Contoh Drama Orang Malam karya Soni Farid Maulana - Siapakah penyair Soni Farid Maulana? Soni merupakan sastrawan yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. Beliau menempuh SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahirannya. Pada tahun 1985, Soni menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008).
Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).
Berikut salah satu karya kreatif dari penyair Soni Farid Maulana yang bisa Sobat simak.
DIAM-DIAM IA MENATAP WAJAH PEREMPUAN ITU DENGAN PANDANGAN YANG TAJAM. DESIR ANGIN KEMBALI TERDENGAR, JUGA TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL ORANG.
Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008).
Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).
Berikut salah satu karya kreatif dari penyair Soni Farid Maulana yang bisa Sobat simak.
ORANG MALAM
Karya: Soni Farid Maulana
CAHAYA
LAMPU REMANG, KETIKA MALAM TIBA DAN HUJAN BARU SAJA REDA. PADA SEBUAH TAMAN
BERDIRI LELAKI SETENGAH BAYA DEKAT SEBUAH KAYU YANG HIJAU OLEH LELUMUTAN.
SESEKALI TERDENGAR DESAU ANGIN YANG AMAT KENCANG. DAN SESEKALI MEMBETULKAN
MANTEL YANG DIPAKAINYA, SEAKAN-AKAN MENGUSIR HAWA DINGIN.
KIMUNG :
750 tahun aku menanti disini. Malam selalu
bersambung malam, dingin dan sepi bagai sebutir batu di dasar kali.
HENING.
SUARA ANGIN DAN DEDAUNAN YANG GUGUR KEMBALI MENGUSIK PENDENGARAN. SESEKALI
MENGALIHKAN PANDANGANNYA KE ARAH YANG GELAP, SEAKAN-AKAN IA SEDANG MENANTI
SESEORANG YANG KELAK DATANG PADANYA MALAM ITU.
KIMUNG :
Suara itu, suara itu ….. (SEPERTI LANGKAH KAKI YANG MENGINJAK DEDAUNAN
YANG BERGUGURAN).
Jika kau yang datang, aku sambut kau dengan
maut ku cempaka.
Kekasih, mengapa jarak dan bahasa
memisahkan kita?! Mengapa malam selalu berselimut kabut duka cita?! Mengapa tajam
pisau selalu menghunus ke dada, setelah dendam dan amarah menyemak bagai
pikiran gelap?!
HENING.
SESEKALI TERDENGAR LANGKAH KAKI YANG MENDEKAT. DARI ARAH YANG GELAP DATANG
SEORANG PEREMPUAN YANG JUGA SETENGAH BAYA BERAMBUT PANJANG. SEPARUH WAJAHNYA
TERKENA CAHAYA LAMPU YANG ADA DI TAMAN ITU. IA TIDAK MENYADARI BAWA SEGALA
SESUATU YANG TENGAH IA LAKUKAN TERNYATA DIPERHATIKAN OLEH SEORANG PEREMPUAN,
YANG JUGA SETENGAH BAYA YANG HENDAK DATANG KE
TAMAN ITU.
KIMUNG :
O, malam yang mengental oleh luka. Kini aku
ingat semua kejadian itu. Pada suatu tempat yang kulupa, aku bertemu dengan
dirinya.
Saat itu, sehabis kerusuhan, pada sebuah
jalan yang sarat dengan pecahan kaca aku melihat pelipisnya berdarah, dihajar
sebutir batu. Sejak itu, pertemuan demi pertemuan beranak-pinak.
Tapi perpisahan mengapa harus terjadi?! O
malam yang dingin bagai uap es yang mengepul dalam kulkas, O bintang jatuh yang
berkilauan dilangit jauh, nyala api yang menghanguskan perkampungan kumuh, O
kau yang timbul tenggelam dalam ingatan, mengapa hidup harus berlembah dan
berjurang kata-kata?!
DIRAH :
DIRAH :
Tidakkah kau bosan berkata demikian?!
Betapa sering aku mendengar kau berkata-kata seperti itu. Seakan-akan tidak ada
lagi yang pantas kau kerjakan. Alangkah cengengnya engkau seperti orang yang
baru putus cinta.
KIMUNG :
Kau siapa?! Rasanya baru pertama kali aku
didatangi oleh seorang wanita. Biasanya pada malam-malam seperti ini hanya
bangku-bangku taman yang bisu menemaniku dengan seluruh kesepian dan kesunyian
alam raya.
DIRAH :
Aku bukan siapa-siapa. Boleh jadi aku
pikiran buruk yang datang dari dasar kegelapan. Boleh jadi pula, aku bukan
siapa-siapa bagimu.
KIMUNG :
Apa urusanmu datang kemari?! Apakah disini,
ditempat ini, ada sesuatu yang menarik perhatianmu?!
DIRAH :
Aku datang ke sini untuk melepas lelah.
Sungguh tak ada sesuatu apa pun yang menarik ditempat ini, termasuk dirimu.
KIMUNG :
Memang aku tertarik padamu?! O, jangan
mimpi. Ah, ah, ah. Aku tahu kini, kau pasti wanita kesepian, bukan?! Sudahlah,
siapa pun kau, ada baiknya kau mendekat ke mari. Kau tidak akan marah bukan,
jika aku bertanya padamu, apa yang menyebabkan engkau malam-malam seperti ini
datang ketempat ini sendirian?! Apakah suamimu tidak akan mencarimu?! Aku tahu
jawabannya, kau pasti melarikan diri karena suamimu kawin lagi dengan orang
lain?!
DIRAH :
Buruk betul prasangkamu itu. Punya suami
atau tidak, itu bukan urusanmu. Ini taman punyaku. Sering pada malam-malam
seperti ini, aku duduk dibangku yang ini.
Disini, ditempat yang kau duduki ini, aku
teringat masa laluku, akan api yang menghanguskan perkampungan kumuh.
Kau tahu, gedung-gedung megah itu berdiri
diatas kuburan?! Dalam danau buatan yang indah itu, bila aku menyelam ke
dasarnya segera kau dapatkan bangkai ribuan rumah kumuh seluas 4 desa.
Aku kesini bukan karena cengeng oleh masa
lalu yang muram. Aku ke sini teringat oleh sebuah peristiwa kelam yang tidak
bisa aku hapuskan begitu saja dari dasar ingatanku.
KIMUNG :
Peristiwa kelam?! Tak ku sangka seberat itu
berton-ton nasib hitam menimpa pundakmu. Aku sering datang ke taman ini, tak
pernah sekali pun aku bertemu denganmu. Apa engkau sedang tidak
bersandiwara?! Jangan-jangan kau intel
yang gagal?!
DIRAH :
Intel?! Potonganku kaya intel?! Apa
urusannya dengan dirimu?! Mengapa pula aku harus mengawasimu?! Tidak, tidak.
Tidak sedikit pun dari pancaran wajahmu aku lihat engkau sebagai orang yang
berbahaya. Setidaknya, engkau tidak akan membahayakan diriku. Tulang-belulangmu
sudah rapuh. Sekali tendang pastilah rubuh.
Sudahlah. Seandainya kita punya pengalaman
yang sama, duka yang sama. Maukah engkau bercerita padaku pengalaman buruk
macam apa yang kau alami selama ini?! Adakah engkau dikejar orang sekampung
karena menodai gadis orang?!
KIMUNG :
Memperkosa gadis orang orang?! Tidak, tidak
seburuk yang kau sangka. Aku justru korban pemerkosaan. Dengarkan aku bicara.
Negeri ini telah membuat orang-orang kehilangan akal sehatnya. Tanahku telah dirampas oleh
orang-orang yang berhati babi hutan. Ayah dan Ibuku mati dalam peristiwa
kebakaran. Kekasihku hilang entah ke mana, setelah orang-orang dari kerajaan kelam
itu mengejar-ngejarnya dan boleh jadi telah memperkosanya.
Kekasihku, dituduh sebagai sumber
malapetaka bagi negeri ini karena pikirannya yang kritis terhadap situasi
pemerintahan yang serba korupsi. Pikirannya yang kejam itu, sangat menakutkan
para penguasa di negeri ini.
Ya, aku ingat pagi itu, Ibunya berkata,
“Sejumlah orang tak dikenal mengambilnya secara paksa.” Setelah itu, tak ada
kabar apapun tentang dirinya.
Setelah itulah aku tiada hentinya mencari
dan mencari. Tak ada satu kabar pun yang bisa aku dapatkan dengan pasti dimana
kini kekasihku berada. O bayang-bayang peradaban yang gelap dan hitam.
Kau tahu ketika dia ditangkap, Ibunya
berkata, “Kalian hanya berani menangkap seorang perempuan yang menginginkan
negaranya hancur berantakan karena para penguasanya tidak lagi memperhatikan
nasib rakyatnya
sendiri. Kalian benar-benar tidak tahu malu. Lihat, para pencuri kelas
tinggi, yang selalu berkata atas nama rakyat itu kalian biarkan bebas
berkeliaran begitu saja. O, negeri apakah ini, kecoa dan tikus busuk hanya
dialamatkan pada orang-orang yang berpikiran kritis, yang tidak menginginkan kelaparan
dan kemiskinan yang terjadi di hampir seluruh pelosok negeri ini.”
Sungguh, aku benar-benar terpesona
mendengar seluruh apa yang dikatakannya itu.
Ibunya bangga dengan sikap anaknya yang
tegas. Ia ditangkap bukan karena sesuatu hal yang memalukan. Aku tentu saja
semakin mencintainya, semakin aku tergila-gila padanya hingga ratusan tahun
sudah aku terus mencarinya. Aku yakin, ia belum mati.
HENING.
LELAKI ITU SEPERTI MENGINGAT-INGAT
SESUATU. SESEKALI TERDENGAR TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL ORANG.
O, ya, pada suatu hari, sepucuk surat tanpa alamat aku
dapatkan di meja kerjaku. Sebuah puisi tertera di atasnya. Apakah kau mau
mendengarkan bait-bait puisi yang ditulisnya itu?!
DIRAH :
Puisi?! Apakah kekasihmu itu seorang
penyair?! Baiklah, aku ingin mendengarnya.
KIMUNG :
HENING.
HANYA TARIKAN NAFAS DARI LELAKI SETENGAH BAYA ITU YANG TERDENGAR SAAT ITU. LALU
DESAU ANGIN DIDEDAUNAN.
Kelak jiwaku yang dalam
Tak punya lagi bayangan jika berjalan
Di bawah matahari atau terang lampu ;
Jiwaku adalah sinar itu sendiri.
Pada baris dan bait puisi yang kau tulis
Akan kau kenal dengan baik suaraku ;
Bagaimana aku menembang dan menimbang
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian.
Jadi larik-larik yang turun sore hari
Dengan amat lembutnya. Larik itu diam-diam
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu.
Padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian : tanpa ragu
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela
KETIKA
PUISI TERSEBUT SELESAI DILANTUNKAN, PEREMPUAN SETENGAH BAYA TIDAK BERANJAK DARI
TEMPAT DUDUKNYA. IA SEAKAN-AKAN TERINGAT DENGAN APA YANG PERNAH DITULISINYA
ITU. LALU DITATAPNYA DALAM-DALAM WAJAH LELAKI YANG ADA DIHADAPANNYA ITU.
SAYUP-SAYUP LOLONGAN ANJING DAN BUNYI TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL KEMBALI
TERDENGAR.
KIMUNG :
Apa yang terjadi pada dirimu?! Apakah puisi
yang barusan kubaca itu mengingatkan engkau pada masa silammu yang kelam?!
DIRAH :
Ya, ingat pada suatu hari sehabis hujan,
ketika kata-kata cinta diucapkannya dengan kata-kata yang tersekat di dada.
KIMUNG :
Lalu setelah itu kuda-kuda terbang ke
langit. Dengan sayapnya yang indah membawa kita terbang ke bintang-bintang
terjauh. Desau angin di daun-daun dan debur ombak dilautan adalah alunan musik
yang tak pernah kita duga menjelma simfoni yang indah.
DIRAH :
Ya, betapa indahnya simfoni itu. Lalu
kesepian juga kesunyian menemukan haknya yang paling hakiki.
Aku ingat, aku ingat segalanya kini, akan
kata-kata itu, bisik-bisik lembut itu sebelum ajal yang kelam itu melimpahi
rohku dengan anggur derita :
Matamu yang malam, tanpa setitik bintang ;
Datang lagi padaku. Bunga bakung
Serupa kabung bermekaran seluas hatiku.
Desau dedaunan
Menjelma bayang-bayang kelam
Dimainkan angin musim penghujan
Arah mana yang kelak kujelang
Jika bintang berkilau dalam matamu?!
Yang terang, malam dalam alir darahku ;
Menimbang sepi batu-batu.
HENING.
DIAM SESAAT. LELAKI SETENGAH BAYA TERPERANJAT SEAKAN-AKAN IA MENGINGAT BETUL
DENGAN LARIK-LARIK PUISI YANG PERNAH DITULISNYA, YANG DIBERIKAN PADA
KEKASIHNYA.
DIAM-DIAM IA MENATAP WAJAH PEREMPUAN ITU DENGAN PANDANGAN YANG TAJAM. DESIR ANGIN KEMBALI TERDENGAR, JUGA TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL ORANG.
DIRAH :
Apa yang membuatmu terdiam?! Adakah engkau
masuk angin?!
KIMUNG :
Puisi yang kau bacakan tadi benar-benar
indah, membuat ingatanku lompat ke masa silam. Kalau boleh tahu kau datang dari
dunia mana?!
DIRAH
:
Aku datang dari dasar kalbumu yang sunyi.
Engkau sendiri datang dari dunia mana?!
KIMUNG :
Aku datang dari dasar hatimu yang lembab
oleh air mata. O, wajah yang keriput. O jejak ajal yang bengis, yang
menggoreskan penanya dipelupuk matamu. O rambut yang memutuih oleh pikiran
kusut.
DIRAH :
Engkau itu bayang-bayang yang hadir dalam
mimpi-mimpiku?!
KIMUNG :
Engkaukah itu harapan yang timbul tenggelam
di kalbuku?!
DIRAH :
Ratusan tahun aku mendekam dalam penjara.
Hangat matahari dan bayang-bayangmu dirimu adalah lintasan pikiran yang kerap datang
menerjang ketika malam turun dengan udara yang dingin.
Kau tahu, laki-laki yang menyeretku ke
dalam penjara itu, wajahnya lembut bagai bayi. Tangannya begitu halus dan
bersih, seakan-akan terbebas dari dosa. Tapi kata-katanya bagai duri yang
menusuk ini hati.
Hai wanita sundal, katanya saat itu. Kau
pikir negeri ini lahir dari rahim nenek-moyangmu, hah?! Aku tidak suka dengan
ulahmu yang memata-matai kami, mengantai-ngantai kami sebagai orang yang korup!
Kau benar-benar wanita sialan, dengan sikapmu yang pahlawan itu benar-benar
membikin bos kami marah besar.
Kehormatannya merasa terinjak-injak olehmu.
Kau tahu, bukan kata-katanya saja yang menyebabkan jiwa dan diriku lumpuh
seketika. Kaki tangannya juga berbicara. Di tusuknya aku dengan paku yang panas.
Aaaaaaaaa, rasa sakit itu masih membekas
dalam ingatanku. Setelah itu diseretnya aku ke dalam penjara yang gelap dan
dingin, tanpa cahaya matahari. Kita dewasa dan besar dalam penjara. Begitu
banyak penjara nyatanya yang harus kita hadapi. Sehabis kehidupan ini, begitu
banyak daftar pertanyaan yang harus kita jawab.
KIMUNG :
Ya, kita sama-sama tua dan besar dalam
penjara.
DIRAH :
Ya, kita sama-sama tua dan besar dalam
penjara.
KIMUNG DAN DIRAH :
KEDUANYA
SALING MENDEKAT.
Kita sama-sama tua dan besar dalam penjara.
Kita lahir sebagai dongengan. O, maut yang bengis, jaring kelam apa lagi yang
kau akan jeratkan pada tubuh yang tua ini?! Adakah kelak setangkai mawar
bermekaran ditubuh kami?!