Cerpen Islami Bertema Pendidikan Keluarga - Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak boleh menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah.
Rumah dan orang tua merupakan lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya di rumahlah dimulai suatu proses pendidikan yang paling penting dimana orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Lingkungan keluarga bisa dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak terjadi didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Rumah dan orang tua merupakan lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya di rumahlah dimulai suatu proses pendidikan yang paling penting dimana orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Lingkungan keluarga bisa dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak terjadi didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Sungguh sangat dahsyat ya Sob fungsi keluarga bagi pembentukan mental dan karakter generasi penerus bangsa kita.
Di postingan ini Admin menyuguhkan pula sebuah Cerpen bertema Pendidikan Keluarga yang bisa Sobat analisa dan ambil manfaat yang terkandung didalamnya. Semoga bermanfaat...
Di postingan ini Admin menyuguhkan pula sebuah Cerpen bertema Pendidikan Keluarga yang bisa Sobat analisa dan ambil manfaat yang terkandung didalamnya. Semoga bermanfaat...
Oleh: Alifmuku
Anakku
yang paling kecil berumur empat tahun kurang dua bulan. Wajah dan kata polosnya
yang selalu hibur hari-hari sepi seorang ibu rumah tangga sepertiku akhir-akhir
ini mendadak berubah. Perkataan yang keluar dari mulut mungilnya menyiratkan kekhawatiranku
untuk sejenak memeriksakannya ke dokter spesialisasi anak.
Melati Purnamasari, itulah nama yang diberikan
suamiku pada anak pertamaku. Dua rangkai kata yang kami harap akan mengharumi
dan menerangi rumah kami bila kelak ia beranjak dewasa. Sebesar harapan kami
agar ia kelak juga menjadi panutan Ratma Anggraeni, adiknya.
Setelah beberapa kali di periksa,
baru di ketahui bahwasanya anakku itu mengidap penyimpangan delir.
Sebuah gejala penyakit kejiwaan yang di timbulkan oleh seringnya mata seorang
anak menatap dan menyerap gambar yang akhirnya mengimbas pada kondisi tingkah
laku keseharian untuk berhalusinasi dan membiarkan kelakuannya dibelokkan atau
diarahkan oleh apa yang timbul dalam khayalannya . Ya.., benda yang lumrah
dimiliki oleh sebuah rumah tangga, ternyata telah memberi pengaruh pada salah
satu anggota keluarga kami. Benda yang terletak diruang tengah dimana tempat
suami dan kedua anak perempuan kami biasa berkumpul, tiba-tiba menjadi benda
yang selama ini terlewatkan untuk dicermati dan diawasi ragam acaranya.
“Agaknya analisa dokter itu benar pak, acara yang selama
ini di konsumsi oleh anak kita merupakan tontonan yang kurang memberi manfaat.
Makin banyaknya tayangan kekerasan dan vulgarnya acara tarian dan film yang telah
dianggap lumrah oleh kita, nyata-nyatanya telah membuat kondisi kejiwaan dan
perilakunya semakin bertambah aneh.”
Suamiku Mas Anton hanya tersenyum.
Aku sedikit bisa menangkap arti dari senyumnya.
Lingkungan yang kami tinggali sekarang memang sering membuat aku selalu
berkeluh kesah pada mas Anton. Setidaknya, aduan tentang ketidakpedulian antar
penghuni komplek perumahan tipe 21 yang masih belum kami lunasi tunggakannya,
selalu memenuhi indra pendengarannya. Jarangnya tegur sapa dan minimnya komunikasi
antar penghuni senantiasa membuat hari-hariku sepi. Itu sangat berlawanan
sekali dengan situasi pedesaan dimana aku menghabiskan umur selama dua puluh
tahun sebelum aku diboyong Mas Anton untuk tinggal di perumahan ini semenjak
lima tahun yang lalu.
“Apalagi akhir-akhir ini banyak tarian-tarian yang
secara konsisten di tayangkan dua kali seminggu itu yang di tiru oleh anak
kita.”
Mas Anton berdehem pelan.
“Sabar Fatimah, redakan dulu amarahmu. Marahnya jangan
terlalu berapi-api, nanti cepet tua lho…”,
Sambari tersenyum Ia melanjutkan.
“Memang
ada benarnya juga perkataanmu barusan…, tapi belum tentu itu benar seratus
persen kan ?.., sebab mereka yang berkecimpung dalam dunia hiburan kita memang
memiliki latar belakang moral yang berbeda-beda. Namanya juga manusia,
merekapun kadang khilaf dengan apa yang mereka sajikan sebagai sarana untuk
kemaslahatan masyarakat.”
Ia meneguk teh pahit yang hampir dingin dan
melanjutkan.
“Akhlak
dan pengetahuan yang mereka miliki untuk menyikapi perubahan moralitas yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat
terkadang di kalahkan oleh kehendak untuk mengejar materi dan rating sehingga tak memperhitungkan
dampak yang di timbulkan oleh acara-acara yang mereka tayangkan.”
Dari
dulu mas Anton memang membuatku simpatik. Sikapnya yang kalem dan bila
menemukan persoalan yang serumit apapun
akan di bicarakan dengan kepala dingin memang sangat berlawanan dengan sifatku
yang keras kepala dan gampang naik darah. Bahkan terkadang perbedaan tersebut
seringkali menimbulkan percikan-percikan pertengkaran kecil. Tapi aku kemudian
mensyukurinya karena dengan perselisihan itulah akhirnya kami menghargai
perbedaan serta dapat memafhumi perbedaan tersebut sebagai celah-celah untuk
saling mengisi satu sama lain.
“Sudahlah Fatimah, sekarang sudah larut malam. Besok
saja kita omongin lagi.”
Malam makin beranjak pekat. Ingin rasanya kepekatan itu
menelan rasa khawatirku. Perasaaan lumrah seorang ibu yang was-was melihat
perubahan kejiwaan putrinya.
*******
Perkataan dan tingkah laku Melati makin mengkhawatirkan.
Dalam setiap jam ada saja ucapannya yang membuat aku menggelengkan kepala.
“Ma.. ma.., boleh ngga
dalam sholat yang kita lakukan sehali-hali
kita belgoyang kaya penali yang di TV itu?, tarian itu
ibadah juga kan ma ..?, sebab kalau udah besal
selain pengen jadi menteli, Noni
juga pengen bisa menali sepelti penyanyi itu”
Dari perkataannya yang masih cadel aku berpikir bahwa,
pada dasarnya setiap anak itu memiliki daya kritis yang subhanallah
luar biasa besarnya dan terkadang tak pernah terlintaspun dalam benak orang
dewasa untuk memikirkannya. Akan tetapi tatkala daya kritis tersebut sudah
dirasuki oleh hal buruk, maka akan menyebrang ke jalan yang salah-lah daya
kekritisan tersebut. Dan pikirku, orang tuanyalah yang kemudian bertugas untuk
meluruskan dan memberi pengertian pada buah hatinya tersebut.
Semula aku agak khawatir juga karena pertanyaan yang
sudah menjurus pada hal belum kumengerti sepenuhnya. Pengetahuan yang sempat
aku kecap hanya sampai di bangku menengah Atas. Tapi, alhamdulillah berkat banyaknya majalah-majalah Islam yang selalu di
belikan oleh Mas Anton dan kini memenuhi rak kayu di ruang tamu, telah sedikit
banyaknya menambah pengetahuan dan wawasanku tentang hal-hal yang berhubungan
dengan agama.
Anak dalam kamus hidupku adalah sosok jelmaan malaikat
kecil yang mampu memberi semangat dan gairah baru untuk menempuh pergantian
hari yang bagi orang tua seperti kami makin merasakan beratnya beban untuk
menempuh putaran waktu. Penghasilan mas Anton yang hanya mengandalkan motornya
untuk membawa penumpang menuju jalan pedesaan yang belum terjangkau angkutan
umum membuatku harus selalu mengencangkan ikat pinggang keluarga untuk
keperluan dapur dan jajan anak-anak kami yang kian hari kian membengkak.
Titel sarjana muda telah disandangnya selama
bertahun-tahun seakan percuma untuk mendapatkan posisi pekerjaan yang layak.
Walaupun ia sudah pernah mencoba untuk
melamar pekerjaan di instansi-instansi dan kantor-kantor yang membutuhkan
tenaga dan pikirannya. Tapi usahanya selalu menemui kegagalan bila ia
dibenturkan dengan tuntutan birokrasi yang harus memaksanya mengeluarkan uang
yang bagi orang-orang seperti kami sangat lumayan besar jumlahnya.
“Ma..ma.., jawab
dong !, boleh ngga’ sih ma ?.”
Suaranya segera
membuyarkan lamunanku. Dari binar mata yang sorotnya setajam mata bapaknya, aku
mencoba untuk memberi jawaban hanya sebatas yang telah kuketahui dari apa-apa
yang pernah kubaca.
“Anak pintar, shalat yang kita lakukan itu adalah cara
kita untuk berdoa dan mengadu sama pencipta kita, sedang tarian itu ngga ada sangkut pautnya dengan ibadah
sholat yang kita lakukan. Itu hanya buat hiburan Melati saja. Jadi, pas kita
mau sholat kita ngga boleh nari kaya penari yang di TV itu.”
Aku
sadar bahwa komunikasi yang paling sulit adalah berkomunikasi dengan anak
kecil. Dalam proses tersebut aku dituntut untuk memahami pikiran mereka dan
bertingkah laku layaknya mereka. Salahnya cara penyampaian dan pengucapan hanya
akan dianggap angin lalu bagi mereka. Kelembutan dan perhatianlah yang
menurutku berguna bagi perkembangan jiwa dan senantiasa ingin aku tanamkan
sebagai penyampaian yang baik bagi bidadari-bidadari kecilku.
Mas
Anton pun terkadang memberi masukan agar sebagai ibunya aku senantiasa menanamkan nilai-nilai ruhiah yang
kadarnya bisa diterima juga oleh anak-anak kami.
“Nanti
mama juga akan tahu bahwa bukan hanya pengetahuan populer saja yang dibutuhkan
oleh mereka. Sebab tatkala mereka dewasa dan dibekali oleh orang tuanya hanya
dengan pengetahuan tersebut, mereka nantinya akan tersesat dalam
hingar-bingarnya kerancuan nilai dalam masyarakat. Mereka akan buta untuk
melangkah dan pada akhirnya pegangan apapun akan mereka raih, walaupun pegangan itu nilai yang buruk sekalipun.”
Perkataan itulah yang terpatri dalam memori otakku.
Petuah suami yang akan selalu kudengarkan dan kucoba untuk dilakoni demi membesarkan buah hati kami.
Walaupun pada mulanya belum kupahami sepenuhnya arti dari perkataan tersebut,
dan baru aku ketahui makna perkataannya sekarang. Aku akhirnya sadar bahwa
tunas-tunas mudaku pun dapat dengan mudah layu sebelum aku sadar untuk segera
menyirami dan memupuknya hingga berubah menjadi bunga yang terindah.
*******
Dalam hitungan minggu kondisi kejiwaan Melati sudah
berangsur normal. Therapi dan anjuran
yang ditawarkan oleh Dokter Spesialis anak itu kami turuti dan laksanakan
dengan sebaik mungkin. Remote
televisi yang biasanya kami bebaskan sekarang berada dalam kontrolku. Sebab mas
Anton yang bekerja dari pagi sampai menjelang Isya’ rasanya tak bisa memantau
mereka. Penatnya badan yang ia rasakan sehabis pulang menjadikannya langsung
pulas tertidur sehabis sholat Isya’ bersama. Sedang anak-anak kami setelah
mengerjakan PR biasanya sangat susah disuruh untuk tidur.
Mereka hanya akan tidur setelah menyaksikan acara
kesayangan mereka. Dan itulah yang paling kutakutkan. Ragam acara yang mereka
sukai adalah acara yang sangat aku benci. Maka dengan iming-iming
dongeng-dongeng dari majalah anak-anak Islam, aku mengajak mereka untuk segera
pergi ke tempat tidur dan mendengarkan cerita-cerita yang aku bacakan. Dan
itulah resep terakhir yang kurasakan manjur. Mereka sejenak melupakan acara
kesukaannya dan akhirnya terlelap dalam pelukan hangat selimut malam. Tapi entah untuk berapa lama dongeng-dongeng
itu mampu menghilangkan sejenak acara kesenangan mereka dari memori otak
bidadari-bidadari kecilku?.
Al-Farisi, Cipadung 04