Iklan Atas

Blogger Jateng

Rumah Simalakama | Cerpen M Rosyid HW



“PULANGLAH ke rumah Akung. Kuda-kuda telah terpasang. Genting-genting sedang dinaikkan.”

Pagiku rusak oleh pesan pendek dari Paman. Tak ada lagi gelegak selera pada kopi hangat di meja. Tak ada yang menarik dari koran minggu yang terserak. Dada tiba-tiba sesak. Kebak dengan udara yang mendesak-desak. Tetes demi tetes menyeruak dari bola mata dan membasahi tulang tengkorak yang menyembul di pipi. Sudah tidak saatnya Akung membangun rumah. Bukan waktunya. Tidak tepat masanya.

Aku tak mengerti, kenapa Akung tetap maju bergerak. Ia bahkan tak mampu lagi merangkak. Aku tak paham, mengapa ia tak sudi mundur sejenak. Bukankah seringkali aku menolak? Tidakkah berkali-kali aku mengatakan tidak?

“Sejak dulu, Bapak memang keras kepala,” kata Paman.

“Jika punya keinginan, Akungmu tidak akan pernah mundur,” tegas Bibi.

Apakah Akung ingin menunjukkan bahwa ia adalah karang yang tak dapat roboh oleh apa pun? Ataukah ia hendak menjadi sungai yang tak henti mengalirkan kasih? Mungkinkah ia serupa lilin yang terang, namun membakar tubuhnya sendiri?

Tekadnya yang sekeras baja mewujud dalam kata-kata sejak aku masih balita. Masih jelas terngiang-ngiang di kepalaku, kata-kata yang selalu ia ucapkan kepadaku: rumah itu kelak akan kau tempati.

Rumah itu adalah rumah kosong dengan dinding mengelupas, bata telanjang yang retak, atap roboh serta jendela dan pintu yang bolong. Dapur dan kamar mandinya penuh reruntuhan. Bangunan mengerikan itu adalah rumah buyutku yang tidak terawat, karena ditinggal saudara Akung yang pindah ke Jakarta. Rumah itu tepat berdiri di samping rumah Akung. Saat kecil, aku selalu menutup korden rapat-rapat kamar rumah Akung dengan jendela yang menghadap rumah itu. Aku membayangkan hantu-hantu bergentayangan dan bercengkerama di sana. Terkadang, aku mendengar suara aneh dari balik korden, lalu secepat kilat aku bergelung di balik selimut dengan penuh gidik.

“Aku tidak mau tinggal di sana, Kung. Takut. Banyak hantunya,” jawabku saat itu.

Namun, sejak ibu meninggal akibat kanker dan ayah menikah lagi dengan wanita lain, aku semakin jarang mengunjungi Akung, kakekku. Aku kembali datang ke rumah Akung ketika menginjak dewasa dan telah mampu bepergian sendiri. Setidak-tidaknya, tiga bulan sekali. Liburan semester adalah saat-saat yang tepat. Mangga di depan rumah Akung sedang lebat-lebatnya dan jambu-jambu di samping rumahnya berbuah merah merona. Di sungai belakang rumahnya, aku dapat memancing ikan-ikan dan berburu udang-udang.

“Rumah itu kelak akan kau tempati.” Akung mengatakannya pada suatu sore saat aku datang bertandang. Mengenakan sarung dan kaus putih, ia menyapu dedaunan pohon mangga.

“Belum mikir ke sana, Kung. Skripsi saja belum selesai,” jawabku sambil mengamati gerak-geriknya. Wajahnya semakin kusut keriput dengan garis-garis tua yang penuh.

“Ya, nanti kalau sudah bekerja dan menikah, kamu tinggal di sana. Itu genting-genting telah datang,” bujuknya.

“Kelak, Rio akan bangun sendiri, Kung. Belum tahu juga nanti setelah lulus mau ke mana,” jawabku.

“Sawah masih ditanami padi, Kung?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“Masih. Nanti kalau lulus kuliah, jadi pegawai saja. Jangan jadi petani. Semua serba mahal. Bibitnya mahal. Pupuknya mahal. Tenaga buruhnya juga mahal. Semakin sedikit orang ke sawah. Hanya orang-orang tua seperti aku ini. Dulu, hasil sawah itu bisa buat uang sekolah ibu dan paman-pamanmu. Sekarang, balik modal saja amit-amit.”

Masalah sawah, sebenarnya paman-pamanku telah berusaha membujuk Akung agar berhenti ke sawah. Tak perlu bertani lagi karena anak-anaknya telah mapan. Fisik Akung telah banyak menurun, karena ia juga semakin berumur. Namun, ia menolak. “Tidak melakukan apa pun di rumah akan mengundang banyak penyakit,” jawabnya.

*****

Rumah itu kelak akan kau tempati. Kata-kata itu masih tertangkap telingaku. Aku mengunjungi Akung setelah pulang kerja dari pabrik. Gundukan kerikil tampak di halaman. Pasir-pasir menggunung di bawah pohon mangga. Sak-sak semen menumpuk di teras rumah. Aku tahu Akung menabung sangat lama dari hasil panen sawahnya yang tak seberapa demi membangun rumah ini. Setiap selepas panen, ia membeli material bangunan sedikit demi sedikit. Karena setiap kali aku datang berkunjung, pasti terdapat bahan-bahan baru seperti genting, bata, pasir, besi, dan balok kayu. Kini, semuanya telah lengkap tersedia.

Kini, rumah hantu itu telah roboh seutuhnya, berganti dengan batu bata yang telah disusun setinggi pinggang orang dewasa.

“Lihat, rumahmu sudah dibangun. Kelak, kau akan tinggal di sana,” Akung menyambutku dari dalam rumah.

Aku hanya mengulum senyum. Aku tidak tahu harus bagaimana menimpali kalimatnya. Lebih tepatnya, aku sedang mencari kata yang paling tepat untuk kusampaikan. Kutimbang-timbang apakah kalimatku akan melukai hatinya atau tidak. Banyak alasan untuk menolak rumah yang dibangun Akung. Rumah itu terlampau jauh jaraknya dengan tempatku bekerja. Aku berencana untuk membeli rumah di perumahan yang lebih dekat dengan pabrik. Meskipun sekarang aku tinggal di kos, tidak lama lagi, tabunganku pasti cukup untuk membeli rumah. Rumah yang sedang dibangun Akung pun tampak jadul dan kuno. Sementara aku, seperti lazimnya anak muda sekarang, lebih memilih rumah modern minimalis.

Di sisi lain, aku juga tidak ingin merawat buah simalakama yang tumbuh di hatiku. Tidak ada satu pun cucu Akung yang dibangunkan rumah olehnya kecuali aku. Ini tidak adil. Aku tahu tanah tempat berdirinya rumah itu adalah warisan ibuku, tetapi tidak seharusnya Akung membangunkan rumah untukku. Jika rumah itu telah berdiri, bagaimana nanti aku seharusnya berbicara dengan paman-pamanku? Bagaimana kelak aku membalas budi baik Akung? Semakin tinggi, bata-bata rumah itu disusun, bata-bata rasa bersalahku juga semakin meninggi.

“Rio nanti akan beli rumah yang lebih dekat dengan pabrik, Kung,” kataku dengan hati-hati. Aku tidak sampai hati untuk mengatakannya. Tetapi, lebih baik aku menguatkan diri, karena banyak masalah timbul akibat ketidakberanian untuk mengatakan “tidak”.

Sontak, wajah Akung berubah layu. Tatapan matanya menerawang ke depan. Entah apa yang ia pikirkan.

“Rumah ini akan kubangun hingga rampung,” ungkapnya.

*****

Akung tidak juga berhenti, meskipun aku telah menolak. Ia tidak dapat dihentikan, kecuali tubuhnya sendiri yang memilih berhenti. Pada suatu siang, ia ditemukan terduduk tak berdaya di halaman. Hanya kedua bibirnya yang dapat berteriak. Separuh badannya tak dapat bergerak. Kaki kanannya lumpuh. Tangan kanannya mati rasa. Aku mendengar bahwa Akung tak dapat berjalan siang itu, karena pada pagi hari ia mengangkat balok-balok kayu yang diperlukan untuk kuda-kuda rumah. Brak! Palu godam rasa bersalah meretakkan jantungku. Akibat membangun rumah, Akung diserang stroke. Ia pasti lelah karena banyak berpikir. Terlalu banyak pikiran tidak baik bagi orang tua.

Selama tiga bulan, Akung dirawat secara intensif: rutin kontrol ke dokter, minum obat-obatan dan terapi tiga kali seminggu. Namun, belum ada kabar, ia akan membaik. Pembangunan rumah berhenti, aku sedikit lega. Tetapi, pohon simalakama yang menjalar dalam diriku tak pernah pergi. Ia bertumbuh, semakin lebat.

“Aku mampu memiliki rumah sendiri, tanpa dibangunkan Akung,” laporku pada Paman demi mengusir rasa bersalahku.

“Ya aku tahu,” jawabnya.

“Aku merasa bersalah. Pembangunan rumah membuat Akung lumpuh.”

“Ini bukan kesalahanmu. Bapak kalau sudah punya keinginan, memang tidak bisa diputus di tengah jalan. Dari dulu, kita sudah minta Bapak untuk berhenti ke sawah, tapi tetap ngeyel. Sekarang juga malah bangun rumah. Kita sudah memintanya untuk tidak diteruskan. Sudah berkali-kali diberi tahu, tetap tidak bisa.”

“Aku minta maaf.”

“Tidak perlu minta maaf. Ini bukan kesalahanmu. Kita doakan saja, Bapak cepat sembuh.”

*****

Akung tak mampu lagi bergerak. Hanya tergeletak di atas kasur. Kaki-kakinya tak mampu lagi menapak. Menuangkan sesendok nasi ke mulutnya sendiri, ia tak sanggup. Tetapi, Akung masih memiliki kehendak. Dari atas kasur, ia panggil tukang-tukang. Dari balik jendela, ia amati proses pembangunan hari demi hari. Bata semakin tinggi. Kuda-kuda telah naik. Pesan pendek datang pada Minggu pagi. Rumah hampir jadi.

Aku semakin tenggelam dalam kebimbangan dan teringat kata-kata Paman. “Bapak membangun rumah memang demi kamu, cucunya, tetapi juga demi dirinya sendiri. Rumah itu pengobat luka karena belum sempat membangunkan rumah ibumu. Bapak seperti dikejar utang. Rumah itu, usahanya menebus khilaf masa lalu. Rumah itu, rumah damai bagi hatinya.”

“Rumah itu kelak akan kau tempati,” kata Akung sebelum kelopak matanya tertutup dan tak mengatup lagi.

Aku hanya tertunduk. Uang muka sepetak rumah telah kubayarkan minggu lalu.(*)

Posting Komentar untuk "Rumah Simalakama | Cerpen M Rosyid HW"