Oleh: Hasan Al Banna
Ujang Pelor! Sejak kanak tumbuh di jalanan. Keluar masuk penjara, makanannya. Sebutir peluru pernah menembus rahangnya, tapi nyawa serep menyelamatkannya. Riwayat luka tembak itu yang mengantarnya dijuluki Ujang Pelor, sampai akhirnya dinobatkan sebagai preman yang ditakuti sekaligus disegani.
Selang beberapa masa, Ujang Pelor menjelma The Godfather yang dikenal sebagai bandar judi togel—toto gelap—di kota itu. Ehem, sudahlah, tak usah digunjingkan mengapa pisau hukum, juga palu fatwa, tak pernah mempan menyetop bisnisnya. Hampir tak ada yang bernyali merecoki Ujang Pelor. Pun Baihaqi, serupa pemuka agama lainnya, memilih tak berurusan dengan Ujang Pelor. Tapi, apa urusan Ujang Pelor mencari Baihaqi?
Jalan pikiran Baihaqi buntu. Kumandang azan Magrib tak mengguitnya untuk bergegas bersuci, hingga mustahil menunaikan sembahyang jamaah di masjid kompleks yang tak jauh dari kediamannya.
“Magrib dulu Abi,” kata istrinya, Salmah, yang sudah bermukena, “Tadi Ujang Pelor berpesan, bakda Isya datang lagi.”
“Mmh….” Baihaqi yang dipanggil abi oleh istrinya kehilangan kesigapan untuk beribadah.
“Abi .…”
“Ya, Umi,” Baihaqi tersentak.
“Ayo jamaah!” desak Salmah. Baihaqi berupaya menawar kegalauan dengan tersenyum. Namun, kekhusyukan ibadahnya terus ditohok kegalauan.
“Abang harap Adinda mau,” derak suara Ujang Pelor seperti wujud intimidasi. Baihaqi menarik napas, hati-hati.
“Berapa pun Adinda minta, gampang.”
“Abang kok pilih aku?”
“Bah, itulah. Ustad Tajuddin tak bisa. Ustad Bambang juga. Lalu, ustad…, mmh .…” Ujang Pelor lama terhenti, “Hah, ustad yang dosen itu…. Alah, siapa pula namanya itu.…”
“Ustad Idrus,” salip Baihaqi.
“Ha, iya! Tapi, sibuk dia katanya.”
“Mmh.…” Baihaqi mengangguk-angguk. Ujang Pelor menyalakan rokok. Asapnya menggebu-gebu.
“Jadi, bisa?” cecar Ujang Pelor seusai mulutnya mengepulkan asap.
“Diminum dulu tehnya, Bang,” Baihaqi tengah mencari cara menampik Ujang Pelor. Seturut itu, dia juga sedang kewalahan mengejar alasan mengapa Ujang Pelor berubah drastis. Memang, sudah lama desas-desus beredar, katanya Ujang Pelor tak mengurusi bisnis judi lagi. Katanya lagi, Ujang Pelor kini mengelola restoran. Kabar lain berembus, dia sibuk mengurus lahan sawit. Namun, Baihaqi tak mau ambil pusing. Yang penting, bagaimana sedapat mungkin dia tak berurusan dengan Ujang Pelor.
“Abang mau berubah, Adinda. Maklum, sudah kepala lima. Gini-gini takut juga Abang masuk neraka, ah!” Ujang Pelor tertawa. Sementara, lawan bicaranya makin tak nyaman.
“Kasih aku waktu satu-dua hari untuk cari waktu yang pas, Bang.”
“Boleh, tapi jangan lama-lama, Adinda. Ya, tak bisa tiga-empat kali seminggu, dua kali seminggu cocoklah itu, heh!” ujar Ujang Pelor mantap, bagai sudah mendapat kata sepakat.
Ujang Pelor pamit, tapi tak serta-merta meringankan beban pikiran Baihaqi. Jujur, selain mewakafkan diri dalam ibadah, dia butuh dana menyambut kelahiran anak keduanya. Belum lagi anak sulungnya, Syifa, segera masuk TK. Tawaran Ujang Pelor bisa jadi solusi. Tapi, … ah, dia terjebak diskusi alot dengan diri sendiri, juga dengan istrinya.
Sebagai ustad muda, Baihaqi merasa perlu mengutip saran. Dia temui sejumlah sejawat dan para tuan guru. Jawaban yang dia terima seragam: demi kebaikan, abaikan! Alhasil, Baihaqi mengangguk untuk mengabaikan Ujang Pelor. Tapi, bernama apa abaian kalau toh dia pergi juga ke rumah Ujang Pelor?
“Terima kasih, Adinda!” pekik Ujang Pelor.
“Tapi, ada syaratnya, Bang.”
“Soal bayaran? Jangan khawatir.”
“Bukan itu, Bang.”
“Jadi?”
Baihaqi pun menyodorkan syarat dengan suara yang terseret. Ujang Pelor terperanjat. Dengan nada mengancam, Ujang Pelor menolak mentah-mentah.
“Kalau tak mau, tak apa. Abang carilah ustad lain.” Entah dari mana muasal keberanian Baihaqi hingga balik mengancam.
“Ustad aneh.…” gerutu Ujang Pelor.
“Preman aneh,” desis Baihaqi, pelan.
Ujang Pelor dilanda perangah! Apa-apaan ini? Meski geli dengan tampilannya sendiri; bersarung, berkoko putih dengan kopiah sempit di kepala, tapi Ujang Pelor limbung juga menyambut Baihaqi. Ya, Baihaqi muncul dengan celana jins dongker dan kaus ketat abu-abu. Tangan kanannya menjinjing tas dompet. Ei, kepala Baihaqi kehilangan peci! Lalu, kenapa pula setangkup janggut di dagunya tampak lebih ramping dan kelimis daripada biasanya?
“Gantian kita, Bang,” sergap Baihaqi menyerobot keterperangahan calon muridnya.
“Apa Abang salah pilih ustad?” Ujang Pelor bercanda kepada dirinya sendiri.
“Abang sudah siap?” todong Baihaqi. Sedang calon muridnya masih juga terperangah.
Sebenarnya, bukan Ujang Pelor saja yang disembelih keheranan. Salmah tak kalah uring-uringan. Bagaimana tidak? Tanpa disangka, Baihaqi menerima tawaran Ujang Pelor. Pakai persyaratan yang tak menguntungkan pula. Meski suaminya panjang lebar menjelaskan alasan, Salmah tetap berat hati. Lebih-lebih kala suaminya secara sepihak mundur sebagai penceramah di pengajian ibu-ibu, saban malam Kamis. Yang bikin Salmah tambah sewot, dia ketua perkumpulan pengajian itu.
Apa boleh buat. Baihaqi sudah bertekad akan ke rumah Ujang Pelor dua kali seminggu bakda Isya. Malam Senin Baihaqi tak punya jadwal. Maka, malam Kamis dia tetapkan untuk memenuhi kuota tekadnya. Keputusan itu bikin Salmah kesal, “Semua berantakan gara-gara Ujang Pelor!”
Namun, Baihaqi tetap teguh. Keteguhan macam apa hingga entah dengan alasan apa lagi, tiba-tiba dia berpenampilan necis saat berangkat ke rumah Ujang Pelor? Salmah hilang akal. Memang, suaminya tampak lebih tampan, tapi tidak lantas dia ikhlas suaminya memelorotkan ciri khas keustadan. Salmah protes, tapi senyum Baihaqi dan kado kecupan di dahi bikin dia luluh. Suaminya tak tercegah. Kalau ya, manalah mungkin Baihaqi berada di ruang tamu Ujang Pelor malam itu. Malam perdana dia memiliki murid baru, Ujang Pelor .…
Jins dongker dan kaus ketat abu-abu jadi seragam rutin Baihaqi. Malam Senin, malam Kamis. Malam Senin, malam Kamis. Baihaqi begitu sabar menjalani malam-malam membimbing Ujang Pelor mengaji. Hanya kesabaran yang menguatkan Baihaqi untuk melunakkan lidah muridnya mengeja huruf-huruf Quran. Meski kadang, dia mengumpat juga: mending mengajari anak kecil!
Selain itu, rasa sesal atas syarat yang dia bikin sendiri kerap pula menyerbu batinnya. Namun, astaghfirullah, dia harus menangkis penyesalan sambil terus merawat kesabaran. Kesabaran seperti apa lagi?
Entahlah, kalau saja menurutkan kesal hati, ingin dia tinggalkan Ujang Pelor. Bayangkan, sudahlah terbata setengah mati mengeja, eh, mulut Ujang Pelor kerap pula meletuskan sendawa. Yang bikin Baihaqi meradang, bau bir yang menyusul sendawa. Satu-dua kali pertemuan, Baihaqi masih menoleransinya. Tapi, pada entah pertemuan ke berapa, ia angsur juga teguran.
“Masih mabuk Abang, ya?”
“Banyak pun minum bir, tak kan mabuk Abang, Adinda.”
“Jadi, untuk apa Abang minum?”
“Haus.”
“Mmh.…”
“Mabuk itu haram kan, Adinda?”
“Ya!”
“Abang kan tak mabuk. Minum bir, iya.”
Baihaqi merasa dipermainkan. Wajahnya melepuh, tapi masih dia coba mengganjal amarah.
“Begini saja, Bang. Kalau Abang masih sendawa, aku berhenti!” geraham Baihaqi berderam. Ujang Pelor merasa tersudut.
“Tapi, kalau malam ini, tak mungkin sendawa bisa berhenti. Soalnya, tadi entah nyekek berapa botol,” jawab Ujang Pelor dengan kekeh yang sumir. Baihaqi mengurut dada, beristighfar. Sabar, sabar, anjurnya kepada diri sendiri. Pelajaran mengaji pun dilanjutkannya meski tak sepenuh hati.
Tapi, ancaman Baihaqi manjur. Pada malam-malam berikutnya, sendawa Ujang Pelor tak meletus lagi. Lidah Ujang Pelor memang tak kunjung serasi melafalkan huruf-huruf Quran, tapi paling tidak, sendawa tak lagi menyela. Kendati demikian, sesekali, bau mulut Ujang Pelor masih meniupkan uap bir. Tak apa, mengubah kebiasaan tak mudah, begitu bisikan—entah dari siapa—yang bersarang ke telinga Baihaqi. Tapi, ancaman baru dia maklumatkan: Kalau masih ada bau bir di mulut Abang, aku betul-betul berhenti. Alhamdulillah, beres! Pada pertemuan selanjutnya, mulut Ujang Pelor negatif dari bau minuman.
Namun, pernah suatu malam, selepas pelajaran, Baihaqi hampir kalap. Ya, kala dia hendak beranjak dari duduknya, kakinya memelantingkan sesuatu di bawah meja. Suara gelinding botol terdengar nyaring, disusul mekar aroma bir. Bahkan, sisa bir rupanya sudah simbah di kaki celana jins Baihaqi. Seketika rona marah membekap wajahnya.
“Ma…af, Adinda. Abang tak tahu itu bir siapa. Adinda tengok tadi kan , Abang tak sendawa lagi, mulut Abang pun tak bau bir….” Ujang Pelor mengiba sambil mengelap celana Baihaqi dengan tangan. Baihaqi mematung. Marah, ya! Serbasalah juga! Dia merasa tak patut membiarkan Ujang Pelor berlutut. Bukankah Ujang Pelor lebih pantas sebagai ayah ketimbang Abang? Maka Baihaqi batal kalap, meski mungkin, Ujang Pelor berbohong soal bir di bawah meja.
Begitulah. Ada saja peristiwa yang harus dihadapi Baihaqi sejak bersinggungan dengan Ujang Pelor. Dia pun harus tabah menanggungkan gunjingan. Para tetangga di kompleks sempat memedaskan telinganya. Dia digelar ustad mata duitan. Senada dengan tudingan sejawatnya sesama penceramah atau guru mengaji. Seperti pada sebuah malam di jenjang masjid, lepas Isya berjamaah, dia sempat merasa diinterogasi.
“Ana masih tak habis pikir, apa dasar Antum meladeni Ujang Pelor,” ujar Mara, rekannya semasa menimba ilmu di Mesir. “Masih banyak umat yang layak diislamkan, Bai,” tambah Mara.
“Iya,” timpal Bram, masih muda, tapi sudah hafiz Quran, “Kan tak enak kalau ada yang bilang ‘percuma tamatan Mesir, punya titel el-si’. Timbang lagi masak-masak, Saudaraku.”
Baihaqi tersenyum. Sebenarnya, kerongkongannya ingin memuntahkan banyak hal. Tapi, dia sedang tak selera membela diri. Tepatnya, malas berdebat.
“Oya, kemarin Pak Darwin, itu yang anggota dewan, butuh orang mengajari anaknya baca Quran. Nah, ambil itu, lepaskan Ujang Pelor,” kali ini Bram unjuk suara lagi.
“Ya, kalau soal imbalan, Ana kira Pak Darwin tak pelit, insya Allah,” songsong Mara.
“Tahu berapa Pak Darwin kasih harga, ha?” cecar Bram dengan mata berbinar, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Baihaqi, “Pukulan besar, Bai!” lonjak Bram, “Mmh… Ujang Pelor kasih berapa, hayo?”
“Iya, Ujang Pelor kasih berapa, Bai?” desak Mara.
“Berlipat ganda dari yang ditawarkan Pak Darwin,” jawab Baihaqi setengah berbisik. Kontan dua sejawatnya toleh-menoleh. Keheningan terasa melenggang leluasa. Lantas, Baihaqi buru-buru melafaz salam sebagai bukti pamit diri. Ini malam Kamis! Dia harus segera pulang, menukar pakaian, lantas ke rumah Ujang Pelor. Dia tak sudi Ujang Pelor menunggu lama. Dalam langkah setengah berlari, wajah Baihaqi bak kembang berseri.
Entahlah, baru kali ini Baihaqi merasa bahagia seusai berbohong.… (*)
Jalan pikiran Baihaqi buntu. Kumandang azan Magrib tak mengguitnya untuk bergegas bersuci, hingga mustahil menunaikan sembahyang jamaah di masjid kompleks yang tak jauh dari kediamannya.
“Magrib dulu Abi,” kata istrinya, Salmah, yang sudah bermukena, “Tadi Ujang Pelor berpesan, bakda Isya datang lagi.”
“Mmh….” Baihaqi yang dipanggil abi oleh istrinya kehilangan kesigapan untuk beribadah.
“Abi .…”
“Ya, Umi,” Baihaqi tersentak.
“Ayo jamaah!” desak Salmah. Baihaqi berupaya menawar kegalauan dengan tersenyum. Namun, kekhusyukan ibadahnya terus ditohok kegalauan.
*****
“Abang harap Adinda mau,” derak suara Ujang Pelor seperti wujud intimidasi. Baihaqi menarik napas, hati-hati.
“Berapa pun Adinda minta, gampang.”
“Abang kok pilih aku?”
“Bah, itulah. Ustad Tajuddin tak bisa. Ustad Bambang juga. Lalu, ustad…, mmh .…” Ujang Pelor lama terhenti, “Hah, ustad yang dosen itu…. Alah, siapa pula namanya itu.…”
“Ustad Idrus,” salip Baihaqi.
“Ha, iya! Tapi, sibuk dia katanya.”
“Mmh.…” Baihaqi mengangguk-angguk. Ujang Pelor menyalakan rokok. Asapnya menggebu-gebu.
“Jadi, bisa?” cecar Ujang Pelor seusai mulutnya mengepulkan asap.
“Diminum dulu tehnya, Bang,” Baihaqi tengah mencari cara menampik Ujang Pelor. Seturut itu, dia juga sedang kewalahan mengejar alasan mengapa Ujang Pelor berubah drastis. Memang, sudah lama desas-desus beredar, katanya Ujang Pelor tak mengurusi bisnis judi lagi. Katanya lagi, Ujang Pelor kini mengelola restoran. Kabar lain berembus, dia sibuk mengurus lahan sawit. Namun, Baihaqi tak mau ambil pusing. Yang penting, bagaimana sedapat mungkin dia tak berurusan dengan Ujang Pelor.
“Abang mau berubah, Adinda. Maklum, sudah kepala lima. Gini-gini takut juga Abang masuk neraka, ah!” Ujang Pelor tertawa. Sementara, lawan bicaranya makin tak nyaman.
“Kasih aku waktu satu-dua hari untuk cari waktu yang pas, Bang.”
“Boleh, tapi jangan lama-lama, Adinda. Ya, tak bisa tiga-empat kali seminggu, dua kali seminggu cocoklah itu, heh!” ujar Ujang Pelor mantap, bagai sudah mendapat kata sepakat.
Ujang Pelor pamit, tapi tak serta-merta meringankan beban pikiran Baihaqi. Jujur, selain mewakafkan diri dalam ibadah, dia butuh dana menyambut kelahiran anak keduanya. Belum lagi anak sulungnya, Syifa, segera masuk TK. Tawaran Ujang Pelor bisa jadi solusi. Tapi, … ah, dia terjebak diskusi alot dengan diri sendiri, juga dengan istrinya.
Sebagai ustad muda, Baihaqi merasa perlu mengutip saran. Dia temui sejumlah sejawat dan para tuan guru. Jawaban yang dia terima seragam: demi kebaikan, abaikan! Alhasil, Baihaqi mengangguk untuk mengabaikan Ujang Pelor. Tapi, bernama apa abaian kalau toh dia pergi juga ke rumah Ujang Pelor?
“Terima kasih, Adinda!” pekik Ujang Pelor.
“Tapi, ada syaratnya, Bang.”
“Soal bayaran? Jangan khawatir.”
“Bukan itu, Bang.”
“Jadi?”
Baihaqi pun menyodorkan syarat dengan suara yang terseret. Ujang Pelor terperanjat. Dengan nada mengancam, Ujang Pelor menolak mentah-mentah.
“Kalau tak mau, tak apa. Abang carilah ustad lain.” Entah dari mana muasal keberanian Baihaqi hingga balik mengancam.
“Ustad aneh.…” gerutu Ujang Pelor.
“Preman aneh,” desis Baihaqi, pelan.
*****
Ujang Pelor dilanda perangah! Apa-apaan ini? Meski geli dengan tampilannya sendiri; bersarung, berkoko putih dengan kopiah sempit di kepala, tapi Ujang Pelor limbung juga menyambut Baihaqi. Ya, Baihaqi muncul dengan celana jins dongker dan kaus ketat abu-abu. Tangan kanannya menjinjing tas dompet. Ei, kepala Baihaqi kehilangan peci! Lalu, kenapa pula setangkup janggut di dagunya tampak lebih ramping dan kelimis daripada biasanya?
“Gantian kita, Bang,” sergap Baihaqi menyerobot keterperangahan calon muridnya.
“Apa Abang salah pilih ustad?” Ujang Pelor bercanda kepada dirinya sendiri.
“Abang sudah siap?” todong Baihaqi. Sedang calon muridnya masih juga terperangah.
Sebenarnya, bukan Ujang Pelor saja yang disembelih keheranan. Salmah tak kalah uring-uringan. Bagaimana tidak? Tanpa disangka, Baihaqi menerima tawaran Ujang Pelor. Pakai persyaratan yang tak menguntungkan pula. Meski suaminya panjang lebar menjelaskan alasan, Salmah tetap berat hati. Lebih-lebih kala suaminya secara sepihak mundur sebagai penceramah di pengajian ibu-ibu, saban malam Kamis. Yang bikin Salmah tambah sewot, dia ketua perkumpulan pengajian itu.
Apa boleh buat. Baihaqi sudah bertekad akan ke rumah Ujang Pelor dua kali seminggu bakda Isya. Malam Senin Baihaqi tak punya jadwal. Maka, malam Kamis dia tetapkan untuk memenuhi kuota tekadnya. Keputusan itu bikin Salmah kesal, “Semua berantakan gara-gara Ujang Pelor!”
Namun, Baihaqi tetap teguh. Keteguhan macam apa hingga entah dengan alasan apa lagi, tiba-tiba dia berpenampilan necis saat berangkat ke rumah Ujang Pelor? Salmah hilang akal. Memang, suaminya tampak lebih tampan, tapi tidak lantas dia ikhlas suaminya memelorotkan ciri khas keustadan. Salmah protes, tapi senyum Baihaqi dan kado kecupan di dahi bikin dia luluh. Suaminya tak tercegah. Kalau ya, manalah mungkin Baihaqi berada di ruang tamu Ujang Pelor malam itu. Malam perdana dia memiliki murid baru, Ujang Pelor .…
*****
Jins dongker dan kaus ketat abu-abu jadi seragam rutin Baihaqi. Malam Senin, malam Kamis. Malam Senin, malam Kamis. Baihaqi begitu sabar menjalani malam-malam membimbing Ujang Pelor mengaji. Hanya kesabaran yang menguatkan Baihaqi untuk melunakkan lidah muridnya mengeja huruf-huruf Quran. Meski kadang, dia mengumpat juga: mending mengajari anak kecil!
Selain itu, rasa sesal atas syarat yang dia bikin sendiri kerap pula menyerbu batinnya. Namun, astaghfirullah, dia harus menangkis penyesalan sambil terus merawat kesabaran. Kesabaran seperti apa lagi?
Entahlah, kalau saja menurutkan kesal hati, ingin dia tinggalkan Ujang Pelor. Bayangkan, sudahlah terbata setengah mati mengeja, eh, mulut Ujang Pelor kerap pula meletuskan sendawa. Yang bikin Baihaqi meradang, bau bir yang menyusul sendawa. Satu-dua kali pertemuan, Baihaqi masih menoleransinya. Tapi, pada entah pertemuan ke berapa, ia angsur juga teguran.
“Masih mabuk Abang, ya?”
“Banyak pun minum bir, tak kan mabuk Abang, Adinda.”
“Jadi, untuk apa Abang minum?”
“Haus.”
“Mmh.…”
“Mabuk itu haram kan, Adinda?”
“Ya!”
“Abang kan tak mabuk. Minum bir, iya.”
Baihaqi merasa dipermainkan. Wajahnya melepuh, tapi masih dia coba mengganjal amarah.
“Begini saja, Bang. Kalau Abang masih sendawa, aku berhenti!” geraham Baihaqi berderam. Ujang Pelor merasa tersudut.
“Tapi, kalau malam ini, tak mungkin sendawa bisa berhenti. Soalnya, tadi entah nyekek berapa botol,” jawab Ujang Pelor dengan kekeh yang sumir. Baihaqi mengurut dada, beristighfar. Sabar, sabar, anjurnya kepada diri sendiri. Pelajaran mengaji pun dilanjutkannya meski tak sepenuh hati.
Tapi, ancaman Baihaqi manjur. Pada malam-malam berikutnya, sendawa Ujang Pelor tak meletus lagi. Lidah Ujang Pelor memang tak kunjung serasi melafalkan huruf-huruf Quran, tapi paling tidak, sendawa tak lagi menyela. Kendati demikian, sesekali, bau mulut Ujang Pelor masih meniupkan uap bir. Tak apa, mengubah kebiasaan tak mudah, begitu bisikan—entah dari siapa—yang bersarang ke telinga Baihaqi. Tapi, ancaman baru dia maklumatkan: Kalau masih ada bau bir di mulut Abang, aku betul-betul berhenti. Alhamdulillah, beres! Pada pertemuan selanjutnya, mulut Ujang Pelor negatif dari bau minuman.
Namun, pernah suatu malam, selepas pelajaran, Baihaqi hampir kalap. Ya, kala dia hendak beranjak dari duduknya, kakinya memelantingkan sesuatu di bawah meja. Suara gelinding botol terdengar nyaring, disusul mekar aroma bir. Bahkan, sisa bir rupanya sudah simbah di kaki celana jins Baihaqi. Seketika rona marah membekap wajahnya.
“Ma…af, Adinda. Abang tak tahu itu bir siapa. Adinda tengok tadi kan , Abang tak sendawa lagi, mulut Abang pun tak bau bir….” Ujang Pelor mengiba sambil mengelap celana Baihaqi dengan tangan. Baihaqi mematung. Marah, ya! Serbasalah juga! Dia merasa tak patut membiarkan Ujang Pelor berlutut. Bukankah Ujang Pelor lebih pantas sebagai ayah ketimbang Abang? Maka Baihaqi batal kalap, meski mungkin, Ujang Pelor berbohong soal bir di bawah meja.
Begitulah. Ada saja peristiwa yang harus dihadapi Baihaqi sejak bersinggungan dengan Ujang Pelor. Dia pun harus tabah menanggungkan gunjingan. Para tetangga di kompleks sempat memedaskan telinganya. Dia digelar ustad mata duitan. Senada dengan tudingan sejawatnya sesama penceramah atau guru mengaji. Seperti pada sebuah malam di jenjang masjid, lepas Isya berjamaah, dia sempat merasa diinterogasi.
“Ana masih tak habis pikir, apa dasar Antum meladeni Ujang Pelor,” ujar Mara, rekannya semasa menimba ilmu di Mesir. “Masih banyak umat yang layak diislamkan, Bai,” tambah Mara.
“Iya,” timpal Bram, masih muda, tapi sudah hafiz Quran, “Kan tak enak kalau ada yang bilang ‘percuma tamatan Mesir, punya titel el-si’. Timbang lagi masak-masak, Saudaraku.”
Baihaqi tersenyum. Sebenarnya, kerongkongannya ingin memuntahkan banyak hal. Tapi, dia sedang tak selera membela diri. Tepatnya, malas berdebat.
“Oya, kemarin Pak Darwin, itu yang anggota dewan, butuh orang mengajari anaknya baca Quran. Nah, ambil itu, lepaskan Ujang Pelor,” kali ini Bram unjuk suara lagi.
“Ya, kalau soal imbalan, Ana kira Pak Darwin tak pelit, insya Allah,” songsong Mara.
“Tahu berapa Pak Darwin kasih harga, ha?” cecar Bram dengan mata berbinar, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Baihaqi, “Pukulan besar, Bai!” lonjak Bram, “Mmh… Ujang Pelor kasih berapa, hayo?”
“Iya, Ujang Pelor kasih berapa, Bai?” desak Mara.
“Berlipat ganda dari yang ditawarkan Pak Darwin,” jawab Baihaqi setengah berbisik. Kontan dua sejawatnya toleh-menoleh. Keheningan terasa melenggang leluasa. Lantas, Baihaqi buru-buru melafaz salam sebagai bukti pamit diri. Ini malam Kamis! Dia harus segera pulang, menukar pakaian, lantas ke rumah Ujang Pelor. Dia tak sudi Ujang Pelor menunggu lama. Dalam langkah setengah berlari, wajah Baihaqi bak kembang berseri.
Entahlah, baru kali ini Baihaqi merasa bahagia seusai berbohong.… (*)
Griya Sakinah, Medan, 2012