UDARA terasa lebih pekat. Awan sama putih, langit sama biru, tapi udara lebih berat ketimbang tempat lain. Anwar membuka kancing teratas kemeja kerjanya. Panas. Seperti biasa. Meskipun penyejuk ruangan sudah berada di suhu terendah, uap panas terus menerjang seperti tak hendak dikalahkan. Sementara itu, mata Anwar menatap layar lekat-lekat. Masa depan orang banyak dipertaruhkan dalam laporan yang akan ia buat dan ia harus fokus, tapi ia masih bimbang.
*****
Masalahnya, begitu kalender berganti, gadis kecil itu sudah harus mengenakan seragam putih merah. Dan kau tahu, itu berarti biaya tambahan harus dikeluarkan dari penghasilan yang tak kunjung bertambah-tambah juga. Mungkin sebenarnya biaya yang dikeluarkan seharusnya tidak sebesar yang dikhawatirkan, tetapi selalu ada gengsi yang menyertai membuat segala sesuatu jadi lebih sulit untuk dilakoni.
Seperti ketika akan menikah dulu, ia sadar betul bahwa biaya menikah seharusnya murah. Tetapi, calon mertua berkata, “Masak iya pegawai tambang menikah apa adanya? Menikah itu kan cuma sekali seumur hidup.”
Ia ingin menjawab bahwa biaya yang besar itu lebih baik digunakan untuk beli rumah dibandingkan habis untuk pesta sehari. Tetapi, berbicara seperti itu akan menyebabkan hubungan yang telah dibangun selama bertahun-tahun runtuh dalam semenit. Juga berarti cintanya yang menggelora pada gadis pujaan harus kandas di ujung lidah. Maka, ia hanya menganggukkan kepala dan menyerah pada tahana. Tanpa ia sadari, itu adalah awal mula perjalanan panjang menghadapi hal-hal serupa.
Ketika akan membeli rumah sederhana secara kontan, istrinya bilang, “Apa kata tetangga kalau tahu kau pegawai tambang tapi berumah kecil dengan subsidi pemerintah, Bang?” Maka, ia pun mencicil sebuah rumah dengan tipe tujuh dua dan luas tanah yang mumpuni.
Begitu juga ketika ia akan membeli mobil bekas dari tipe minibus, ibunya sendiri berbicara, “Kau itu jangan pelit dengan diri sendiri. Gajimu sebagai pegawai tambang kan besar. Kok beli minibus bekas. Ya paling nggak beli sedan baru lah.” Jadilah ia menambah jumlah yang harus dibayarkan sebagai cicilan setiap bulan.
Dan ada begitu banyak hal lain yang sejenis itu. Hidup ternyata lebih rumit ketimbang yang pernah ia sangka. Parahnya, Anwar yakin perihal putri kecilnya yang akan sekolah itu juga akan menuju muara yang tak beda jauh. Sekolah tak boleh di tempat biasa. Baju tak sepantasnya menggunakan yang standar. Semua harus di atas rata-rata sebab ia bekerja di tambang batu bara yang terkenal mengalirkan begitu banyak cuan.
Di momen-momen tertentu Anwar berharap serta membayangkan kedamaian hati yang mungkin bisa didapatkan oleh orang-orang yang tak memiliki begitu banyak gana. Tentu tidak akan ada tuntutan yang begitu banyak menyertai. Begitu pikirnya hingga suatu hari ia menyaksikannya sendiri sebuah pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja di sebuah perempatan jalan. Tidak istimewa. Tetapi tampil di hadapannya di waktu ia sedang rapuh-rapuhnya.
Pagi seharusnya tidak memberikan panas menyengat, namun kota kecil itu memang seperti selalu dipeluk udara yang membara sejak tambang-tambang semakin merajalela. Di dekat tiang lampu merah, seorang ibu paro baya menenteng karung goni. Memulung sampah-sampah di sepanjang jalan. Di punggungnya, seorang anak kecil sekitar lima tahun tertidur pulas. Polos. Tenteram. Seolah tak terganggu pada apa pun. Wajah pulas itu mau tidak mau melemparkan Anwar pada ingatan tentang putrinya sendiri.
Dadanya sesak. Anakku tak boleh berakhir seperti itu, batinnya. Sungguh tak boleh.
*****
“Tapi, ayah tak bisa berbuat apa-apa. Nanti kalau kau sudah besar, kau yang harus memperbaiki kebobrokan ini.”
Begitu kata ayahnya. Waktu itu, Anwar belum terlalu mengerti. Masih pakai putih biru ketika menuntut ilmu. Ayahnya sendiri tak sempat menjelaskan hingga ia paham betul karena keburu kalah melawan penyakit paru-paru.
Saat sudah mulai kuliah dan bertanya pada ibu, ia hanya mendapat jawaban bahwa untuk mewujudkan yang diinginkan sang ayah ia harus belajar sungguh-sungguh. Juga harus bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari sang ayah. Jika tidak, wasiat itu akan jadi kalimat yang sia-sia.
Mengingat betapa batuk tak pernah benar-benar pergi dari ayahnya bahkan hingga saat kematian. Mengingat semua rasa sakit dan penderitaan yang harus ditanggung selama bertahun-tahun. Anwar benar-benar serius dengan niatnya. Ia berharap nanti sang ayah di alam sana bisa tertidur dengan pulas tanpa dibangun paksa oleh batuk yang menyiksa.
Mungkin karena memang sejak awal Anwar bukan anak yang bodoh. Mungkin juga karena doa ibunya yang tidak main-main. Mungkin juga karena ia dikenal sebagai anak salah satu orang yang pernah bekerja di perusahaan itu. Mungkin juga gabungan dari beberapa kemungkinan itu sekaligus, Anwar berhasil diterima di perusahaan tambang sasaran. Dengan jabatan yang lebih tinggi ketimbang jabatan ayahnya dulu.
Tidak perlu waktu lama untuk memahami apa yang pernah disampaikan sang ayah semasa hidupnya. Anwar segera tahu apa saja alat-alat yang tidak ada itu. Tapi, di antara semuanya, ia fokus pada ketiadaan penyaring udara. Hal yang paling mungkin memberikan sumbangan tak ternilai pada sakit paru-paru yang diderita ayahnya.
Dengan mata tetap menghadap layar, Anwar teringat dulu ayahnya bukanlah satu-satunya orang yang menderita penyakit paru-paru. Di kompleks tempatnya tinggal setidaknya ada tiga orang. Satu di antaranya anak kecil. Di kompleks sebelah juga ada empat. Gejala yang sama. Batuk yang sama. Derita yang sama.
Memang sebagian besar pegawai tambang tinggal tak jauh dari lokasi tambang itu sendiri. Di sebuah kompleks yang telah disediakan. Kompleks yang juga berdekatan dengan perumahan-perumahan lain. Perumahan-perumahan yang berbagi panas yang sering kali membuatnya berpikir bahwa di tempat itu pernah mendarat sedikit percikan api neraka.
Anwar terpekur. Layar masih menyala. Laporan belum bisa ia selesaikan meskipun kesimpulan sudah ada. Ia terombang-ambing dalam bimbang. Masa depan orang banyak dipertaruhkan. Sialan, batinnya.
Saat itu tubuhnya memang ada di kantor, namun pikiran Anwar kembali terlempar ke perempatan. Ia tahu mungkin dua anak beranak itu bukanlah ibu dan anak. Mungkin mereka hanyalah bagian dari bisnis yang dijalankan orang-orang demi mengais rasa iba orang lain. Tapi ia juga sadar, sangat mungkin dua orang itu tidak punya pilihan lain. Sistem yang membuat mereka ada di posisi itu.
Di kantornya, Anwar tahu bahwa ia ada di lingkaran yang seharusnya bisa mengendalikan sistem. Setidaknya laporan yang ia buat bisa berdampak serius pada sistem yang selama ini telah mapan dan tak terbantahkan. Ia telah berjalan begitu jauh agar apa yang bobrok menurut ayah bisa ia perbaiki dari dalam. Kini ia ada di posisi yang bisa didengarkan.
Dengan menghela napas panjang, matanya kembali terbuka. Tangannya mengetik. Keputusan hari itu benar-benar pelik dan akhir laporan berbunyi: Penyaring udara tidak diperlukan.
*****
Udara di sana lebih panas daripada tempat-tempat lain, Anwar tahu. Awan sama putih, langit sama biru, tapi udara lebih berat ketimbang tempat lain, itu juga Anwar tahu. Sebab, ia tahu ada serbuk-serbuk hitam halus yang mengambang di sana. Serbuk-serbuk yang seharusnya dapat disaring. Anwar tahu itu.
Yang tidak ia tahu adalah apa yang harus dilakukannya saat putri semata wayangnya mulai terbatuk-batuk. Tidak lagi dapat tidur dengan pulas. Damai. Tenteram. Batuk yang sama dengan yang merongrong ayahnya dulu. Batuk yang juga terus mendatangi entah berapa lagi orang yang tinggal di dekat tempatnya kerja.
Di tengah ketidaktahuannya itu, Anwar melihat awan-awan putih di atas sana seperti menghitam. Lalu tersenyum mengerikan. Lalu melemparkan kutuk padanya. Suara-suara mendengung di kepala.
Masak iya anak pegawai tambang cuma dapat pengobatan seadanya?
Apa kata tetangga kalau berobat batuk saja tidak bisa?
Jangan terlalu pelit dengan diri sendiri. Anak batuk-batuk begitu, masak gak bisa beli obatnya?
Awan-awan di sana semakin hitam. Pekat. Udara semakin panas. Anwar merasa keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya.
Lelaki tersebut teringat ucapan atasannya sesaat sebelum keputusan dibuat, “Kalau kau melanjutkan tradisi, kau bagian dari kami. Kalau laporanmu tak sesuai harapan kami, kau akan terpaksa kami keluarkan. Silakan pilih.”
Senyum atasannya terasa begitu penuh ancaman. Ingatannya kembali melayang pada anak beranak di perempatan. Mereka tak punya pilihan. Betulkah?
Uhuk! Uhuk! (*)
Posting Komentar untuk "Kelabu di Kepala | Cerpen Rizki Turama"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar