku sudah seperti, entahlah. Kujawab dengan gusar, “Mau ngulek cabai sebaskom!” Lalu, berlalu begitu saja tanpa menghiraukan Mas Abi yang makin bingung. (*)
Posting Komentar untuk "Utang untuk Foya-foya | Cerpen Khuswatun Khasanah"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar